Raka sudah siap dengan perlengkapan hernes yang melilit tubuhnya. Chalk bag yang berisi kapur magnesium melingkar di pinggangnya, ia mengangkat tangan kanannya dan memberi kode tanda siap kepada belayer. Sebelum akhirnya ia menoleh ke belakang—sekaligus kedua tangannya menyentuh kapur magnesium agar tangannya tak terasa licin di setiap point yang akan ia taklukkan—Raka memberi senyum pada seseorang yang sebelumnya tak pernah menemaninya tiap kali beraktifitas, Mutiara.
Ini kali pertama Raka berbahagia, definisi soulmate nya memang tak harus selalu berada di sisinya tapi Mutiara ingin mengetahui dan mengenal kegiatan yang Raka sukai walau ada satu hal yang tak bisa Mutiara janjikan, tak harus ikut trekking ke gunung. Kata perempuan itu ia tak kuat survive di tempat yang dingin, mungkin jika suatu saat nanti ia bisa menjaga pola hidup sehat dan berimbang seperti Raka juga merekontruksi sugesti tentang berkelana akan ada waktunya ia akan menemani Raka kemanapun.
Mutiara melambaikan tangan dan memberi semangat, beberapa orang di sana menyaksikan itu tersenyum geli.
Raka anak yang kaku, bertemu dengan Mutiara yang mampu membuatnya bersikap dari biasanya itu pemandangan baru.
Salah satu rekan Raka yang bekerja di sana sebagai instruktur bouldering dan climbing mendekat, berjabat tangan dengan Mutiara dengan akrab.
"Kita pernah ketemu, kan?" tebak pria berusia di akhir tiga puluh tahun.
Dengan yakin, Mutiara mengangguk pelan. Dia tidak lupa kalau pernah meminta Raka dulu mengantarnya ke Plaza Festival hanya untuk memata-matai anak didiknya, Dani. Specially, dia tidak ingat siapa saja yang ia temui waktu itu. Tentu saja, sudah nyaris dua tahun.
"Tapi kita belum sempat kenalan, kemarin." lanjutnya.
Mutiara mengangguk paham. "Saya Mutiara, pak."
"Duh berasa tua banget saya dipanggil, pak."
Mutiara merasa rikuh tak tahu harus berekspresi seperti apa, sungkan.
"Saya Ahmad bu Tiara."
"No! Panggil saja Tiara, please."
"Kalau begitu panggil saya abang, mas, kakak juga boleh."
"oke, fine. Abang aja."
"Nah, bagus. Jadi, Raka lucu kan?"
Seandainya bisa ia ingin sekali Raka mendengar ini. "Yaa begitulah."
"Kamu yang pertama."
Mutiara menautkan alisnya bingung. "Kamu yang pertama dia ajak kesini, satu-satunya gak ada yang lain." jelas Ahmad.
Lalu tanpa harus menunggu diijinkan ia mulai bernarasi. "Tahun kemarin pertama kali Raka ngajak kamu ke sini kami ngiranya kamu pacarnya. Udah di ledek sama anak-anak dia masih aja lempeng begitu. Saat itu saya tahu kalau kalian gak ada apa-apa, hanya dua orang yang kebetulan bertemu dan memiliki tujuan yang sama."
Mutiara mengangkat kepalanya, dia tak menyangka Raka sudah tiba di puncak dan tengah duduk di atas sana dengan santai. Kakinya terayun-ayun di udara, dan sudah bisa dipastikan pria itu melambai mau tak mau Mutiara juga melambaikan tangan. Raka pasti capek. Dia perlu mengembalikan tenaga sebelum turun ke bawah.
"Beberapa bulan yang lalu dia datang, dengan wajah yang jelas terlihat keruh." Mutiara menoleh kepada Ahmad. "Dia bingung bagaimana cara mendekati kamu, ini kali pertama Raka meminta saran sebagai sesama pria. Selama ini kalau ada yang menganggu pikirannya seperti laki-laki pada umumnya, kami menyepi untuk mencari solusi." sekarang Mutiara mengerti kenapa Raka suka melarikan diri ke gunung. "Raka mungkin tak pernah menjalin hubungan yang serius, jadi karena saya sudah menikah dia meminta saran atau opini dari saya tentang kamu."

YOU ARE READING
Mutiara ✔ [Completed]
RomanceRakasa Regantara dan Mutiara Cantika Harjanto adalah sedikit dari manusia yang memiliki kasus serupa. Gagal Move On. Sayangnya, siapa yang akan menyangka saat setelah mereka mengalami hal pahit mereka berjumpa dengan perbedaan karakter yang jauh be...