Moment 28

358 75 6
                                    

Sudah hampir tiga hari Eungi tidak datang ke rumahnya. Tiga hari itu juga Hoseok harus izin tidak masuk kerja. Bukan semata-mata karena Hyuka tidak ada yang menjaga, tapi entah kenapa hatinya pun sedang merasakan ketidakberdayaan yang sama. Apalagi setelah membaca pesan dari Eungi.

“Ibu tidak pernah merasa sebahagia ini setelah mendengar kamu memutuskan untuk berhenti mejadi pengasuh bayi itu,” kata Seo Jung sambil menyiapkan sarapan kedua buah hatinya tersebut.

Baik Eungi ataupun Seokjin hanya menanggapi dengan kebisuan. Kakaknya sangat mengerti bagaimana perasaan adiknya saat ini.

Jauh di lubuk hatinya, Eungi terus merasa ragu. Benarkah keputusan yang ia ambil? Haruskah Hyuka yang menjadi korbannya? Namun, jika tidak begitu bagaimana hatinya bisa sembuh sementara setiap bertemu Hyuka maka ia akan bertemu Hoseok juga.

“Daripada terus mengatakan itu, lebih baik Ibu berdoa agar putrimu bisa cepat mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi.”

“Ya, jangan salah. Taehyung sudah menawarkan tempat terbaik untuknya di perusahaannya. Tapi adikmu itu—”

“Aku hanya ingin bekerja sebagai guru di sekolah khusus anak-anak,” sela Eungi meyakinkan lagi jika itu adalah keputusan terakhirnya.

“Dengar, kan? Dia itu sangat keras kepala.”

“Eungi sangat menyukai anak kecil,” tutur Seokjin berusaha membuat ibunya mengerti.

“Aku akan pergi,” kata Eungi lagi seraya berdiri dan menenteng tasnya. Pagi ini gadis itu akan memulai hari dengan lembaran yang baru. Benar-benar baru, tanpa ada embel-embel Hoseok dan Hyuka lagi. Meskipun ada, maka semua yang namanya rasa itu sudah tidak ada. Tidak berbekas apa pun lagi di hatinya.

“Tidak mau pergi bersamaku?”

“Tidak, aku akan naik bus saja.” Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Eungi pun langsung pergi.

“Lihatlah, kenapa Ibu begitu senang melihat putrinya menderita?”

Serta merta sebuah pukulan langsung mendarat di kepala Seokjin. “Apa yang kamu katakan, hah?! Sekarang dia boleh sedih, tapi nanti dia akan sangat berterimakasih pada Ibu. Hidupnya akan lebih bahagia jika bersama Taehyung atau Jungkook.”

“Ibu yakin?” Seokjin malah menantang dan mengolok keteguhan hati ibunya, membuat wanita itu memasang wajah geram. “Aku juga akan berangkat sekarang.”

“Ya! Habiskan dulu sarapanmu!” pekik Seo Jung karena Seokjin terus saja berlalu.

“Tidak, aku akan lanjutkan di rumah sakit!”

Huft ... anak macam apa mereka itu? Selalu saja menentang perkataan ibunya sendiri.”

***

Cuacanya lumayan panas. Eungi sampai kehausan, sementara belum ada satu sekolah pun yang mau menerimanya sebagai pengajar. Mungkin karena background pendidikannya yang tidak sesuai. Namun, apa salahnya memberi kesempatan? Lagian dulu ia pernah mengikuti pelatihan guru untuk usia dibawah lima tahun, setidaknya ada sedikit bekal pengetahuan. Atau mungkin kriteria sekolah yang Eungi lamar terlalu tinggi. Dari tadi, gadis itu hanya mencoba melamar ke sekolah-sekolah yang cukup terkenal, otomatis basic sebagai pengajar di sana harus yang sangat profesional.

Sementara saat Eungi sedang duduk merenung sendiri di kursi taman dekat danau, tiba-tiba saja ia baru menyadari ada seorang anak kecil—kira-kira berumur lima tahun—tengah menangis sambil menghadap pohon besar. Jika diperhatikan dari penampilannya, jelas sekali anak laki-laki itu bukan dari keluarga biasa. Dia begitu manis dan terurus sangat baik. Lalu di mana orang tuanya? batinnya sambil menoleh ke sekitar, tapi tidak menemukan tanda-tanda yang tepat. Penasaran, akhirnya gadis itu berjalan menghampiri.

Hi, anak tampan. Kenapa menangis di sini?” tanya Eungi jelas dengan tutur bahasa yang selembut mungkin. Bahunya direndahkan, sengaja agar bisa sejajar dengan anak tersebut. Namun, dia tidak menjawab dan malah menangis semakin kencang. “Oh, tidak apa-apa. Katakan padaku apa yang membuatmu sedih, biar aku bantu.”

Mendengar itu, si anak merendahkan suara tangisannya dan menyingkirkan pergelangan tangan yang sejak tadi menutupi setengah wajahnya. Untuk sejenak ia memerhatikan Eungi, seperti menilik dengan seksama.

“Anak baik, apa yang kamu tangisi, hm?” Telapak tangannya lantas terulur mengelus puncak kepala bocah itu. Berusaha membujuk agar dia mau bicara.

“Itu.” Dengan suara parau habis menangis, dia menunjuk sesuatu di atas pohon membuat Eungi refleks mendongak, dan kemudian tersenyum merasa lucu.

“Tinggi sekali, bagaimana cara aku bisa mengambilnya, ya?” tukasnya dengan gaya bicara seperti menggoda, membuat anak itu mengerucutkan bibir.

“Katanya Nona akan membantuku, bohong!” ambeknya, tak ayal mengundang tawa Eungi.

“Baik-baik.” Gadis itu pun berpikir sejenak. Melihat dengan teliti pada balon yang tersangkut di dahan pohon tersebut. Ia memang tidak ahli memanjat, tapi demi membahagiakan anak itu dan menepati janjinya, Eungi nekat melakukannya—meskipun waswas juga.

Segera setelah meletakkan tasnya, Eungi lekas melepaskan sepatu dan hendak memanjat. Namun, belum sampai setengahnya tiba-tiba saja satu kakinya tergelincir membuat ia terjatuh dan terkilir. Eungi memekik merasakan sakit, sementara anak laki-laki itu merasa panik.

“Nona!” pekiknya berlari menghampiri.

“Tidak, tidak apa-apa aku baik-baik saja.”

“Beomgyu-ya!” seruan itu sontak membuat anak kecil itu menoleh segera ke sumber suara dan berlari ke balik pohon dengan wajah terkejutnya.

“Paman! Aku di sini!” teriaknya sambil melambaikan tangan, sementara Eungi tidak bisa jelas melihat siapa orang itu karena tertutupi tubuh pohong. Sejurus kemudian ia mendengar suara berlari.

“Beomie, apa yang kamu lakukan? Kenapa pergi dari Paman?” omel orang itu sambil memeriksa keadaan si anak kecil.

“Balon Beomie terbang, dan Beomie mengejarnya.”

“Hah ... bocah ini,” gumamnya seraya mengembuskan napas lelah. “Tidak perlu mengejarnya, kita bisa membeli yang baru.”

Mendengar gerutuan itu, wajah anak bernama Beomgyu itu merunduk. Pipinya yang bulat membuatnya terayun hampir menyentuh dagu. “Maaf ...,” katanya terlihat menyesal.

“Ya sudah, tidak apa-apa.” Kecemasannya mendadak hilang setelah melihat wajah sendu nan polos yang malah terlihat lebih menggemaskan tersebut. “Kalau begitu ayok kita pulang.”

Pria itu meraih tangan mungil Beomgyu, tapi ketika diajak berjalan anak itu menahannya. “Tidak, jangan dulu pergi.”

“Ada apa lagi, hm?”

Kemudian telunjuknya mengarah ke belakang pohon. “Di sana, Nona itu terluka.”

Kening si Pria berkemeja dan lengkap dengan jasnya itu mengernyit tak mengerti. “Itu, dia mencoba mengambilkan balonku yang tersangkut di dahan pohon, tapi dia malah terjatuh dan sekarang terluka.”

“Apa?” refleks ia memekik. “Oh, ya ampun. Kamu membuat masalah lagi?”

Beomgyu tidak menjawab dan kembali menunduk merasa bersalah, sementara lelaki itu lekas berjalan ke belakang pohon dan tiba-tiba saja tertegun ketika mereka sama-sama saling berhadapan.

“Taehyung?” []

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang