"Bukankah mencintai tak butuh alasan logis? Cinta adalah kepekaan rasa yang bahkan logika tidak bisa mencegah atau memaksakan hadirnya."
-Mutiara Cantika Harjanto-
Saat suara tawa kecil perlahan hilang dan ia yang sedang dilanda euforia. Tak menyangka bahwa tepat ia kembali pulang ia bertemu dengan seseorang yang ingin ia jadikan 'rumah'. Kemanapun kaki melangkah, dimana jiwa bebas yang ingin berkelana sukar untuk ditahan, menjelajah ke pelosok bahkan mencipta dunia lain dalam imajinasi. Ada satu waktu dimana ia akan ingat pulang, yang menanti dengan perasaan was-was sekaligus tertarik dengan apa yang pernah ia jumpai. Atau bahkan seseorang itu ingin menemaninya, berjalan bersama. Maka ia tak perlu risau akan 'rumah' sebab yang ia anggap 'rumah' selalu di sisinya.
Pria itu sadar, indra pendengarannya tak lagi mendengar tawa kecil yang terkontrol sempurna itu. Netra nya melirik, mendapati wanita itu menatapnya. Tatapan yang terlihat kosong, sayangnya ada gelegak emosi tersirat di dalamnya.
Batin Mutiara merintih sekaligus mengeluh, ia benci berpura-pura. Namun disaat yang bersama an setidaknya hal itu bisa menjadikan dirinya perempuan elegan yang tak suka berlaku implusif. Jika ia harus mengaku apa yang tengah ia alami beberapa bulan penyiksaan ini, satu-satunya yang membuat ia penasaran adalah kehadiran Raka yang tiba-tiba mengisi seluruh pikiran dan hatinya. Disela-sela ia disibukkan oleh pekerjaan yang harus menjadi prioritasnya. Untuk itulah, mengapa bahkan sampai kelopak matanya terpejam keningnya tak bisa berhenti berkerut dan hatinya dilanda kegelisahan.
Satu waktu masalah perlahan mereda, menjadikan ia bangkit dari menutup diri terlalu lama. Satu kenyataan yang harus ia terima, bahwa ia jatuh cinta pada kakak sulung sahabatnya sendiri tanpa bisa ia halau, meski sedemikian bulan yang terlewat ia bertanya pada diri sendiri sebab akibat ia mencintai pria berwajah datar itu. Namun kembali hatinya berbisik, bukankah mencintai tak butuh alasan logis? Cinta adalah kepekaan rasa yang bahkan logika tidak bisa mencegah atau memaksakan hadirnya.
Dalam mobil, Mutiara berusaha mengedar pandang menghindari lirikan tanya Raka karena berhenti dari acara -tertawa akan kenangan masa lalu- nya sendiri, jalanan Jakarta seperti biasa selalu menguji kesabaran, dan kehati-hati an Raka dalam mengemudi tak bisa leluasa untuk membaca bahasa wajah Mutiara.
"maaf kalau saya agak berisik," kata Mutiara pelan dalam suasana mobil yang sepi sebab Raka bukan typikal yang suka mendengar musik dari stereo mobil nya.
Jemari Raka terkepal di atas kemudi, batinnya sedikit mengeluh karena Mutiara sama seperti dengan orang-orang yang ia temui. Takut. Raka tak bisa menyalahkan karena yang ia tahu, itu berasal dari pembawaannya dan ia tak bisa menjadi orang lain agar respon yang ia dapatkan persis seperti yang ia inginkan.
"tidak masalah, saya lebih suka diceritakan tentang pengalaman." Raka menanggapi dengan santai meski raut wajahnya biasa-biasa saja, datar nan lempeng. "warna," katanya penuh teka-teki hingga Mutiara yang tengah melihat kendaraan roda dua di depannya yang saling berebut menyalip menoleh menatap wajah Raka yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. "setiap kenangan memiliki warna berbeda-beda dalam hati kita, menurut kamu warna apa yang cocok untuk kenangan yang baru saja kamu ceritakan?"
Kelopak mata Mutiara mengerjap, tak menyangka seorang Rakasa mengajaknya berbincang dengan topik receh namun mengesankan baginya. Warna dan kenangan. Menggelitik sekali.
"Orange."
"kenapa?"
Mutiara mengedik bingung, "sebenarnya saya tidak terlalu tahu, bicara tentang warna justru warna orange itu yang muncul dalam benak saya. " jawab Mutiara sekenanya, "tapi berlari karena ketakutan yang menggelora setiap pulang sekolah dan mencari tempat ramai, lalu kelelahan dan tertawa ketika kami saling menilai wajah kami satu sama lain," Mutiara mulai tenggelam dalam kenangan seragam putih-merah. "agak kurang pantas jika disandangkan dengan warna gelap, karena meski sensasi perasaan kami saat itu ketakutan kenangan itu yang paling menyenangkan. Kapan lagi kami bisa berlari sambil menggenggam dan kompak disaat bersamaan? Kesulitan menjadikan kami terikat untuk peduli dan saling menjaga."
Dan ditempatnya, Raka sedang membayangkan bagaimana ekspresi wajah anak-anak sekolah dasar yang ketakutan ketika mobilnya mendadak muncul diujung jalan dan mereka lari karena asumsi publik yang salah. Tapi meski begitu, ia tersenyum amat terhibur karena berhasil memancing Mutiara bicara lebih panjang.
"apa koko punya kenangan masa kecil yang bisa dibagi?" tanya Mutiara nekat.
"saya pindah ke Bandung setelah smp tapi sering bolak-balik Jakarta setiap weekend."
Pantas saja, seru Mutiara dalam hati. Raka seolah tak bisa terlepas dari kota Bandung meski ia bekerja di Jakarta.
"hari-hari saya dan beberapa teman suka kabur ke kebun setelah kembali dari sekolah di pedesaan hanya untuk melihat lahan pertanian atau sekadar bertanya karena penasaran. Ujung-ujungnya kami berkubang dengan para petani terus dikasih upah."
Hati Mutiara bergetar, bukan karena ia mendengar pengalaman Raka bukan pula karena suaranya yang khas, suara yang selalu dibuatnya rindu karena minim berbicara, tapi...
"itu pengalaman yang paling saya sukai, ada banyak kejadian di Bandung yang terlalu panjang diurai satu-persatu. Pada intinya, kami juga sering bermain dan melakukan kenakalan seperti anak-anak yang lain."
"misalnya?" pancing Mutiara dengan tangan dingin. Fenomena yang wajar ketika berdekatan dengan orang yang membuat jantung berdetak abnormal.
"mencuri langsat, mangga, jambu biji, dan masih banyak lagi." Mutiara tak kuasa untuk menahan tawa kecil yang masih saja ia kontrol sedemikian rupa.
Raka berbicara padanya lebih banyak. Itu yang membuat hatinya bergetar lebih dahsyat dan mau berbagi padanya tentang kenangan dimasa ia remaja.
"sudah sampai, titip salam untuk Om Adi dan tante Farah ya." pesan Raka ketika mobilnya berhenti tepat di depan pagar perumahan Mutiara. Kepala Mutiara mengangguk pelan.
"iya, apa gak mampir saja sekalian?" tawar Mutiara dan Raka kembali memberikan senyum tipis.
"lain kali saja, kalau sudah waktunya."
"oh!" kening Mutiara meski mengkerut tipis sebagai ekspresi kebingungannya, Raka tak mau susah payah menjelaskan.
"Mutiara!" panggil Raka sebelum wanita itu menutup pintu mobil.
"ya?"
"jadi diri kamu sendiri aja di depan saya, tidak perlu mengontrol diri hanya karena saya lebih pendiam."
Terpaku, tercenung dan Mutiara tak tahu harus apa saat itu yang pasti sikap yang ia berlakukan pada Raka sebenarnya bertujuan agar Pria itu tetap merasa nyaman dan tak risih.
Namun jika ditelisik, kalimat itu seperti menjanjikan untuk pertemuan-pertemuan lain menghabiskan waktu bersama.
"iya, Ko."
Tepat pintu mobil ditutup oleh Mutiara, Raka menginjak pedal gas setelah pamit dan pergi segera dari sana.
Lama Mutiara bergeming di tempat ia berpijak saat Mutiara berbalik ia terperanjat karena kehadiran Abi nya yang tak ia prediksi. "pak Abi!" serunya merengek, "Tiara kaget lho, tiba-tiba aja ada dibelakang." Abi nya tersenyum melihat putri semata wayangnya mengelus dada karena terkejut.
"itu Raka?" tanya Abi mengindahkan seruan Mutuara tak pelak Mutiara mengiyakan.
"iya tadi sebelum balik koko kirim salam sama pak Abi dan bu Ummi."
"wa'alaikumus salam." jawab abi.
Abi mengangguk, "sudah makan?"
Mutiara tersenyum, menggamit lengan abi nya dan mengajak lelaki paruh baya itu untuk masuk. "udah dong pak Abi."
-enjoy-

YOU ARE READING
Mutiara ✔ [Completed]
RomanceRakasa Regantara dan Mutiara Cantika Harjanto adalah sedikit dari manusia yang memiliki kasus serupa. Gagal Move On. Sayangnya, siapa yang akan menyangka saat setelah mereka mengalami hal pahit mereka berjumpa dengan perbedaan karakter yang jauh be...