Lembaran 40

1.2K 126 110
                                    

Lembaran 40

Aku menghela napas, menunggu Papa, Mama, kak Tiana, kak Karel dan kak Kegan. Tapi mereka belum terlihat sama sekali. Aku kembali mengetuk sepatuku untuk mengusir rasa bosan hingga sebuah tangan terulur. Aku menoleh dan terperangah.

Menatap wanita yang tersenyum padaku, aku refleks berdiri.

"Ibu?" Tanyaku memastikan. Wanita itu menatapku penuh haru dan kemudian tangisnya pecah.

"Ibu minta maaf, nak. Mau 'kan kamu maafin ibu?" Ibu menangis, memegangi tanganku.

Dinginnya kulitku terasa menghangat ketika tangan Ibu menggenggamnya dengan erat. Aku mendongkak menatapnya, wanita yang berdiri didepanku kini masih sama. Tidak ada yang berubah, kecuali tangisnya yang seakan menginginkan aku.

"Aku... Udah maafin Ibu kok." Kataku, tanganku terulur mengusap pipinya, menghapus air matanya. Namun perkataanku itu membuat tangisnya semakin pecah.

"Terima kasih... Terima kasih." Katanya lirih dengan memaksakan diri untuk tersenyum, aku balas tersenyum. Tangannya melepas tanganku.

"Ibu, kita tunggu Papa sama kak Karel datang." Kataku.

Tapi Ibu malah mengulurkan tangannya setelah ia mengusap air matanya.

"Kamu mau gak, ikut sama Ibu?"

Aku menatap tangannya, lalu menatap arah yang aku tunggu kedatangan mereka.

"Tapi aku lagi nunggu mereka, Bu." Gumamku.

"Ibu gak akan jahat lagi sama kamu kalau kamu ikut Ibu." Katanya bersungguh-sungguh, membuatku ragu, kembali menatap arah berharap mereka segera datang, namun rasa rinduku pada Ibu membuatku kembali menatapnya.

Ibu tersenyum, lalu aku melihat empat orang berdiri jauh dibelakang Ibu. Dua orang gadis seumuranku, yang satu tersenyum ceria dan yang satu menatapku sebal, anak perempuan yang tengah mengusap pipinya yang basah, lalu seorang pria muda yang hanya mendengus, namun ia mengulurkan tangannya.

Aku mengernyit, merasa familiar dengan mereka.

"Mereka sudah ikut Ibu, tinggal kamu." Bisik ibu.

Aku mengerjap, dan berbalik berjalan beberapa langkah kearah yang aku tunggu kedatangan mereka. Berharap Papa atau kak Karel berlari dari sana menjemputku.

Aku masih berharap, mereka mau membawaku kembali bersama.

🍃🍃🍃

Seorang Dokter keluar dari ruang operasi membuat Dika, Wendy dan Karel menghampirirnya. Wajah mereka sangat cemas dan penuh harap. Namun helaan napas berat dan tatapan penuh penyesalan dari Dokter itu membuat semuanya tercekat terutama ketika Dokter itu mengatakan.

"Waktu kematian, 03.45 dini hari"

Karel menggeleng, ia menubruk dokter dan menjeblak pintu ruang operasi, menatap tidak percaya pada seseorang yang terbaring dengan kain putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya, bahkan sampai wajahnya. Beberapa perawat dan Dokter memberinya ruang.

Langkah Karel begitu berat untuk mendekat, tangannya begitu dingin dan bergetar. Perlahan ia membuka kain itu sampai dada, air matanya luruh ketika melihat wajah adiknya yang terlelap tampak tenang dan ringan.

I Borrow Your Boyfriend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang