XXXIX

9.9K 894 25
                                    

"Percaya gak sih, kalau luka 'kecewa' lebih susah sembuhnya dibanding 'patah hati'?"

-Mutiara Cantika Harjanto-

Menyerah di panggilan ketiga, hening menyapa. Yang terdengar sesekali hembusan napas panjang dan berat, lalu denting jam yang bergerak tiap detiknya. Kedua telapak tangannya bertemu wajahnya yang lesu sehingga beralih muram dan pria itu sama sekali tak akan menyalahkan respon kekasihnya.

Raka sendiri yang bilang, tak akan melakukan pembelaan. Dia sendiri yang  mengakui, bahwa itu kesalahannya. Hingga Raka tak perlu menyalahkan tanggapan Mutiara terhadapnya yang wajar, sangat wajar. Kalaupun ia kembali ke masa lalu, Rania pernah berlaku serupa tapi dengan cara yang berbeda. Marah bukan main, meninju nya, bahkan menangis. Energinya habis setelah emosi yang meledak-ledak. Tapi Rania memaafkannya setelah dia  membereskan masalah itu dan memastikan tak akan ada masalah lagi di masa mendatang akibat urusan yang sama. Bukan ingin lepas tanggung jawab namun karena Jane sendiri yang meminta, entahlah Raka juga bingung apakah dulu ia merasa senang dan lega karena tak terjerat oleh ikatan hukum bersama Jane. Namun yang ia ketahui pasti, Rania marah dan memaafkannya karena Rania mencintainya atas dasar ikatan darah dan emosional. Sekarang, Raka tiba-tiba lupa apa yang pernah ia katakan pada ibunya dan Rania. Dia lupa. Atau dia mulai merasa ragu akan kepantasannya bertahan di sisi Mutiara.

Banyak hal yang memenuhi kepalanya, dia tak bisa seperti ini. Kedatangannya di kota bika Ambon ini berkaitan akan pekerjaan namun perasaan goyah akan rahasia nya yang disingkap secara sengaja setelah bertahun-tahun yang lalu dilindungi oleh orang-orang terdekatnya dan kemungkinan bahwa kekasihnya tak akan kembali padanya mulai memenuhi kepalanya. Mendesak dan menghunjamnya dengan brutal.

Raka menghempas kedua tangannya dengan frustasi, ia bangkit berjalan menuju pintu. Keluar dari bilik hotelnya dan berjalan dengan satu tujuan. Ia menemukan mini market di seberang hotel begitu masuk telunjuknya menunjuk sebungkus cerutu rasa mint. Sudah lama sekali ia tak menghisap racun nikotin yang berperan sebagai musuh terbesar paru-paru.

"Tiga bungkus, mbak." pinta Raka berubah pikiran.

Si kasir mengerti dan memberikan tiga bungkus sigaret sekaligus sesuai permintaan Raka. "Sekalian sama korek, mas?" kepala Raka mengangguk sekali.

Usai transaksi berlangsung, baru saja kakinya akan melangkah keluar mini market ia menemukan nomor tak di kenal menyapa ponselnya di jam yang tak tahu diri. Raka memutuskan mengangkatnya setelah keluar dari mini market dan menyebrang jalan kembali ke hotelnya.

"Halo?"

Suara musik sayup-sayup terdengar di ujung sana, lalu keluhan-keluhan kecil yang tak begitu jelas dan isak tangis menyambangi pendengarannya. Langkah Raka seketika terhenti, ia bergeming. Terpaku di halaman hotel.

"Thanks ya, Joe. Lain kali gue pastiin gak dateng lagi." sungut seorang wanita di ujung sana, Raka mengenali suaranya. Percakapan mereka terdengar alot dengan nada bercanda dan penuh guyonan. "Aduh duh.. Oleng lagi nih anak. Galih mana sih?  Lama banget nyampe nya."

"Gue bantuin aja gimana?"

"Emang bartender bisa gitu keluar dari singgasana nya?"

"Ada Martin yang bisa gantiin gue kali Fri."

"Gak usah! Gue nunggu Galih aja."

"Tiara dari dulu lucu banget udah gue bilang gak ada Sampanye dia malah ngambek, kalau begini terus ceritanya, bawaannya pengen di bawa pulang. Di kontrakan gue, lumayan lah." kekehan pria itu terdengar.

"You wish! Ara udah gak available lagi anyway."

Joe itu pura-pura mendesah dan tersakiti.

"Sekali teguk langsung teler, anak baik-baik kenapa lo bawa mari?"

Mutiara ✔ [Completed]Where stories live. Discover now