Moment 11

502 96 4
                                    

Semenjak keluar kamar dan bergabung di meja makan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Eungi. Gadis itu bungkam seribu bahasa, bahkan untuk makan sup lobak dengan tambahan daging ayam buatan pemuda tidak tahu sopan santun itu pun rasanya begitu enggan. Pendengarannya seketika terasa muak, bagaimana dia berusaha bersikap akrab dengan kakaknya tersebut. Sementara mereka baru pertama kali bertemu, tapi Seokjin dan orang itu terlihat seperti teman lama yang baru bertemu kembali. Padahal dengan Hoseok saja tidak seluwes itu saat mengobrol.

Bosan, Eungi berniat untuk bangkit. Namun, Seokjin segera memutus geraknya. “Jangan pergi dulu sebelum kamu habiskan sarapannya. Hargailah Jungkook yang sudah bersusah payah membuatnya.”

Eungi menghela napas seraya memutar bola matanya agak sinis. “Lagian siapa suruh dia masih ada di sini?”

“Ya!” refleks Seokjin memukul pelan belakang kepala adiknya itu, sampai Eungi harus mengaduh dengan wajah cemberut. Semakin kesal saat ujung matanya melirik pemuda bernama Jungkook itu, dan dia tertawa kecil seakan meledeknya. “Kamu itu benar-benar tidak tahu terima kasih, Jungkook sudah menolongmu semalam sampai bajunya kemuntahan, dan sikapmu seperti ini?”

“Kakak tidak tahu saja, dia itu sangat menyebalkan,” sewot Eungi sambil tatapan membulatnya menatap sebal pada Jungkook. “Aku yakin, apa yang dia lakukan itu tidak tulus. Pasti ada maunya.”

“Kenapa kamu menuduhku sebelum mengenalku?” sela Jungkook dengan ekspresi dan gerak tubuhnya yang super santai. “Kita sebelumnya pernah bertemu di mini market, bukan? Dan mungkin kamu tidak tahu jika aku juga melihatmu bertikai dengan Taehyung-ssi di pub. Saat akan pulang, aku juga tidak sengaja melihatmu tidak sadarkan diri di bangku taman—mungkin kamu baru saja terusir dari kedai. Sebagian sisi kemanusiaanku muncul, untuk itu aku menolongmu dan melihat alamat rumahmu dalam kartu identitasmu. Aku melakukannya dengan tulus, tidak ada maksud apa pun.”

“Kamu dengar itu?” cerca Seokjin, lalu menggelengkan kepala. Sedangkan Eungi tetap diam, kedua matanya tidak lepas menatap Jungkook yang juga menatapnya. Sampai saat ini, gadis itu belum mau percaya. “Nyatanya dia lebih dewasa daripada dirimu.”

“Ck,” decap Eungi memalingkan muka. Melipat kedua tangannya di depan dada, enggan mendengar pembelaan kakaknya pada Jungkook lagi.

“Tapi, aku harap kamu mau memaafkan adikku. Dia memang sangat ketus pada orang baru, tapi setelah kamu berhasil menjinakkannya, dia akan luluh seluluh-luluhnya.”

“Kakak!” sentak Eungi, membulatkan mata. Jelas dia tidak terima dengan pernyataan kakaknya itu. Namun, kedua laki-laki itu malah tertawa, seolah ekpresinya adalah sebuah lelucon.

“Bercanda,” bujuk Seokjin seraya memberikan senyum termanisnya itu. Namun, Eungi hanya memiringkan sudut bibirnya karena masih marah. “Kalau begitu kalian habiskan sarapannya, dan aku harus segera pergi ke rumah sakit. Ada jadwal operasi pagi hari ini.”

Seokjin lantas bangun dari duduknya dan hendak pergi ke kamar untuk mengambil tas juga jas dokternya.

Woah, jadi Hyung itu dokter?”

Seokjin mengangguk membenarkan. “Hm, aku dokter ahli bedah yang sekarang bertugas di rumah sakit Seonghan.”

Wow, kebetulan yang sangat luar biasa. Hyung tahu, setelah lulus fakultas kedokteran nanti, aku juga ingin sekali bertugas di rumah sakit Seonghan.”

Sontak saja kakak beradik itu tersentak. Matanya membulat dengan bibir sedikit terbuka.

“Jadi kamu calon dokter?”

“Tentu saja,” jawab Jungkook begitu semangat. Senyumnya melebar dengan pandangan yang berbinar, seketika dia terlihat seperti anak kecil yang sedang menceritakan hal yang menjadi kegemarannya dan membuatnya bahagia. “Aku sangat ingin menjadi dokter yang hebat seperti ayahku.”

“Luar biasa,” tukas Seokjin sambil menepuk pelan pundak Jungkook. “Aku yakin kamu bisa mewujudkan mimpimu itu.”

“Terima kasih, Hyung.

Sementara itu, dalam hati Eungi menggerutu, Dia calon dokter? Yang benar saja. Bahkan penampilannya saja tidak meyakinkan.

***

“Kapan kamu akan pulang? Ini sudah jam dua belas siang, bukan?” tegur Eungi yang baru saja selesai membersihkan rumah dan mandi. Sementara Jungkook sejak tadi hanya berleha-leha di atas matras, makan cemilan sambil menonton televisi. Benar-benar tidak tahu malu.

“Kenapa kamu ingin sekali mengusirku?” katanya melirik sekilas lalu kembali pada acara drama yang begitu serius disaksikannya.

Eungi menahan geram. “Pertama, kamu itu orang asing. Kedua, apa kamu tidak ada jam kuliah hari ini, ca-lon dok-ter?”

“Hari ini aku libur.”

Sisa kesabaran Eungi sudah habis. Ia pun menghampiri dengan langkah panjang dan berdiri tepat di mana Jungkook sedang duduk setengah berbaring. “Terserah, tapi pergilah dari rumahku!”

Jungkook terdiam sejenak seraya menengadah menatap Eungi. Lalu kemudian berdiri, hingga sekarang mereka saling berhadapan dengan jarak yang lumayan dekat.

“Oke, mungkin kesan pertama kali kita bertemu tidak begitu baik. Tapi jujur, aku tertarik untuk mengenalmu lebih dekat. Jadi, mau berteman denganku?” Pemuda dengan gigi kelincinya itu lantas menjulurkan tangan. Menunggu Eungi mau menyambutnya, tapi tiba-tiba bel rumah berbunyi—menginterupsi percakapan mereka yang sebenarnya sedang serius. “Ah, itu pasti kurir yang mengantarkan jjajangmyeon pesananku. Sebentar, ya.”

“Apa?” Eungi hanya mampu menggeleng tak habis pikir, menyaksikan bagaimana pemuda itu berlari menuju pintu. “Kalau begini kapan dia akan pulang?”

Namun, setelah berhasil membuka pintu, Jungkook tercenung seraya memerhatikan orang yang kini ada di hadapannya itu dari puncak kepala sampai ujung kaki. Dia membawa kantung keresek berisi satu mangkuk makanan, tapi anehnya penampilannya tidak seperti kurir biasa yang suka mengantarkan pesanan. Terlalu rapi layaknya pegawai kantoran.

“Kamu siapa?” tanya orang itu yang hampir membuat Jungkook tertawa.

“Anda ingin bercanda, ya? Sudah mana jjajangmyeon pesananku?” Orang yang ia anggap kurir itu mengernyit heran. “Oh, pasti ini, kan?” Tanpa basa-basi, Jungkook lantas merebut kantung keresek yang ada di tangan laki-laki itu dan langsung memeriksanya. “Ya, ini hanya hobakjuk. Apa Anda—”

“Ada apa?!” sahut Eungi yang berseru dari dalam. “Kenapa ribut se—” Seketika ucapannya terhenti setelah kedua matanya berpandangan langsung dengan laki-laki yang tengah berdiri di ambang pintu tersebut. “Hoseok, kamu ....”

“Kamu mengenalnya?” tanya Jungkook menyela, tapi Eungi masih diam memandangi laki-laki itu.

“Kamu sedang sakit, kan? Untuk itu aku membelikan hobakjuk kesukaanmu.” Eungi lantas melirik kantung keresek yang ada di pegangan Jungkook. “Kalau begitu aku harus segera kembali ke kantor. Bye.

Tanpa menunggu respons Eungi, Hoseok lantas berbalik badan dan segera melangkah pergi. Tidak ada sedikit pun niatan untuk gadis itu menghentikan atau sekedar mengucapkan terima kasih. Dia hanya berpikir, Hoseok rela izin dari kantornya di jam makan siang hanya untuk mengantarkan hobakjuk untuknya. Jadi Hoseok masih peduli padaku? []

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang