Moment 48

114 28 6
                                    

Seperti biasa, Jung Hoseok selalu pulang larut akhir-akhir ini. Katanya pekerjaan kantor semakin banyak dan deadline sudah dekat. Ditambah lagi, pria itu sekarang rajin mengambil lembur. Sampai kadang bisa pulang hampir lewat tengah malam. Entah alasan mendasar apa, hingga dia rela menghabiskan setiap harinya di tempat kerja tersebut. Kalau Eungi boleh percaya diri, mungkin saja Hoseok sedang kejar target untuk pernikahan mereka nanti.

Ah, jika membayangkan sampai sana, Eungi mulai tersipu merasa malu, berdebar, semuanya menjadi satu. Meskipun dia sering bersama Hoseok, dan sudah tidak asing untuk mengurus rumah laki-laki itu, tetap saja akan beda rasanya ketika dia sudah menyandang status Nyonya Jung.

Semoga saja secepatnya, pikirnya dalam hati. Sebab keraguan masih saja muncul. Bukan sangsi akan cinta dan janji Hoseok untuk segera meminangnya, tapi tentang restu sang Ibu yang belum juga kunjung. Perempuan itu benar-benar sedang berpikir keras bagaimana meluluhkan hati ibunya.

Ketika sedang larut dengan pikiran sendiri, sambil mencuci piring bekas masaknya tadi—sedangkan Hyuka sudah terlelap di kamarnya—pintu utama pun terbuka. Ternyata hari ini Hoseok pulang lebih awal, jam sepuluh malam. Baguslah, batin Eungi. Jadi, mereka bisa makan bersama sebelum dirinya pulang ke rumah. Rindu juga suasana itu, dan kehangatan mengobrol hanya berdua.

“Sudah pulang, ya?” tanya Eungi yang langsung melepas sarung tangan karet yang biasa ia pergunakan saat mencuci piring, dan segera menoleh pada sosok yang dimaksudnya.

Namun, pandangan Eungi malah terdistraksi pada beberapa tote bag berukuran besar yang diletakkan pria itu di atas sofa. Sementara, Hoseok pergi ke meja makan untuk mengambil segelas air dan meneguknya sampai tandas, Eungi mulai mengambil langkah menuju sofa. Kali ini, dia merasa sangat penasaran. Dari bungkusnya saja dia tahu, jika barang yang ada di dalam itu bermerek mahal.

“Untuk apa kamu membeli banyak barang seperti ini? Aku, kan, tidak membutuhkannya. Hoseok-ah, itu cuma membuang-buang uang,” tegur Eungi tanpa ragu, sebab ia merasa apa yang dilakukan Hoseok hanya pemborosan belaka. Lagian, darimana dia mendapatkan banyak uang untuk ini? Jangan-jangan .... “Hoseok-ah apa kamu bekerja siang dan malam hanya untuk membeli semua ini?”

“Apa yang kamu pikirkan?” Eungi sudah mengomel dan berpikir macam-macam, dengan santainya pria itu baru menanggapi. “Aku membeli semua itu untuk Bibi Seo Jung.” Lanjutnya lalu duduk di kursi meja makan, melonggarkan sedikit kerah yang sangat menyesakkan itu.

Mwo? Kening Eungi sukses mengernyit. Semua barang-barang branded ini untuk ibunya?

Tentu saja sekarang Eungi langsung paham apa yang diinginkan Hoseok. “Jadi kamu pikir, dengan memberi semua barang ini, ibuku akan luluh—begitu?”

“Bukankah sudah jelas ibumu itu ingin menantu yang seperti Taehyung dan Jungkook? Young and rich. Bisa membelikan apa pun yang kalian inginkan.”

Tanpa terasa wajah Eungi yang tadinya bingung berubah sedih dan kecewa ketika mendengar perkataan Hoseok, sepertinya tersinggung. Lalu merapikan kembali barang-barang yang dibeli pria itu; ada tas, mantel, sepatu, make up, dan masih banyak lagi. Entah kenapa, perasaannya sedikit terluka dengan pemikiran tersebut.

Sehingga dengan wajah lemah dia berkata, “Ibu memang ingin yang terbaik untukku, karena ia merasa uang adalah salah satu yang bisa membuat orang bahagia. Tapi, bukan berarti dia ingin ikut menikmati semua itu. Asal aku baik-baik saja, maka dia pun akan merasa lebih baik.”

Ternyata, penjelasan Eungi cukup membuat perasaan Hoseok tersongel. Padahal ia tidak bermaksud menyebut ibunya Eungi seorang yang serakah pada uang, dirinya hanya sedang putus asa dan bingung—harus dengan cara apa agar Seo Jung mau menerimanya. Lagi pula, dia benar-benar ikhlas membelikan semua itu—dari kerja keras dan usahanya sendiri. Toh, bagaimana pun Seo Jung akan menjadi ibu mertuanya. Lalu kenapa Eungi menjadi marah?

“Sayang, tujuanku adalah—”

“Jangan terlalu memaksakan diri hanya untuk terlihat keren di mata orang lain.” Eungi malah memotong perkataan Hoseok.

“Sayang ... aku—”

“Sudahlah, tidak perlu dibahas.” Lagi, wanita itu seperti enggan mendengarnya. Bersikap seakan tidak terjadi apa pun dengan meredam rasa emosi dan kecewa. Meskipun sebenarnya ia berharap Hoseok bisa lebih peka—tentang keinginan hatinya.

Memang apa lagi yang seorang wanita inginkan, ketika usia, mental, dan keyakinan diri untuk menjalani rumah tangga sudah mendekati seratus persen, selain si Calon Suami mendatangi rumah, bicara pada keluarga, dan meminta restu? Padahal Eungi hanya berharap keberanian Hoseok untuk melakukan hal tersebut, tanpa harus diiming-imingi dengan benda-benda mahal dan bermerek. Ketulusan cinta dan janji untuk membahagiakan saja sudah cukup bagi Eungi. Pun, dia yakin, sikap pantang menyerah yang Hoseok tunjukkan, akan membuat ibunya luluh—pada waktunya.

“Sebaiknya kamu segera pergi ke kamar mandi dan bersihkan diri. Sementara aku akan menyiapkan makan malam,” lanjut Eungi yang kembali sibuk di dapur. Perempuan itu seakan sedang menghindar. Melewati meja makan, tanpa mengambil pandangan Hoseok yang memelas memperhatikannya.

Akan tetapi, Hoseok bisa merasakan kegelisahan yang sedang dirasakan kekasihnya tersebut. Sehingga tanpa ragu ia bangkit dari tempat duduk, menghampiri Eungi yang tengah melanjutkan kegiatan mencuci piring.

“Sayangku,” ucapnya begitu lembut tepat ketika dagu pria itu menyentuh tengkuk Eungi. Selaras dengan kedua tangan yang  melingkar di pinggang ramping tersebut. Kehangatan yang menjalar di punggung pun terasa saat dada bidang Hoseok menyentuhnya. Lelaki itu selalu tahu bagaimana membuat ia terdiam dengan jantung berdebar tak karuan. “Aku akan melakukan apa saja agar bisa memilikimu. Rasa lelah yang aku terima tidak sebanding dengan lelah yang kamu dapatkan ketika harus mengurus Hyuka dan rumah ini setiap hari. Tidak peduli berapa banyak uang yang harus aku keluarkan. Selama kita tetap bersama dan bahagia, aku akan memiliki kekuatan. Jadi, jangan cemas. Oke?”

Dengan gerakan yang lembut pula, Hoseok mencium tengkuk Eungi, lalu beralih ke pipi, dan berakhir di puncak kepala.

“Baiklah, sekarang aku harus segera mandi agar kita bisa cepat makan. Kamu pasti sudah lapar, kan?” ucapnya setelah melepas pelukan tersebut. “Kamu juga harus segera pulang sebelum Bibi Seo Jung datang dan marah-marah lagi.”

Namun, sebelum benar-benar pergi, Hoseok kembali mengatakan sesuatu yang sukses membuat perasaan Eungi melambung tinggi—tepat di telinganya. “Aku mencintaimu.”

Sontak Eungi tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Bibir yang tadinya mendetar, kini menukik mengukir senyuman. Ia tahu sekarang kedua pipinya pasti memerah. Untung saja Hoseok sudah berlalu. Jadi kecanggungan itu pun tidak terlalu terlihat. Kalau tidak, ia akan semakin malu.

“Aku juga sangat, sangat, sangat mencintaimu Hoseok-ah.” []


waaah gawat, aku sampai senyum-senyum sendiri nulisnya. Semoga kalian juga suka!

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang