"Aku tidak pernah meminta apapun. Tapi kali ini, aku berharap ada seseorang yang mau menolongku."
.
.09:45 AM
Gelap. Benar-benar gelap.
Tubuhku terasa kaku, aku tidak bisa melihat apapun. Suara bisikan menggelitik di telingaku. Menyuruhku untuk bangun.
Hingga aku sedikit merasa sakit pada kepalaku. Samar-samar suara khas elektrokadiograf dapat terdengar oleh indra pendengaranku. Aku yakin, aku sedang tidak bermimpi.
Aku berusaha untuk membuka mataku perlahan. Suara alat itu semakin terdengar jelas.
Begitu aku berhasil membuka mata, semua terlihat buram dan berwarna putih. Ku kedipkan mataku beberapa kali hingga aku dapat melihat dengan jelas.
Kini, aku tengah berbaring di atas ranjang, aroma obat-obatan dapat tercium olehku, aku menatap tanganku yang masih belum bisa ku gerakkan, pakaianku terlihat panjang berwarna biru khas rumah sakit.
Benar saja, aku dapat melihat jarum infus yang menusuk kulit tanganku. Aku tidak terlalu bodoh untuk bisa mengenali suasana seperti ini.
Aku menolehkan kepalaku perlahan, dapat ku lihat sebuah jendela besar di sisi kiriku. Langit biru terbentang begitu luas. Aku yakin, di bawah sana pasti pepohonan terlihat begitu indah dengan daunnya yang lebat.
Dan satu hal yang terlintas di kepalaku; 'Apa yang sebenarnya terjadi padaku?'
Ya, aku ingat. Sesuatu kejadian abstrak telah terjadi padaku tadi. Rasa sakit yang sempat ku alami, masih teringat jelas, bahkan kepalaku kini masih terasa sakit.
Disaat larut pada pikiranku sendiri, terdengar suara derit pintu yang membuat ku langsung menoleh ke asal suara.
Seorang pria paruh baya terlihat menggunakan sneil putih di tubuhnya. Begitu ia melihatku, tatapannya terkejut.
Tiba-tiba saja langkah kakinya bergerak menuju ke arahku dengan tergesa-gesa. Dipakainya stetoskop yang sebelumnya menggantung di lehernya, sang dokter kini sedang memeriksa tubuhku.
Ia mengecek denyut jantungku, suhu tubuhku, dan menanyakan hal-hal lain padaku.
"Aigoo, ireonasseo? Sejak kapan?" Ia menempelkan telapak tangannya pada dahiku. (Ya ampun, kau sudah sadar?)
"Eum. Baru saja," jawabku lemah.
Dokter tersenyum padaku. "Jangan terlalu banyak bergerak, dan jangan memaksakan diri. Jika kau butuh sesuatu, kau tinggal menekan tombol di samping ranjangmu. Arasseo?" (Kau mengerti?)
"Ne. Algeseumnida, uisa-nim." (Ya. Saya mengerti, dokter)
Ia mengangguk sambil memasukan stetoskop ke dalam saku sneil-nya. Seketika aku teringat beberapa hal yang mengganjal dipikiranku.
"Eum.. Uisa-nim, boleh aku menanyakan sesuatu?"
"Ne. Tentu saja." Dokter tersenyum padaku.
Aku membalas senyumnya. "Begini. Apakah uisa-nim tahu, sebenarnya apa yang terjadi padaku?"
Tangannya memegang dagunya sendiri, terlihat seperti berpikir. "Ahh. Menurut informasi, kau tertabrak mobil saat kau berjalan di daerah dekat Sinsa station exit 6. Tidak ada yang melihat bagaimana kejadiannya dengan jelas. Mereka melihatmu setelah kau tertabrak. Dan putriku yang saat itu ada di sana, segera menghubungi rumah sakit ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Shop
Fanfiction[180614] - [200113] Kupikir, bertemu dengan sang idola itu sebuah harapan mustahil. Mengingat latar belakang keluargaku, dan bahkan cermin pun menjadi penghalangku. Tapi siapa sangka bahwa sebuah toko misterius yang kumasuki bisa membawaku tuk berte...