XXXV

10.2K 936 50
                                    

"Jangan terlalu fokus pada perbedaan, sebab itu menyakiti harga diri dan perasaan. Cinta itu apa adanya, Ra. Tak ada embel-embel kesombongan atas pencapaian."

-Bunga Krisan Permatasari-

"Ko, Ayah mau delegasi kan kamu ke Medan selama dua atau tiga minggu." atmosfer meja makan mendadak muram, sebab bagi Ranz dan Rere membahas pekerjaan di meja makan sama sekali tak ada menariknya. "Bryan yang harusnya ke sana tapi kamu tahu sendiri istrinya yang lagi lanjut S2 di Austria baru saja melahirkan."

"Beneran?!" seru Rere kaget nyaris tersedak. Mencegah Raka yang baru akan membuka mulut menelannya mentah-mentah.

"Bryan kan sudah share di group whatsapp keluarga kita, sayang." jawab Ayahnya yang menatap putri bungsu nya yang harusnya paling update kini tampak kudet.

"Eh? Masa sih,  Yah? Bentar deh, coba Rere cek dulu."

Rere yang sering membawa ponsel kemana pun dan kapan pun sekalipun tengah makan bersama keluarga ponsel adalah barang yang bahkan lebih krusial dibanding dompet. Lha, kok bisa? Lagian apa-apa serba digital, mau belanja juga bisa pake hape, mau bayar ini itu udah bisa pake hape. Era millenial memang jauh dari millenium.

Rere menyunggingkan senyum bahagia. "YASSS!! Celline bahagia banget pasti udah punya ponakan baru."

Ranz yang duduk di sebelah Rere ikut mengintip melihat gambar seorang bayi yang di kirim Bryan lewat group whatsapp.

"Nah kalau ini gak ada muka-muka tionghoa nya deh kayaknya."

Randy yang sejak awal mengetahui kabar sekaligus telah melihat foto yang dikirimkan oleh Bryan setuju. "Iya matanya gak sipit, kulitnya juga sedikit gelap. Gen nya kak Putri tuh yang dominan."

Rere yang malah berseru kecewa, tapi tetap cukup senang. "Gak papa yang penting anaknya kak Bryan ntar juga kalau punya anak kedua ketiga kan kita gak tahu bakal mirip siapa."

"Kamu bisa serah terima tugas dua hari dari sekarang sebelum keberangkatan kamu pada Ranz kan, ko?" desak Ayah mereka mengabaikan obrolan anak-anaknya yang lain.

Mendengar namanya di sebut kuping Ranz mendadak disfungsi, rahangnya juga serasa jatuh menempel pada lantai, dia tak pernah siap kalau harus menggantikan pekerjaan Raka yang tak ada nyaman-nyamannya. Memang risiko bekerja di perusahaan kontraktor hanya ada dua. Satu, ngedem di tempat enak risikonya otak terkuras sampai Ranz merasa ketika keluar dari kantor kadar kegilaannya meningkat. Jangan tanya Ranz alasannya, sebab ia meyakini itulah mekanisme perlindungan otak atas tekanan yang berat jadi ia butuh peralihan. Dua, sedang berada di luar kantor inspeksi ke proyek sama dengan menyerahkan diri untuk diterjang terik mentari yang panasnya seringkali menggila atau hujan yang bertandang tak terduga, parahnya kita tidak tahu kejutan apa yang akan dia temui saat di proyek. Ada saja yang bisa membuat kepalanya panas. Ranz mendesah berat, untuk protes dia tahu tak akan pernah berguna maka hal yang paling bermanfaat ia lakukan adalah diam.

"Bisa, Yah." jawab Raka kalem melanjutkan makan siang atas undangan Ayahnya.

Mendengar kesanggupan Raka, tanpa sadar Ranz menggigit cumi crispy nya dengan ganas dan cepat.

Rere dan Randy yang duduk bersebrangan saling melempar pandang, bibir mereka terkatup rapat dengan paksa dan sekuat tenaga tetap dirapatkan. Terbuka sedikit saja, dikhawatirkan tawa akan menggema lancang. Jelas, mereka berdua tau penderitaan yang akan menanti Ranz  esok lusa. Ayah mereka bukan tak tahu keberatan Ranz, tapi ia ingin Ranz juga secakap dan sekompeten Raka, agar kelak ia bisa memercayai anak-anaknya berbagi tugas. Bunda Ayla pura-pura tak melihat, takut hatinya goyah. Ranz sejail apapun baginya Ranz yang paling lemah.

Mutiara ✔ [Completed]Where stories live. Discover now