Langkah kaki Mutiara terhenti ketika ia menemukan sosok wanita yang awalnya tertegun bertemu pandang dengannya dan setelah beberapa detik terlewat, akhirnya tersenyum ke arahnya sebelum ia sempat mengetahui keadaan Raka yang sebenarnya.
Rania mempersempit jarak, melangkah elegan nan anggun tangan kanannya melambai dengan senyum tertarik sempurna. Cantik.
"Hai, Tiara. Udah lama ya gak ketemu."
Kepala Mutiara mengangguk kaku, Rania masih tersenyum dan tangannya terulur memberikan tissue. Setelah mengucapkan terima kasih, dengan perasaan tak enak hati Mutiara mengusap wajahnya yang bersimbah airmata.
"Raka baik-baik saja, dia hanya perlu istirahat," jelas Rania menoleh kepalanya ke segala arah. "Kita duduk di sana sebentar, kamu gak keberatan, kan? Ada yang pengin aku omongin." pinta Rania, telunjuknya mengarah ke deretan kursi yang terletak di pinggiran koridor.
"Bisa, Ce."
Dua wanita itu berjalan sejajar.
"Maaf Ra, aku gak pintar basa-basi," terang Rania menatap Mutiara lurus. Bulu kuduk Mutiara meremang, firasatnya mengatakan bahwa Rania mengetahui masalah antara Raka dan dirinya. "Aku tahu masalah kamu dan Raka, aku jugalah yang menghajarnya waktu itu sewaktu Raka melakukan pengakuan di hadapan aku. Maaf sebelumnya, kalau apa yang Raka perbuat juga diperbuat oleh saudara kamu pasti kamu akan memilih bertindak hal serupa. Murka dan akhirnya memaafkan. Ikatan emosional dan darah tidak bisa ditampik."
Jantung Mutiara seketika tertohok.
"Tapi itu bukan berarti aku membenarkan perbuatannya di masa lalu, Ra. Never. Tetap saja Raka bagiku salah dan dia juga tak menolak apalagi menepis tuduhan yang aku lemparkan ke dia. Dia menerima dengan lapang."
Alis Mutiara mengerut, entah mengapa ia merasa Rania seakan menyalahkan sesuatu.
"Raka sudah cukup sering menyalahkan dirinya, kalau saja dia bisa mengendalikan diri maka kejadian itu nggak bakal kejadian. Kalimat penyesalan itu sering dia omongin sampai aku balik marah. Raka pria brengsek Ra, semisal itu yang ada dalam kepala kamu, kamu benar." Lagi, jantungnya mencelos.
Kepala Mutiara terasa berat dan telinganya berdenging.
"Tujuan aku mengatakan ini, biar semuanya jelas dan kamu bisa memutuskan. Aku mohon jangan siksa Raka lebih jauh lagi, bagaimanapun Raka tetaplah kakak ku. Dia pria pelindung aku selain Ayah, dia yang selalu setia menemani kemanapun aku pergi dan selalu menyerahkan diri pada Ayah dan bunda ketika aku yang berbuat salah. Aku mengerti posisi kamu di sini terluka. Tapi aku mohon segera putuskan apa kamu ingin bertahan atau pergi, tak perlu pikirkan bagaimana reaksi keluarga kita nanti. Yang paling terpenting adalah kalian tak terjerat hubungan yang menyiksa." Tutur Rania panjang lebar dengan kalimat yang sebelumnya sendu kemudian bernada tegas.
Kelopak mata Mutiara berlinang airmata, ia masih mencintai Raka. Sangat. Tak peduli ragu di hatinya sebab Raka sendiri tak sepenuhnya terbuka padanya menjadi pertimbangan berat. Dan ia dipaksa untuk memutuskan sebelum ia mengklarifikasi apa yang Raka inginkan sesungguhnya darinya.
"Hei, serius amat ngobrolnya." sebuah suara yang sudah sangat lama tak didengar Mutiara menginterupsi. Kedua wanita itu menoleh ke sumber yang sama. Andy tersenyum namun tak lama berganti ekspresi penasaran menyadari atmosfer tak menyenangkan terhembus. Apalagi menyadari kelopak mata Mutiara dipenuhi cairan bening.
"Oh, hai Ndy. Kapan nyampe dari Bandung?"
Pria itu mendengus, pura-pura seakan tak terjadi apa-apa. "Semalam, boyong keluarga juga. Mereka ada di rumah orangtua kamu."
"Bunda sama Ayah, dimana?"
"Masih di rumah, katanya malam nanti baru ke sini. Lagian kamu sendiri yang bilang sakitnya Raka tidak parah."

YOU ARE READING
Mutiara ✔ [Completed]
RomanceRakasa Regantara dan Mutiara Cantika Harjanto adalah sedikit dari manusia yang memiliki kasus serupa. Gagal Move On. Sayangnya, siapa yang akan menyangka saat setelah mereka mengalami hal pahit mereka berjumpa dengan perbedaan karakter yang jauh be...