XXXVII

9.3K 879 6
                                    

Dalam perjalanan menuju rumah Mutiara, Raka memutuskan berbalik arah memilih menuju ke kantor terlebih dahulu lalu memberi titah pada Celline yang juga merupakan sekretarisnya untuk membagi tugas saat dia sedang tak ada di tempat. Raka meminta Celline menggantikannya serah terima tugas sisa kemarin pada Ranz.

Celline jelas tak terima, dia senang-senang saja hanya perlu memberi titah pada staff Raka tapi untuk menggantikannya serah terima tugas rasa-rasanya terlalu berat dan tak sesuai jobdesk-nya. Namun ekspresi wajah Raka yang tak biasanya memelas dan melunak serta tawaran the power of brands expensive Pada akhirnya membuat Celline bungkam, lalu senyum semringah dan anggukan cepat nan berkali-kali sebagai jawaban kesanggupannya tanpa pikir panjang. Kapan lagi ditraktir kakak sepupu yang paling kaku dan tak peduli pada saudara sendiri? Kesempatan langka yang tak boleh dilewatkan. Kapan lagi ngambil barang branded secara asal tanpa mikir nominal? Barang gratisan jauh lebih menggiurkan.

Raka sudah maklum dengan tingkah adik sepupunya ini.

Hanya perlu tiga puluh menit meeting mendadak dengan sekretarisnya dan Raka kemudian hengkang dari kantor. Dia sengaja kemarin memesan tiket paling akhir menuju Medan agar bisa memiliki waktu bersama Mutiara meski tak lama. Namun keadaan ternyata membuatnya kalang-kabut dan memilih menghabiskan waktu bersama Mutiara lebih lama. Perasaan gamang, cemas, dan khawatir menyambanginya secara beruntun.

Raka singgah sebentar di lapak bubur ayam langganannya baru setelahnya ia meluncur ke rumah Mutiara. Dimana Alaric sudah menantinya di ruang tamu.

"Kak Tiara di atas ko, lagi tidur."

"Hm iya, boleh saya ke atas?" Raka meminta ijin.

"Boleh ko, koko duluan saja nanti saya nyusul sekalian buburnya saya salin ke mangkok dulu."

Raka tersadar, telunjuk Alaric mengarah pada tangannya yang masih menenteng bubur.

Letak kamar Mutiara tak lagi asing bagi Raka, sebab sebelum mereka menjalin hubungan pun Raka pernah mengantar dan membopong Mutiara yang pingsan langsung ke kamarnya.

Di ranjang yang tak terlalu luas itu, Mutiara berbaring tanpa selimut. Wajahnya pucat dan tertidur pulas dengan napas teratur, tangan kirinya diinfus. Mutiara mengenakan kaos oversize dan celana panjang sampai ke mata kaki. Raka mendekat, lalu mengambil kursi yang berada di meja rias untuk ia duduki.

Suara derit pintu yang terbuka menginterupsi Raka mengamati wajah Mutiara, Alaric masuk membawa nampan dimana ada bubur dan segelas air putih dan secangkir teh hangat bersama kudapan untuk Raka.

"Tadi pagi setelah subuh an kak Tiara ngeluh meriang dan demam, Abi sudah ambil tindakan langsung pasang cairan insya Allah setelah cairan infus abis kak Tiara sembuh." Alaric tanpa diminta memberi penjelasan.

"Terus Abi dan Ummi kamu, dimana?"

"Weekday ko, ya di rumah sakit sekarang."

Raka merasa jadi orang bodoh karena terlalu panik mengetahui Mutiara sakit.

"Terus ponsel Mutiara?"

"Oh, itu! Kak Tiara kalau demam hape nya disingkirkan jauh-jauh biar gak kena radiasi, dinonaktifkan juga supaya gak ada yang ganggu jadi dia bisa istirahat dengan tenang dan damai." jawab Alaric yang tak lagi memelankan suaranya,  sengaja.

"Maaf ya ko, sekarang waktunya kak Tiara bangun harus minum obat resep dari Abi."

Alaric duduk di bibir ranjang dan menepuk lengan kakaknya yang tengah berbaring miring menghadap nya. "Kak,.. bangun kak,.. kak Ara,.. kak Tiara!!"

Mutiara melenguh, ia mengubah posisi menjadi terlentang tanpa membuka mata.

"Makan dulu, terus minum obat."

Mutiara ✔ [Completed]Where stories live. Discover now