BaG #47 Dibenci satu sekolah

50.1K 3.6K 407
                                    

"Udah sampai, mba."

Suara Pak Tayo membuat kepala Rafa kontan menengok ke arah kiri, memandang pintu gerbang Tunas Bangsa menjulang tinggi berada tepat di samping mobil.

Sebelum membuka pintu, Rafa mengambil masker berwarna hijau dari dalam tasnya yang baru ia beli di Indomaret tadi. Masker itu ia gunakan untuk menutupi sebagian wajahnya. Dan tak lupa pula untuk melepas ikat rambut, karena Rafa jarang sekali menggerai rambut coklat itu saat ke sekolah. Dan kalau sudah begini, para siswa pasti tidak akan langsung mengenalinya.

Merasa penyamaran yang ia lakukan cukup memuaskan, Rafa akhirnya turun dari mobil dan mengucapkan terimakasih pada Pak Tayo.

Setelah mobil melaju pergi, Rafa mengembuskan napas panjang menetralisir detak jantungnya dan melangkah masuk ke lingkungan sekolah.

Ketika berjalan melewati parkiran, tanpa sengaja Rafa melihat Jico dan Zaki sedang memarkirkan motor mereka di pojokan.

Tanpa ancang-ancang Rafa langsung berlari dan memeluk leher Jico dan Zaki dari belakang tanpa peduli reaksi terkejut mereka berdua.

"Rafa?"

Jico berusaha mencerna pikirannya yang masih terkejut akibat perlakuan dadakan dari Rafa. Ia lantas memandang Rafa dari atas sampai bawah. "Anjir Raf! Gimana kabar lo? Lo gak kenapa-kenapa, kan? Kemarin kita nyariin lo waktu keluar dari ruang kepsek, eh ternyata lo dibawa pergi sama Fathir. Kita mau kerumahnya, tapi gak tau alamatnya di mana. Tapi lo baik-baik aja, kan?"

Baru saja Rafa mau menjawab, Zaki lebih dulu menimpali. "Satu-satu, kalo mo nanya. Main nyosor aja lo kayak banteng." Zaki lalu melihat ke arah Rafa. "Gimana-gimana? Lo kenapa bisa dikeluarin dari sekolah? Sebenarnya si cewek plastisin ngapain lo, sih? Gue denger-denger lo ngiris tangan dia, sampe dia masuk rumah sakit. Tapi serius, gue gak percaya. Gue tau, lo bukan tipe cewek yang suka pegang barang tajam buat ngabisin lawan. Apalagi ini cewek. Bukan lo banget."

Jico memutar bola matanya seraya mengembuskan napas kasar. "Katanya satu-satu, eh taunya pertanyaan lo lebih banyak. Kan kampret!"

Rafa terkekeh pelan. Terharu melihat kedua sahabat gilanya ini. Padahal, baru sehari Rafa tak bertemu dengan mereka, namun rasanya seperti sudah setahun.

"I miss you, guys," kata Rafa dengan tangannya yang semakin mengeratkan pelukannya di leher kedua sahabatnya itu.

Jico dan Zaki langsung terbatuk-batuk dan spontan memukul lengan Rafa.

"Uhuk... uhuk..." Batuk Zaki langsung keluar lega begitu Rafa melepas pelukannya. "Eh, Ayam! Kangen mah, kangen. Tapi jangan nyekik juga. Lo mau ngasih napas buatan, kalo gue kehabisan napas? Mana tenaga kuli lagi, lo!"

"Hahaha. Maaf, maaf."

"Pertanyaan gue belum lo jawab. Gimana keadaan lo?" tanya Jico.

Rafa menurunkan masker wajahnya agar bisa berbicara lebih jelas. "Seperti yang lo liat, gue masih bisa napas."

Cepat-cepat Zaki menaikan masker Rafa untuk menutupi kembali setengah wajahnya. Ekspresi Zaki berubah was-was. "Oke. Bagus kalo lo baik-baik aja. Tapi Raf, lo harus pulang sekarang. Bisa gawat kalo anak-anak pada liat lo di sini."

"Bener kata Zaki, Raf! Mending lo balik sekarang. Entar gue sama Zaki nyusul ke rumah Fathir, kalo emang lo kangen sama kita."

"Enggak! Gue ke sekolah bukan cuma pengen ketemu lo berdua. Gue ke sini buat ngelurusin semuanya. Gue gak bisa diem aja di rumah, di saat kondisi sekarang gak lagi baik-baik aja. Gue harus nyari bukti, buat ngebuktiin ke Bu Tamara kalo gue gak salah. Please, Ji, Zak. Bantuin gue."

Bad and GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang