Moment 12

484 92 5
                                    

Malam itu Eungi sengaja menunggu di depan rumah Hoseok. Ada yang ingin ia katakan, dan tidak bisa menunggu sampai besok. Sekarang sudah jam sepuluh malam, tapi laki-laki dan putranya itu belum juga pulang. Ada niatan untuk menelepon Hoseok sekedar menanyakan keberadaanya, tapi diurungkan ketika kemudian deru mobil terdengar dan tidak lama mulai memasuki perkarangan rumah.

Yeah, mobil merah itu datang lagi dan sudah dipastikan baik Hoseok dan Hyuka ada di dalam sama. Eungi sendiri berusaha untuk memasang wajah setenang mungkin. Mengontrol emosinya dengan baik, meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa tidak senang. Terlebih setelah melihat Hoseok, Hyuka yang sudah tertidur di dekapan Marrie keluar dari mobil tersebut. Melihat mereka seperti keluarga bahagia, mengundang secuil perasaan iri. Bukankah seharusnya aku yang ada di sana?

“Oh, Eungi,” kata Hoseok sedikit tertegun. Sebelumnya ia tidak merasa menerima telepon dari gadis itu. “Apa ada masalah? Kenapa malam begini menunggu di depan rumahku?”

“Hm, ya,” imbuhnya terkesan dingin. “Aku sengaja menunggu kalian pulang karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”

“Apa itu penting?” Eungi mengangguk. “Baiklah, kalau begitu kita bicarakan di dalam saja. Kasihan, Hyuka sudah tidur dan pasti kedinginan.”

Demi kesehatan Hyuka, Eungi mengangguk mengiyakan. Lalu mengikuti masuk di belakang Hoseok dan Marrie. Setibanya di dalam, laki-laki itu meminta Marrie untuk membawa putranya ke kamar, sementara saat ini di ruang tengah hanya tinggal mereka berdua.

“Sebenarnya ada apa sampai sesuatu itu harus dikatakan sekarang dan tidak bisa menunggu besok?” tanya Hoseok yang sejujurnya sudah penasaran.

Gadis itu terdiam untuk sejenak, selagi tatapannya fokus pada kedua manik mata Hoseok.

“Karena sekarang aku sudah sembuh, jadi mulai besok Marrie-ssi tidak perlu lagi membawa Hyuka ke rumah sakit. Aku akan menjaganya, seperti tugasku sebelumnya.”

“O-oh, kamu tidak perlu mengkhawatirkan tentang Hyuka.” Tiba-tiba Marrie yang baru saja keluar dari kamar Hyuka menyela, membuat Hoseok dan Eungi menoleh kompak. “Aku senang bisa menjaga dan bersamanya selagi ada waktu luang, dan lagi pula sepertinya Hyuka sekarang sudah merasa nyaman berada di sana. Ia bisa bermain dan bertemu teman-teman barunya.”

Eungi berdeham. Berusaha menyiapkan kata-kata terbaiknya karena sekarang ia benar-benar tidak mau mengalah.

“Aku tahu, tapi aku adalah pengasuhnya dan menjaga Hyuka adalah bagian dari tugasku, kecuali ...,” kedua matanya lantas melirik Hoseok, “jika Hoseok yang menyuruhku untuk berhenti.”

“Hm?” Lelaki itu tidak bisa menybunyikan keterkejutannya. Masalahnya ia dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Di sisi lain, Eungi adalah orang yang membantunya merawat dan membesarkan Hyuka sampai saat ini, sementara itu Marrie ... ia juga tidak bisa egois untuk melarangnya mendekati anaknya sendiri.

“Aku menerima semua keputusanmu, jadi jawab saja,” timpal Eungi lagi. Nyatanya dia bersikap lebih tegar, dibandingkan Marrie yang sudah tertunduk lesu dengan wajah sendu.

“Baiklah, tapi perlu aku ingatkan. Hyuka bukan barang yang bisa kalian perebutkan,” tukas Hoseok. “Dan kamu Eungi, aku tidak pernah berpikir untuk mencari pengasuh baru. Jadi jelas sampai saat ini kamu masih pengasuhnya.”

“Jadi kamu lebih memilihnya?” protes Marrie yang terlihat kesal.

“Bukan begitu, aku juga memikirkanmu,” jelas Hoseok cepat-cepat, sungguh ia merasa tidak enak hati. “Aku tidak mau mengganggu waktumu lebih banyak dan merepotkanmu karena harus menjaga Hyuka. Kamu juga punya tugasmu sendiri, begitupun dengan Eungi. Jika kamu merindukan Hyuka, pintu ini terbuka lebar untukmu.”

Sejujurnya Eungi merasa lega, tapi ia tetap harus bersabar hati menyaksikan sendiri bagaimana Hoseok begitu peduli dengan perasaan Marrie.

“Kalau itu keputusanmu, baiklah, aku terima.” Kali ini Hoseok tersenyum, dan itu sudah cukup bagi Marrie untuk merasa bahagia, yang selama ini telah kehilangan senyuman secerah matahari pagi tersebut. “Dan kamu harus menepati janjimu.” Kemudian Marrie menunjukkan kelingkingnya, sedangkan tanpa ragu Hoseok menautkan kelingking mereka.

Oke, Eungi sudah tidak sanggup lagi yang akhirnya memilih untuk pergi ke kamar Hyuka, memastikan jika bayi itu sudah tertidur dengan baik. Hoseok menyadari perubahan sikap itu, tapi ia memilih tetap di tempatnya dan mengantarkan Marrie sampai ke mobil.

Setelah Marrie pergi, Hoseok kembali ke dalam dan melihat Eungi yang baru saja keluar dari kamar Hyuka. Seketika Eungi memalingkan muka, menghindari tatapannya seraya berjalan menuju pintu.

“Aku akan pulang,” kata Eungi ketika mereka saling berpapasan, tapi gadis itu tetap berjalan melewatinya.

“Apa kamu masih marah?” timpalnya yang kemudian menghentikan langkah gadis itu. “Kalau begitu maafkan aku.”

“Tidak masalah, semuanya sudah terjadi,” jawab Eungi masih saja terdengar ketus.

Hoseok lantas membuang napas lelah seraya meringis membuang muka. “Jangan begini, kamu menyiksaku.”

Mendengar perkataan itu Eungi memilih diam. Si pemilik hati malaikat itu kenyataannya memang tidak pernah bisa terjebak dalam kebingungan dan perasaan orang lain. Ia akan ikut terbebani saat orang terdekatnya sedang mengalami sesuatu yang sulit. Eungi sudah sering merasakan bagaimana Hoseok begitu perhatian, tapi bodohnya, ia pernah larut dalam ketulusan itu dan membuatnya memiliki perasaan yang sulit diartikan. Nayatanya, Hoseok melakukan itu hanya karena sebuah bakti, rasa saling menghormati.

Sulit ditebak ketika salah mengartikan sebuah kebaikan, dan terdengar sangat miris. Kali ini Eungi tidak mau terbawa perasaan lagi.

“Lupakan saja, selamat malam.” []

💔 kretek

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang