XII

10.8K 1K 9
                                    

"Perkara move on itu bukan tentang melupakan sosoknya yang sepaket dengan kenangannya, tapi merekonstruksi perasaan yang ada. Jadi, mau dia jungkir balik depan lo juga ya, gak akan berefek apa-apa."

-Mutiara Cantika Harjanto-


"Kamu hari ini buka konseling sama anak-anak?"

Mutiara menoleh pada Friga kegusaran hatinya teralihkan, Friga dengan tenang menyantap lumpia andalannya dengan wajah sembab dan mata sedikit bengkak. Ya, semalaman Friga menangis mengadu padanya juga pada Rere kalau dia resmi berpisah dengan Satria.

"Gue gak tahu kenapa dia semudah itu bilang, iya!!! Astaga.... padahal demi Tuhan, gue berharap banget dia ngerengek minta gue bertahan sedikit lama. Seandainya dia bilang gitu, tanpa memohon dua kali langsung gue iya-in." Bayangkan, kata-kata itu meluncur cepat malam itu di sebuah rooftop restoran Ranz. "Ternyata gue gak cukup berharga buat dia selama ini, gue tahu dan gue selama ini berpura-pura buta."

Mutiara dan Rere saling pandang, ikut merasa sedih tentu saja tapi yang mereka rasa cenderung lebih ke bahagia. Iya, karena akhirnya Friga tak bodoh lagi. Bertahan dengan orang yang tak pernah melihat ke arah kita itu adalah sebuah kesia-sia an buang-buang waktu dan tenaga plus perasaan. Tidak, kalau dia juga ikut berjuang untuk menerima kehadiran kita. Sayangnya...

"Iya, istirahat ini khusus untuk kelas dua belas."

"Ada yang datang, emang?" Tanya Friga skeptis. Netranya fokus mengarah pada tv, menampilkan berita entertainment.

Mutiara mengedik, "gue rasa sih, gitu." Sebenarnya Mutiara tak terlalu yakin, agak sulit membuka kelas konseling secara pribadi di waktu istirahat. Anak-Anak pasti lebih tergiur nongkrong di kantin dibanding datang ke kantornya untuk curhat atau meminta pendapat padanya.

"Dio beneran akan tunangan," gumam Friga. Mengikuti arah pandang Friga, Mutiara berusaha tersenyum tipis. Dia tahu, hal ini akan terjadi. Mutiara belajar ikhlas agar perasaannya juga tak menggebu-gebu. Di sebuah layar lcd menampilkan Dio yang sedang di interview soal persiapan pertunangannya yang nanti akan berlangsung beberapa bulan ke depan.

Mutiara kini paham, move on bukan perkara memutuskan tali silaturahmi dengan cara memblok sosial media lalu lupa begitu saja, mustahil. Memang apa yang mau dilupakan? Rasa? Atau orangnya? Mutiara ingin tertawa, dulu dia ingin amnesia tapi amnesia khusus pada Dio seorang saja. Benar-benar pemikiran naif. Padahal move on itu butuh yang namanya 'ikhlas' alias dibawa enjoy asal niatnya benar, jangan ngeres juga sebab semua butuh proses. Nikmati saja. Dan ubahlah mindset kalau move on itu tak sulit.

"Sekarang gue ngerti gimana rasanya susah move on." Friga dengan cepat mematikan tv, dia menyerong tubuhnya agar berhadapan dengan Mutiara. Menghela napas panjang, lalu tersenyum lemah. "Susah, ya?" Tuturnya menerawang.

Mutiara memasang wajah kalem, dengan ekspresi sedikit berpikir dia kemudian berujar. "Sebenernya gak susah sih, ubah mindset aja. Terus perkara move on itu bukan tentang melupakan sosoknya yang sepaket dengan kenangannya, tapi merekonstruksi perasaan yang ada. Jadi, mau dia jungkir balik depan lo juga ya, gak akan berefek apa-apa."

Friga berpikir sejenak, "caranya?"

"Nikmati prosesnya. Gak mudah untuk melepaskan atas apa yang pernah kita punya di hati. Khusus untuk lo, gak perlu lah saling blokir sosmed. Paling lo harus terbiasa dengan rutinitas tanpa dia, membuat plan baru tanpa ada dia di dalamnya, dan melakukan apapun yang lo suka tanpa harus dikekang oleh peraturannya. Jomlo itu gak sepenuhnya ngenes, buktinya gue biasa-biasa aja. Jarang galau."

Wanita berkulit eksotis itu mulai mempertimbangkan saran Mutiara, toh, terbukti kalau selama ini meski sedikit merasa galau Mutiara lebih terlihat tenang dan bahagia.

Mutiara ✔ [Completed]Where stories live. Discover now