Moment 31

332 72 15
                                    

Marrie menjauhkan ujung ponsel dari telinganya seraya mengernyitkan kening saat sambungan telepon di seberang sana sudah terputus. Padahal keputusannya baru saja diambil, sama sekali tidak ada basa-basi yang terjadi sedikitpun. Sementara ia selesai menaruh benda tersebut di tempat semula—meja belajar di kamar adiknya—pintu kamar mandi pun terbuka. Memperlihatkan Jungkook yang sudah mengenakan piyama bergambar buah pisang sambil mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk kecil, yang kemudian ia sampirkan di pundaknya.

“Oh, Noona. Kamu ada di sini?” Sontak Marrie sedikit terkejut dan segera berbalik badan. Tidak ada kecurigaan sama sekali di pikiran Jungkook. Kakaknya itu biasa masuk ke kamarnya tanpa izin, hanya untuk memeriksa tugas kuliahnya. Tentu saja, atas perintah Tuan Besar.

“Hm,” gumamnya santai, lalu meletakkan satu telapak tangan di pundak Jungkook sambil menepuknya. “Kamu sudah melakukannya dengan baik.” Untung saja, Marrie sudah lebih dulu melaksanakan tugasnya, sebelum berinisiatif menelepon Kim Eungi.

“Tentu saja, aku ini pintar, Kakek saja yang tidak yakin padaku,” gerutunya kemudian tersenyum kecut. Mengambil langkah menuju cermin besar di dekat lemari bajunya, untuk sekedar memeriksa keadaan wajahnya—yang setiap hari selalu terlihat mempesona.

Marrie tersenyum menyaksikan tingkah adiknya itu sambil manggut-manggut. “Aku yakin, dibalik sikap kerasnya, Kakek juga sangat bangga padamu. Kakek hanya ingin melihat kedua cucunya berhasil.” Sementara Jungkook tidak merespons. Dalam hatinya, masih ada perasaan tidak terima. “Omong-omong, apa kamu bisa membantuku?”

Tidak segera menjawab, Jungkook mengalihkan perhatiannya dari cermin dan fokus pada Marrie. “Apa?”

“Besok pagi aku punya urusan yang penting, dan tidak bisa segera menjemput Hyuka di rumah Hoseok. Jadi apa bisa kamu menjemputnya lebih dulu lalu membawanya ke rumah sakit?”

Kernyitan di kening Jungkook langsung tergambar. “Jadi sekarang kamu mengambil alih tugas lagi untuk merawat Hyuka?”

Marrie tersenyum sekilas. “Apa maksudmu? Itu sudah menjadi tugasku.”

“Jangan katakan, kamu benar-benar kembali pada pria dingin itu?”

“Ya! Dia itu calon kakak iparmu.”

Oh my God!” Jungkook sampai berdecak kesal, membuang muka jengkel, tapi pasrah karena yakin tidak bisa menentang kehendak kakaknya tersebut. Kemudian berkata pelan hampir berbisik, “Apa sih lebihnya laki-laki itu, sampai kedua wanita yang aku sayangi mencintainya?”

“Apa?”

“Hah? Hm, tidak.” Buru-buru Jungkook menyangkal, lalu berjalan menuju ranjang sampai duduk di ujung kasurnya.

“Terus bagaimana, mau, kan?” tanya Marrie lagi lebih memastikan. Melipat kedua tangannya di depan dada sambil intens memerhatikan adiknya.

“Aku akan menjaganya besok, tenang saja,” putusnya yang sedikit berbesar hati. Pasalnya, ia malas sekali harus bertemu Hoseok meskipun Hyuka adalah alasan pertama yang membuatnya setuju.

“Ah, kamu memang paman yang baik.” Dengan penuh kasih dan rasa terima kasihnya, Marrie melangkah mendekat lantas mencium kening Jungkook.

“Ish, Noona,” protes Jungkook merasa risi.

Sementara Marrie malah tertawa karena lucu. “Saat kamu masih kecil, kamu suka—”

“Sekarang aku sudah dewasa,” potong Jungkook agak kesal.

“Ya, ya, ya. Terima kasih,” ucapnya lagi dengan nada yang lucu sambil mengacak puncak kepala pemuda tersebut, sebelum akhirnya benar-benar pergi dari kamar bernuansa biru gelap, terkesan keren dan juga simpel itu.

***

Eungi masih duduk, diam menyaksikan—sambil melipat tangan di depan dada—orang-orang yang melintas di jam pagi yang sibuk, di depan matanya. Di antara banyaknya manusia yang hilir mudik tersebut, belum ia temui keberadaan wanita yang semalam mengajaknya untuk bertemu. Entah, ada masalah apa lagi, padahal Eungi merasa masalah di antara mereka sudah selesai.

“Oh, hi! Kamu sudah menunggu lama?” Tiba-tiba suara itu muncul di sebelah kanannya. Sosok yang sekarang ia lihat langsung menyapa dengan ekspresi yang terkesan ramah.

“Lumayan,” balas Eungi seraya menggeser duduknya lebih ke kiri, memberikan ruang untuk Marrie.

“Maaf, aku memang sedikit terlambat bangun,” katanya lagi sambil duduk.

“Tidak masalah, lebih baik segera katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”

Marrie malah tertawa kecil, dan reaksinya itu membuat Eungi bingung. “Kamu itu benar-benar tidak suka basa-basi.” Gadis itu tidak menjawab dan hanya menyunggingkan kedua sudut bibirnya menjadi datar. “Baiklah, aku dengar kamu dekat dengan Hoseok, em maksudku bersahabat dekat.”

Eungi tidak tahu harus menjawab, sebab jika dikatakan masih dekat pun, sekarang sudah tidak lagi. Jarak yang ia ciptakan jelas-jelas untuk mengalahkan semua kenangan tersebut.

“Kamu pasti salah satu yang berarti juga untuk Hoseok, jadi apa kamu bisa membantuku?”

Alis Eungi bertaut seraya menatap Marrie. “Untuk?”

Marrie yang awalnya tenang, mulai menunjukkan ekspresi putus asa. Lantas menggenggam kedua tangan Eungi tanpa ragu, sampai gadis itu agak tersentak. “Aku mohon tolong bantuku membujuk Hoseok. Kamu tahu, aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sangat mencintainya, tapi sepertinya ....” Ia menggantungkan perkataannya dengan wajah tertunduk. Marrie tidak ingin mengatakannya atau menerimanya sebagai kenyataan.

Hati Eungi yang tentu terusik mendengar pengakuan Marrie, serta merta menarik tangannya. “Tidak perlu memperjelasnya, aku pun sudah tahu. Apa maksudmu mengatakan itu? Jika kamu berpikir aku menyukai Hoseok dan akan merebutnya darimu, buanglah pikiran itu. Dan berhenti menggangguku. Urus saja hidup kalian, jangan lagi menyangkut pautkannya denganku.”

Geram, Eungi pun langsung berdiri dan hendak pergi. Namun, Marrie buru-buru menahannya. “Tunggu, aku belum mengatakan maksudku yang sebenarnya.”

Eungi menarik napas berat dan mengembuskannya perlahan. Entah ia harus mengikuti kata hatinya, atau hati nuraninya dalam bersimpati sedikit saja pada orang lain.

“Tolong bujuk Hoseok agar mau kembali padaku,” tukas Marrie segera setelah berdiri, sementara Eungi yang mendengarnya langsung tersentak. “Aku mohon, mungkin jika kamu yang mengatakannya Hoseok akan mengerti.”

Kedua tangan gadis yang sering mengikat rambutnya itu mengepal lumayan erat. Melampiaskan rasa sakit hati dan egonya yang terluka. Untuk kesekian kali, Eungi harus mengobatinya diam-diam—bertahan sendirian, tanpa orang ketahui. Itu sangat menyakitkan, berpura-pura baik-baik saja.

Sampai akhirnya, Eungi berada dalam batas pamrih. Dengan ketegaran hati, ia pun berkata, “Akan aku coba.” Lalu pergi, tanpa menengok lagi. []

ada yang rindu?
atau kesel udah nunggu?

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang