BaG #48 Terimakasih & Maaf

50.9K 3.1K 406
                                    

Ternyata bukti bahwa Rafa tidak bersalah langsung menyebar satu sekolah, terlihat dari tatapan para siswa yang tadi menatapnya sinis kini berubah manis, setiap kali Rafa lewat di depan mereka maka tak segan mereka melayangkan senyum. Tapi Rafa tidak peduli, perlakuan mereka kemarin waktu menuduhnya habis-habisan masih terekam sampai sekarang, maka jangankan tersenyum, balas melihat saja rasanya enggan.

Sesampainya di depan ruang osis, Rafa menarik napas panjang menetralkan jantungnya yang gugup. Rafa melihat di depan pintu terdapat sepasang sepatu hitam bercorak garis putih. Tak perlu bertanya siapa pemiliknya, Rafa sudah dapat menebak bahwa itu milik Dandi, karena ia yang menemani pria itu setiap kali ingin berbelanja keperluan. Jadi, hampir semua barang milik sahabatnya itu, ia kenali dengan baik.

Alih-alih memikirkan barang Dandi, ia justru terfokus pada degup jantungnya kini. Padahal Dandi adalah teman dekatnya, tapi rasanya canggung sekali.

Rafa mengintip dari jendela, dilihatnya Dandi sendirian di dalam dan sibuk mencatat sesuatu. Sebelum masuk, Rafa bersandar di dinding dan menyusun kata-kata yang nantinya ia gunakan untuk bertemu Dandi.

Lagi, Rafa mengembuskan napas panjang. "Hai Dan? Ngapain? Sibuk banget?"

"Akh, bukan-bukan!" Rafa menoyor jidatnya sendiri. "Itu kesannya kayak lo gak merasa bersalah bego!"

"Oke lagi." Rafa berdiri tegap, sambil mengangkat tangan. "Dan, maafin gue yah, beberapa hari ini gue menghindar dari lo"

"Akh. jangan gitu!" Rafa menarik rambutnya frustasi. "Nanti, kesannya kek lo yang salah banget. Kan dia juga salah!"

Mata Rafa melihat ke atas, mencari kata-kata yang pas, lalu detik berikutnya ia berlatih lagi.

"Dan, makasih udah bantuin Fathir cari bukti, gue gak nyangka lo lakuin itu."

Rafa memukul jidatnya berkali-kali. "Astagaaa! Masa dateng-dateng langsung makasih? Yah, minta maaf dulu lah, Rafaaaa!!!"

"Ngapain lo?" Tegur seseorang dari arah pintu.

Rafa membatu. Diam tak bernapas. Pikirannya kacau bagai benang kelilit. Aliran darahnya mengalir hebat bagai pancuran ancol. Jantungnya mendadak ingin terbang keluar saking gilanya di dalam.

Astaga! Mati! Mati! Mati! Itu suara Dandi.

Rafa mengembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya. Pelan-pelan, dengan penuh keyakinan ia memutar badan, memandang pria yang kini berdiri di belakangnya.

"Eh, Dandi? Di ruang osis mulu lo perasaan. Ga istirahat?"

Alhasil, tidak ada satupun kata yang ia susun mati-matian yang digunakan.

"Gue lagi nyunting proposal buat party nanti."

"Oh," balas Rafa. "Lo sendiri kan, di dalem? Gue boleh masuk ga?"

Dandi mengangkat satu alisnya. "Tumben lo. Biasanya juga lo main masuk doang, tanpa permisi."

Rafa merasa bego setengah mati. Segala macam cara coba ia lakukan untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka, tapi nyatanya Dandi bertingkah biasa saja.

Rafa masuk ruang osis dengan santai, berperilaku layaknya memang tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Padahal, dia tidak tahu saja, Dandi sedang menahan tawa karena ia melihat sekaligus mendengar semua ocehannya tadi sebelum masuk ke sini. Sebenarnya Dandi sama canggungnya, tapi ia sengaja membuat Rafa senyaman mungkin agar tidak ada yang berbeda di antara mereka.

"Mau milo ga?" Tawar Dandi, saat Rafa sudah duduk di kursi dekat meja kerjanya.

Kini, gantian Rafa yang mengangkat satu alisnya. "Tumben. Biasanya juga lo main ngasih doang, tanpa nanya."

Bad and GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang