Empat Puluh Empat

7.6K 876 257
                                    

"Teh, aya Chanyeol ta datang"

Gue yang lagi beres-beres kamar sontak membulatkan mata. Ya, gue berada di Bandung kemarin sore. Meski gue harus beradu sama Chanyeol.

Setelah Mama Park dateng kemarin siang suasana rumah makin panas karena Mama Park bener-bener marah sama Chanyeol. Entah.

"C-chanyeol?" tanya gue yang gelagapan. Gue fikir, ngapain juga dia nyusulin gue. Toh gue rasanya bener-bener udah membulatkan tekad untuk cerai. Apalagi coba?

Ibu mengangguk, "Iya, tuh di depan lagi duduk sama Ayah. Baru sampe" jawab Ibu.

Gue bukannya keluar tapi malah mendudukkan diri di tepi ranjang. Berdecak kencang, "Ngapain sih bu dia kesini?" tanya gue.

"Ya mana Ibu tau atuh, Teh" kata Ibu menggidikkan bahunya.

"Suruh pulang aja, Bu. (yn) males!" kata gue yang langsung berjalan keluar kamar dan langsung menuju dapur.

Ibu berjalan mengekor gue ke dapur. "Teh, bukan gini atuh caranya nyelesaiin masalah. Teteh udah dewasa, nggak bisa gini. Ibu tau, emang susah, sulit, bahkan kayak kita mati dalam keadaan sadar. Tapi, coba di omongin dulu, biar nanti Ibu suruh Ayah bantu" kata Ibu yang sudah ada disamping gue.

"Bu, istri mana sih yang masih mau? Kalo aja anak aku udah lahir. Aku udah pasti langsung gugat bu, demi apapun" jawab gue yang sudah mengeluarkan airmata.

Ibu merangkul pundak gue hangat, menganggukkan kepalanya. "Iya, ibu ngerti atuh Teh. Tapi, kan teteh mau punya anak, masa-"

"Bu, (yn) nggak terima udah di bohongin selama ini. (yn) nggak bis-sa bu.. Hikss.." gue menangis dengan menutupi wajah gue dengan kedua telapak tangan. Gue nyesel, karena meninggikan suara bicara sama Ibu.

Ibu memeluk tubuh gue dan mengelus punggung gue lembut. Emang bener ya, Ibu itu rumah kita sebenarnya.

"Temuin dulu, nggak salah kan?" tanya Ibu. Dan bodohnya, gue hanya menganggukkan kepala.

Ibu menuntun gue berjalan ke ruang depan. Disana udah ada Chanyeol dan Ayah yang ternyata menunggu gue. Gue jalan sangat lambat, karena emang perut gue udah membesar dan kaki gue sudah mulai membengkak.

Chanyeol berdiri setelah melihat gue datang bersama Ibu. "(yn)!" pekiknya yang mencoba membantu gue.

"Nggak usah!" kata gue yang langsung menepis tangannya. Chanyeol menundukkan kepalanya, "Maaf" katanya yang kembali ke tempat duduknya.

Gue duduk disamping Ibu. Gue rasanya males untuk berlama-lama berhadapan dengan Chanyeol. Muak.

"Ada apa Chanyeol?" tanya Ayah yang gue tau hanya berbasa-basi. Karena semalem semuanya sudah gue ceritakan.

Chanyeol menunduk dan berlutut dihadapan Ayah. "M-maafin Chanyeol, Yah. Maafin Chanyeol udah buat (yn) kecewa. S-seharusnya, Chanyeol nggak melakukan itu. Maafin Chanyeol, Yah. C-chanyeol salah. Hiks.." katanya terdengar seperti menangis.

"Chanyeol, anak Ayah salah apa sama Chanyeol sampe Chanyeol tega begitu? Bukan Ayah mau ikut campur. Tapi Ayah rasanya kecewa sama Chanyeol"

Chanyeol mengangguk dan masih menunduk seakan tak berani untuk menatap Ayah, "M-maafin Chanyeol, Yah. Hiks.."

"Kalo Chanyeol emang nggak cinta, harusnya dari awal bilang. Biar nggak ada pihak yang kecewa" kata Ayah seakan menyindir Chanyeol.

Chanyeol menggeleng dan mendongak menatap Ayah. "Enggak, Yah. C-chanyeol cinta sama (yn). Tapi emang Chanyeol yang bego, Yah" katanya.

Rasanya gue bener-bener mau lempar sendal ke arah Chanyeol. Emang bego, bego banget. Ada kata yang lebih dari BEGO? Itu Chanyeol.

Ayah menatap gue yang menatap Chanyeol dingin, "Kita emang orang nggak punya, miskin. Tapi orang miskin tetep punya hati, bukan?" tanya Ayah.

Chanyeol as My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang