Empat Puluh Tiga

7.7K 913 167
                                    

Gue nggak bisa tidur, anak itu sama sekali nggak bisa diem, selalu nangis di baby box. Gue bener-bener nggak ngerti harus apa.

Disatu sisi ketika gue liat anak itu, gue selalu keinget Chanyeol waktu pulang malam hari itu, dan rasanya pengen banget marah. Tapi biar gimanapun, anak nggak akan salah. Yang salah itu ya orang tuanya.

"Sstt sstt. Diem dong nak. Ayah nggak tau harus gimana nih" pekik Chanyeol yang sedang menggendong anak itu. Rasanya hati gue bener-bener udah berkeping-keping. Apa? Ayah?

Sekitar 15 menitan, tapi suara tangisannya juga nggak reda. Gue akhirnya beranjak dari kasur dan berjalan ke arah Chanyeol yang berdiri di dekat baby box.

"Siniin coba" kata gue dingin tanpa ekspresi dan tanpa menatap Chanyeol.

Chanyeol menoleh dan mengerutkan dahinya, "Siniin!" kat gue yang mencoba mengambil alih.

Sampai anak itu ada ditangan gue, gue duduk di bibir kasur dan membuka kancing daster bagian atas. Gue coba untuk menyusui, tapi nihil air susu gue belum bisa keluar di usia kehamilan 8 bulan gini.

"Yang, gimana?" tanya Chanyeol menatap gue kebingungan dengan wajah merengeknya.

Tak menjawab pertanyaan Chanyeol, gue langsung berdiri dan menimang-nimang anak itu ditangan gue. Kalo dibilang kesel, pasti. Kalo dibilang kuat, enggak. Rasanya kedua kaki gue lemas dan tak kuat menopang tubuh gue sendiri.

Tapi, lagi dan lagi. Anak itu sama sekali nggak salah, dan nggak tau apa-apa. Gue hanya berusaha sebisa gue dan semampu diri gue.

Saat gue menimang anak itu, gue tau kalo Chanyeol lagi memperhatikan wajah gue. Cukup lama, akhirnya gue berdehem membuat Chanyeol sadar.

Tubuh Chanyeol memeluk erat gue yang berdiri disampingnya. Tangisan Chanyeol pecah saat itu juga. Gue bingung harus apa.

"(yn)... Hiks.."

Gur menoleh ke arahnya, "Hmm?" tanya gue yang hanya dengan deheman. Tangannya benar-benar memeluk gue kencang, you know how big the muscle? Kepalanya ia letakkan di leher gue.

"Chanyeol? Lepas dong, sesek" kata gue dengan wajah datar.

Chanyeol menggeleng, "Aku bego ya (yn)? Bego banget! Aku setiap hari selalu nyesel. Kenapa aku ngelakuin itu. D-disaat aku punya kamu tempat keluh kesah aku" katanya.

Gue tak menghiraukan Chanyeol dan terus menimang anak itu. Tapi makin gue membungkam, tangisannya makin jadi. Oke, jadi dikamar udah ada 2 orang yang nangis. Rasanya kepala gue mau pecah aja, terus ngeluarin petasan.

"(yn), hiks. Kamu tau nggak? Aku selalu berandai-andai kalo aja waktu siang itu aku pulang ke rumah pasti nggak akan kayak gini. A-aku nggak akan kecewain kamu. Tapi Demi Tuhan, aku sayang sama kamu dan a-aku nggak mau kamu pergi. Makanya menurut aku bohong jalan terbaik satu-satunya supaya kamu nggak tau dan nggak pergi ninggalin aku"

"A-aku bener-bener nggak tau harus apa saat Ryana bilang dirinya hamil. B-bahkan rasanya dunia aku berhenti. Aku selalu keinget kamu, dan rasa salah aku sama kamu. Aku fikir bohong jalan terbaik, aku bisa pura-pura dibelakang kamu, a-aku hanya perlu nikahin Ryana, dan sampai anak itu lahir. A-aku cukup nengokin tanpa harus tinggal seatap, aku cukup memberi nafkah untuk mereka. T-tapi ternyata semuanya malah mengecewakan kamu"

"A-aku minta maaf buat semuanya, yang. Hiks.. Hiks.."

"J-jangan tinggalin aku sama anak-anak. Aku mohon, (yn). Hiks.." kata Chanyeol dengan menggelengkan kepalanya yang ada pundak gue.

Rasanya tubuh gue berat, nggak sanggup berdiri. Airmata gue pun udah menetes beberapa. "A-aduh, berat Yeol. Lepasin dong!" pekik gue yang berusaha lepas dari pelukannya.

Chanyeol as My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang