BaG #46 Penghibur dikala sedih

46.8K 3.1K 306
                                    

Fathir membawa Rafa pergi dari sekolah, menghindar dari segala cemooh yang terlontar dari mulut-mulut yang seperti paling tahu kehidupan mereka. Bahkan tadi, beberapa dari siswa, sampai ada yang menilai kalau Fathir pria bodoh karena masih membela Rafa. Namun pria itu tidak peduli, karena prinsipnya satu, napas yang keluar dari hidungnya bukan sumbangan dari mereka. Jadi, mengapa harus memikirkan tanggapan manusia-manusia suci itu?

Namun, sudah hampir setengah jam mereka di perjalanan, Fathir tak kunjung memberhentikan motornya membuat Rafa keheranan.

"Kita mo ke mana?"

"Pergi."

"Gue tau, pergi. Tapi pergi ke mana?!" tanya Rafa mulai gemas dengan jawaban Fathir.

"Bentar lagi nyampe."

Rafa kembali diam dan menurut saja. Dan tepat di menit ke tiga puluh tujuh, mereka telah sampai di tempat tujuan. Rafa lebih dulu turun dari atas motor dan langsung mengumpat begitu ia melepas helm, karena tersadar kalau Fathir memberhentikan motornya di jalan sepi yang di kelilingi semak dan pohon-pohon tinggi.

"Sumpah yah, Fat. Ga lucu banget lo bawa gue ke hutan. Lo minta temenin nangkep monyet, apa gimana ini? Aneh-aneh aja lo. Kayak gak ada tempat lain aja."

"Bukan di sini. Masuk ke dalam dulu, baru lo tau, di dalam hutan ini, ada apa."

Rafa menaikkan tinggi-tinggi satu alisnya. "Wah, wah... lo mau macem-macem, sama gue?"

"Otak lo!" Tangan Fathir kontan menoyor jidat Rafa. Setelah itu ia menarik tangan Rafa untuk mengiringinya masuk ke dalam hutan itu. "Ayo."

Namun Rafa melepas tangannya. "Ga mau! Lo mau jebak gue, kan?"

"Heh, Ibu! Kalo lo lupa, yang ngelindungin lo dari amukan masa di sekolah itu, gue. Terus ngapain gue ngejebak lo?"

Rafa bungkam. Sikap bawelnya memang kadang-kadang membuatnya suka lupa diri.

"Maaf," ucap Rafa akhirnya.

"Lo percaya, kan, sama gue?" tanya Fathir.

"Hm," gumam Rafa dengan ekspresi datar.

"Yaudah, ayo." Lagi-lagi Fathir mengulurkan telapak tangannya. Dan diterima dengan pasrah oleh Rafa.

Setelah melewati semak-semak setinggi pinggul yang cukup menggores betis Rafa, akhirnya perjalanan itu terbayarkan. Tak bisa di pungkiri bola mata Rafa membelalak lebar ingin keluar, bukan karena takut atau apa, lebih tepatnya ia tercengang memandang pemandangan paling indah yang pernah dilihatnya selama hidup di Jakarta.

Danau di tengah hutan.

Ya, Danau. Fathir membawanya ke tempat indah itu. Walaupun sekarang menunjukkan pukul setengah dua belas siang, tapi Rafa tak merasakan gerah sama sekali. Sebab tempat itu kaya akan oksigen yang seperti menyejukkan jiwa dan raganya.

Rafa merentangkan tangan setinggi pundak, lalu menutup mata perlahan. Dalam kebisuannya ia menikmati setiap komponen udara, mulai dari angin sepoy yang berhembus, suara burung yang bernyanyi indah berkolaborasi dengan bunyi pohon di atas sana, bau segar yang berasal dari air bening di depannya dan warna hijau yang menghipnotis jiwa yang lelah.

Disamping itu, Fathir yang berdiri tepat di samping Rafa memandang lekat pemandangan indah di depan matanya. Bukan pohon ataupun danau, melainkan wanita hebat yang masih bisa tersenyum di saat dunia menghakiminya.

Fathir bahagia melihat Rafa menikmati tempat itu, karena tujuannya membawa Rafa ke sini adalah untuk menenangkan pikirannya. Fathir terus memandangi Rafa dalam-dalam tanpa berkedip, hingga di detik berikutnya Rafa membuka mata dan menoleh ke arah Fathir yang masih menatapnya lurus.

Bad and GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang