Suasana gaduh yang sering tercipta di kantin sekolah bukan lagi sesuatu yang aneh. Justru janggal, bahwasanya seluruh kelas yang berisi puluhan murid berkumpul di satu ruangan besar—dalam kondisi perut lapar—akan menutup mulutnya, sementara antrian untuk mendapatkan secuil makanan begitu panjang.
Di antara kelompok pertemanan yang memenuhi meja kantin, ada satu gadis yang memilih duduk sendirian. Menunduk sambil cepat-cepat menghabiskan makanan. Rasa waspada karena takut diawasi itu selalu ada. Mungkin tidak semua peduli, tapi tetap saja—menjadi seorang diri di antara banyaknya orang akan mengundang perhatian.
Perasaan cemas itu semakin kuat saat tiba-tiba, tiga orang siswi menghampiri dan memgambil posisi duduk di meja yang sama dengannya. Satu orang berada di depan—layaknya penguasa—menatapnya seakan ingin menerkam, sedangkan dua orang lagi duduk mengapitnya, seolah berjaga jika saja mangsa hilang dari buruan.
“Ka-kalian, a-ada apa?” sontak gadis itu bertanya demikian karena mereka belum juga membuka suara. Kegugupan yang mucul tidak bisa ia lawan, sehingga membuat dirinya terlihat semakin lemah.
Kemudian yang berambut panjang, yang sebenarnya mereka tidak asing baginya karena masih berada di satu kelas yang sama, mengangkat dagu pada si rambut sebahu yang duduk di samping kanan gadis tersebut. Memberi isyarat agar temannya itu mulai bertindak.
Tak ayal, dia mengeluarkan cermin dari saku roknya dan langsung menghadapkan pada si gadis yang terlihat semakin ketakutan sambil mencengkeram dagunya, agar posisinya tepat di depan pantulan cermin.
“Lihat, betapa jeleknya wajahmu itu?” tanya siswi di hadapannya sambil menggerakan satu jari melingkari wajah.
Menyaksikan sendiri, bagaimana kedua matanya dibingkai dengan kacamata, dan rambut panjangnya yang dikepang dua, membuatnya tidak harus memberi alasan untuk membela diri. Nyatanya, ia memang tidak selayak itu dibandingkan ketiga gadis yang saat ini tengah mengganggunya. Kesedihan itu pun langsung tersurat di wajahnya. Sampai kemudian, sebuah buku yang lebih mirip seperti buku harian dilempar dari bawah meja sampai tepat di depan nampan gadis tersebut.
“Hah, bukuku.” Refleks ia mengambil buku hariannya yang sudah hilang beberapa hari yang lalu. “Ja-jadi kalian mencurinya?”
Mereka malah tertawa seperti mengejek. “Yang benar saja, untuk apa?”
“Tapi—”
“Jangan banyak omong, sekarang kita semua tahu rahasia kamu.”
Keringat dingin langsung mengucur di sekujur tubuh. Rahasia? Rasa-rasanya ia ingin tenggelam saat itu juga.
“Jadi sebaiknya bercerminlah dulu sebelum berani mencintai laki-laki populer seperti Kim Taehyung, mengerti!” kata gadis itu dengan suara yang keras sampai membuat orang yang ada di sekitar mereka mendengar.
Tentu, pernyataan tersebut membuat mereka terkejut. Bagaimana bisa? Masalahnya, gadis seperti dia? Tawa cemoohan mereka jelas tidak bisa ditahan-tahan.
“Rasanya begitu menjijikan membaca puisi-puisimu untuk Taehyung di dalam sana.”
Sekarang, perasaan yang lama ia pendam untuk Taehyung telah menjadi konsumsi publik. Bukan tanpa alasan, mereka bertiga memang sengaja melakukan hal tersebut untuk mempermalukannya.
“Oh my God. Yang benar saja, dasar idiot,” celanya yang kemudian menyiram wajah Eungi dengan air minum yang ada di meja. Bahkan tanpa bersalah ia pergi begitu saja disusul kedua temannya, meninggalkan gadis berkacama itu sendirian dengan perasaan malu yang teramat dalam.
Tidak ingin terus menjadi bahan cibiran orang-orang, ia buru-buru bangun dari kursinya dan berlari meninggalkan kantin. Sementara di antara semua yang menertawakan kebodohannya, karena telah mencintai seorang yang menurut mereka tidak sepadan dalam segi apa pun—ada seorang pemuda yang juga duduk sendirian di salah satu meja, memerhatikan kejadian barusan. Kedua irisnya mengikuti kemana gadis itu pergi.
***
“Apa cinta adalah sesuatu yang salah untukku? Apa aku tidak boleh jatuh cinta hanya karena wajahku jelek? Kenapa dunia begitu tidak adil.” Eungi terus menggerutu, mengerucutkan bibirnya dengan wajah ditekuk sambil menyeka wajah yang basah dengan tisu. Sekarang ia merasa tidak punya muka lagi untuk menghadapi orang lain, mereka yang tahu pasti akan langsung mengejeknya saat bertemu.
Tiba-tiba saja sebuah bola menggelinding ke arahnya. Tepat saat itu, suara laki-laki berseru, “Ya! Cepat lemparkan bola itu!”
Gadis itu pun buru-buru memendongakan wajah, ke lapangan sekolah yang berada tidak jauh di kursi taman tempat ia duduk saat ini. Tidak cepat merespons perintah siswa itu, ia malah memerhatikan bolanya dan menumpahkan semua kekesalannya di dalam sana. Salah satu cara untuk membuat penat di hatinya saat ini pergi adalah menendang bola itu jauh-jauh.
Yeah, Eungi melakukannya dengan sekuat tenaga yang dimiliki. Namun, kemudian suara mengaduh yang lumayan keras terdengar. Ia yang panik lantas menoleh ke depan. Kedua matanya langsung membulat dengan mulut terbuka lebar, menyaksikan seorang pemuda berdiri tidak jauh di hadapannya tengah memeluk bola—yang tadi ditendangnya, dengan mimik wajah meringis, menahan sakit.
“Ouh, ma-maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja.” Lantas Eungi berlari menghampiri, bermaksud mengambil bola di tangan siswa itu, tapi sial tangannya yang ditepis malah mengenai wajah anak muda tersebut. “Hah? Aduh, maaf.”
“Ah, udah-udah!” Dia yang risi meminta gadis itu diam.
“Maaf ....” Eungi benar-benar menyesal.
“Dasar bodoh!” hardiknya kesal, lalu berbalik lagi dan kembali melangkah menuju lapangan.
“Bodoh, bodoh. Iya, aku memang bodoh,” katanya mencaci diri sendiri. []
Wkwk.
Gatau knp aku pengen nulis ini. Anggap aja ini bonus, biar kalian ga kesel lagi sama Hoseok. Haha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Moment [JH]
Fanfic[UPDATE, SELASA DAN RABU] Setelah kisah cinta pertamanya berakhir, Jung Hoseok tidak lagi ceria. Ia banyak menutup diri terutama tentang masa lalunya. Sementara, layaknya perempuan kebanyakan, Kim Eungi berkeinginan memiliki kehidupan yang indah sec...