Moment 30

404 76 23
                                    

Angin yang berembus malam ini lumayan dingin sampai menyusup ke tulang sumsum. Seakan tidak peduli, dengan berbekalkan sweater tebal yang hangat, Hoseok tetap berdiam diri di anak tangga menuju beranda rumahnya. Sendi tangan antara lengan atas dan lengan bawah itu bertumpu di masing-masing lututnya, sementara jari jemarinya saling bertaut. Pandangan kosongnya lurus ke depan, tapi pikirannya terus melayang—mengingat perkataan Marrie tadi siang.

“Apa yang kamu katakan?” Hoseok mencoba meminta penjelasan.

Marrie yang tadinya duduk tenang segera berdiri dan melangkah menghampiri. Kini mereka saling berhadapan dan menatap lebih dalam, seakan menyelami perasaan satu sama lain.

“Aku rasa mauku sudah jelas.”

“Tapi, Marrie itu—”

“Kenapa?” Mendadak Hoseok melihat lingkaran bening dikedua mata wanita itu. Bibirnya bahkan bergetar dengan lubang hidung yang berkempul-kempul. Tentu saja, laki-laki tersebut tidak dapat melihat kondisi seperti itu. “Bilang saja kalau kamu sudah tidak mencintaiku lagi.”

Seketika, air mata itu lolos dari sudut matanya. “Aku pikir, sekarang hanya diriku yang masih mencintaimu benar, kan?” Tatapannya begitu mengiba, Hoseok sampai harus mengepal kedua tangannya untuk menahan hasrat ingin memeluk Marrie dan menenangkannya. “Kamu tidak pernah bertanya bagaimana selama ini aku begitu menderita karena merindukanmu.”

Runtuh sudah pertahanan wanita itu, sehingga dengan air mata yang berhamburan lantas merangsek memeluk Hoseok. “Aku mencintaimu, dari pertama kita saling mengenal hingga saat ini Jung Hoseok.”

Saat itu juga sekitar mata Hoseok terasa perih. Rongga dadanya tiba-tiba menyempit, sesak sekali sampai rasanya ingin mengembuskan napas untuk terakhir kali. Mengingat kenangan-kenangan di masa lalu, di mana hanya kebahagiaan yang tercipta tanpa mengenal batasan-batasan yang akan memisahkan mereka. Kedua tangan yang awalnya terayun bebas, kemudian bergerak ragu untuk memeluk Marrie. Menepuk-nepuk punggung rapuh itu, tanpa tujuan—sebenarnya apa yang dirinya inginkan.

Kembali? Tentu itu bukan keputusan yang mudah.

Hoseok lantas menyeka wajahnya hingga leher bagian belakang. Mencoba menghilangkan semua keresahan yang menghantui pikirannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hyuka juga sudah tidur, dan mendadak ia bingung harus melakukan apa—sementara kantuk itu belum juga tiba.

Hendak berdiri untuk masuk ke dalam rumah, bermaksud mengambil sekaleng minuman, setidaknya bisa menghilangkan kegundahan hati dan pikirannya walaupun untuk sementara, tidak lama sebuah mobil hitam lewat di depan perkarangan rumahnya dengan kaca yang terbuka. Memperlihatkan Taehyung yang duduk di kursi pengemudi, sementara di samping kanannya ada Eungi. Laki-laki itu sempat terpaku sejenak sampai mobil tersebut benar-benar lepas dari pandangannya.

Secuil rasa itu kembali hadir, meloloskan napasnya. Berusaha menyunggingkan senyum seakan baik-baik saja, meskipun kedua mata tidak bisa berbohong saat penglihatan itu mendadak menjadi pudar.

***

“Terima kasih.”

“Tunggu!” seru Taehyung karena Eungi mau begitu saja masuk sementara ia masih begitu ingin melihat wajahnya.

Segera berbalik, Eungi hanya bertanya melalui tatapan tanpa berniat mengeluarkan sepatah kata pun. Padahal, semenjak di mobil tadi gadis itu terlalu banyak diam.

“Tidak mau berkata apa pun lagi, atau sekedar menawariku untuk masuk mungkin?”

Napas berat kembali lolos begitu saja. Dengan menarik kedua sudut bibirnya, lantas Marrie berkata, “Ini sudah malam lagi pula Ibu sedang tidak ada di rumah dan Kak Seokjin belum pulang, siapa yang mau kamu ajak bicara?”

Taehyung mengernyit kemudian tertawa hambar. “Oh, baiklah. Aku rasa kamu sangat lelah. Tidak masalah.”

Tanpa berbasa-basi lagi, Eungi langsung berbalik badan dan berjalan lunglai menuju pintu rumahnya. Taehyung yang masih di sana hanya cukup memandangi, sambil berkata seakan memberi semangat, “Tidak apa-apa, masih ada banyak waktu. Jangan menyerah. Semangat!” Satu tangannya mengepal kuat di depan dada. “Eungi-ya! Selamat malam!” pekiknya meskipun tanpa jawaban.

***

Eungi tidak tahu kenapa hari ini begitu sangat melelahkan. Bahkan untuk berganti pakaian dan  membersikan diri saja rasanya begitu berat. Sekarang ia hanya ingin merebahkan punggungnya untuk sebentar saja di atas kasur. Menatap langit-langit kamarnya sambil mengulang kembali apa yang sudah ia lihat beberapa waktu lalu—ketika melewati rumah Hoseok dan dari ujung mata melihat pria itu ada di beranda.

“Apa yang kamu pikirkan?” ucapnya seraya menarik tubuhnya untuk mengambil posisi duduk. “Kenapa begitu sulit, sih?” geramnya merasa kesal sendiri. Lalu tangannya merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Dari melihat sampul di layar depannya saja sudah menggambarkan betapa gadis itu sangat merindukan Hyuka, ah tidak. Hoseok juga.

“Apa kalian baik-baik saja? Apa kalian makan dengan benar?”

Lalu tiba-tiba layar yang menjukkan foto dirinya sedang menggendong Hyuka berubah hijau saat seseorang dengan kontak nama Si Penguntit meneleponnya.

Ish!” hardiknya yang dengan malas malah menaruh handphone tersebut dengan terbalik di atas kasur. Namun, dering telepon itu tidak mau berhenti dan terus memanggilnya. Sehingga tanpa sabar ia segera menerima dan berteriak, “Ya! Apa kamu tidak tahu waktu!”

O, maaf.” Kedua mata Eungi langsung membeliak saat mendengar suara wanita di seberang sana. Ia sampai harus memastikannya lagi jika penglihatannya tidak salah membaca nama kontak. “Ma-maaf. Aku pasti mengganggumu, kan?

“Hm?”

Kamu pasti terkejut, tapi ... aku harus menggunakan ponsel adikku untuk menghubungimu.”

Pikiran Eungi langsung teringat pada satu nama. “Marrie?” []


Halo, semuanya!
Maaf baru datang lagi. Ehe.
Kebetulan lagi dalam mode bahagia menyambut cb nya nak anak. Wkwk.

Semangat dan sehat selalu ya buat kita semua. >3<

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang