Ch. 38 : Coffee

2.5K 433 55
                                    

"Why does the world treat me like this?"
.
.

Aku duduk di halte dengan tangan yang memegang erat tas. Aku tidak sedang menunggu bus, melainkan sudah turun dari benda itu beberapa menit yang lalu.

Namun sialnya aku naik bus dengan jurusan yang berbeda. Entahlah, aku bodoh.

Langit sudah gelap dan aku masih enggan untuk pulang. Aku benar-benar frustasi.

Handphone-ku terasa bergetar. Aku segera membuka tas dan mengambil benda pipih itu.

Hyera_k: Apa kau sudah pulang?

Hye Ra mengirim pesan. Aku menghela napas perlahan, gadis itu pasti mengkhawatirkanku.

Jieun02: Aku akan pulang terlambat.
Jangan khawatir.

Hyera_k: Hati-hati disana.
Jangan terburu-buru, yang penting kau selamat.

Jieun02: Arraseo.
(Aku mengerti)

Ini sangat memusingkan.

Berbagai hal terus muncul di kepalaku. Apa ini yang dinamakan depresi? Usiaku terlalu muda untuk mengalami hal ini.

Aku terus menghela napas berulang kali hingga aku tidak sadar, seseorang datang menghampiriku dan menyodorkan segelas kopi.

Aku mendongak menatap orang itu. Penampilannya memang terlihat normal, tapi sayangnya ia memakai masker. Aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Ini tidak beracun, minumlah," sahutnya begitu menyadari tatapan curigaku.

Dengan ragu aku menerimanya. "Kamsahamnida," ucapku sembari membungkuk. (Terima kasih)

Aku hanya meminumnya sedikit, benar-benar sedikit. Mengecek apakah ada racun atau obat semacamnya yang akan berefek pada tubuhku beberapa menit kemudian.

Meskipun ia bilang ini aman, tapi ia orang asing. Sesuatu yang jahat bisa terjadi pada siapa saja.

Lalu ia jalan mendekat dan duduk di sebelah kiriku, aku bergeser sedikit untuk memberi jarak. Aku menyadari tatapannya tak terlepas dariku. Sedikit membuat risih.

"Sedang menunggu bus?" tanyanya.

"Tidak."

"Kau terus menghela napas, terlihat sedang memiliki masalah."

Refleks, aku menoleh ke arahnya. Ia melanjutkan, "Aku juga mengalami hal yang sama, tapi jangan menyerah. Hidupmu masih memiliki tanggung jawab besar."

Aku mengangguk tanpa sadar, setuju dengan apa yang dikatakannya.

Ia memegang gelas kertas yang sama sepertiku. Namun ia tidak ada niat untuk menurunkan masker itu dan meminum kopinya. "Tapi, apa kau tidak takut disini seorang diri?"

Aku mendengus. "Tidak, jalanan masih ramai."

Memang benar. Masih banyak orang berlalu lalang, kendaraan pun masih memadati jalan raya. Ini belum terlalu malam. Jadi untuk apa aku takut?

Magic ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang