BaG #37 Mahardika's house

51K 3K 44
                                    

Ketika sampai di rumah, Rafa tak begitu terkejut saat melihat mobil BMW putih terparkir di depan pagar. Rafa sudah dapat menebak kalau itu adalah salah satu koleksi mobil Pak Bramanto, yang biasa digunakan Fattah--sekretarinya ke mana-mana.

"Selamat siang, nona Rafa." Fattah memberi salam formal ketika Rafa baru saja turun dari atas motor.

Sebenarnya Rafa tidak suka sesuatu yang kaku. Namun semenjak kenal Bramanto Mahardika, Rafa jadi terbiasa dengan perilaku orang-orang dewasa yang bersikap--sangat formal.

"Siang," balas Rafa sedikit menunduk. "Silahkan masuk dulu, Pak."

"Tidak perlu. Saya ke sini hanya untuk menjemput anda sesuai perintah Pak Bramanto. Beliau mengatakan kalau anda sudah bisa tinggal di rumah."

Rafa menarik napas pasrah. Ia pikir Pak Bramanto akan menyuruh Fattah menjemputnya malam hari, hingga Rafa masih bisa istirahat sedikit, menghabiskan waktu di dalam rumah. Namun ternyata pria paruh baya itu tak sabaran menantikan kehadiran Rafa--jembatan kedua anaknya.

Lalu, bagaimana jika Pak Bramanto sampai tahu, kalau Rafa gagal membujuk mereka?

"Tunggu sebentar. Aku akan mengambil barang-barangku dulu," ujar Rafa di ambang pintu, sambil melepas sepatunya.

"Mari saya bantu." Fattah ikut masuk ke dalam rumah sederhana itu.

Untungnya Rafa sudah mengemas barangnya sejak semalam, karena ia tahu hari ini akan tiba. Rafa juga sudah membersihkan rumahnya kemarin, mulai dari cuci piring apa saja yang kotor, mengelap perabotan yang berdebu juga beberapa lemari, mengepel lantai, dan menyapu halaman hingga bersih.

Rumah ini kosong untuk sementara waktu. Mamanya masih di rawat di rumah sakit hingga beberapa bulan ke depan, Gita tinggal di Rumah Dandi, karena Tante Firda menyarankannya, dan Rafa, ia harus tinggal di rumah Bramanto entah sampai kapan. Rafa hanya berharap, semoga misinya cepat terselesaikan hingga ia bisa kembali ke rumah ini.

"Hanya ini saja?" tanya Fattah sebelum menggiring koper Rafa keluar.

Rafa mengangguk mengiyakan pertanyaan Fattah. Sedangkan wanita itu membawa satu lagi tas hitam yang berukuran besar. Di dalamnya perlengkapan sekolah. Dan yang di bawah Fattah adalah keperluannya sehari-hari, seperti baju ganti, peralatan mandi, dan lain sebagainya, terkecuali make up, Rafa tidak suka dan tidak memiliki benda itu.

Begitu sampai di luar, Fattah langsung memasukkan barang-barang ke dalam bagasi. Sedangkan Rafa, memasukkan dulu motornya ke dalam rumah. Pak Bramanto tidak mengizinkan Rafa membawa motor lagi. Sebab katanya, di sana sudah disediakan supir jika Rafa ingin ke mana-mana. Memang terdengar berlebihan, namun begitulah, orang kaya bebas melakukan apa saja.

Merasa semua sudah beres, Rafa mengunci pintu rumah dengan berat hati. Ia tak menyangka jika besok ketika pulang sekolah, bukan rumah ini yang akan menyambutnya seperti biasa. Rafa merasa kehilangan. Mungkin terdengar lebay, karena jarak rumah Pak Bramanto dan Rafa bukan berbeda pulau sehingga ia harus bersedih. Tapi tetap saja, sesuatu yang terbiasa kita lakukan setiap hari, jika kita tinggalkan, akan merasa ada yang kurang.

"Silahkan masuk." Lagi-lagi Rafa merasa kikuk, saat Fattah membukakan pintu penumpang untuknya.

Rafa tersenyum tipis sambil mengangguk. Lalu masuk ke dalam mobil dan duduk dengan canggung.

Rafa melihat rumah berdominasi cat warna biru itu dari balik kaca mobil yang tertutup. Dan begitu mobil dijalankan, perlahan-lahan Rafa memandang rumahnya mulai menjauh...

♠♠♠

"Kita sudah sampai."

Suara Fattah menyadarkan Rafa dari lamunannya. Ia tak menyangka ternyata sudah sampai di kediaman Pak Bramanto. Perjalanan mereka hanya memakan waktu kurang lebih setengah jam, dan sepanjang waktu, hanya dihabiskan Rafa dengan melamun tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.

Bad and GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang