Moment 51

75 18 5
                                    

“Hoseok-ah, tunggu!”

Baru saja pria itu akan melangkah ke luar rumah, panggilan Eungi langsung menghentikan dan segera membuatnya berbalik badan. Saat itu, Seokjin dan nenek masih ada di ruang tengah—yang tentu menyaksikan mereka.

“Kenapa keluar lagi? Sebaiknya segera istirahat. Aku akan pulang,” kata Hoseok yang terdengar khawatir dengan keadaan kekasihnya itu.

“Bagaimana aku bisa tidur memikirkan perasaanmu saat ini,” balas Eungi yang tertunduk lemas. “Aku merasa tidak enak hati.”

“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja.” Serta merta Hoseok menggenggam tangan mulus wanita itu, seolah meyakinkan perkataannya. “Yang perlu kamu khawatir justru ibumu, dia pasti sangat kecewa melihat aku ada di sini. Dan lagi, ini hari ulang tahunnya, tapi tidak berkesan baik. Aku sangat merasa bersalah. Jika bisa, aku ingin sekali minta maaf pada ibumu.”

Wajah Eungi memelas dan kedua matanya menatap sayu. “Kenapa ibu tidak bisa melihat ketulusan hatimu ....”

Sesaat gadis itu pun menangis tersedu-sedu, membuat Hoseok tidak kuasa untuk menarik tubuhnya hingga berakhir memeluknya.

“Sudahlah, tenangkan dirimu,” tukasnya seraya menepuk-nepuk pelan pundak Eungi. “Semua akan baik pada akhirnya, percayalah.”

“Tapi bagaimana jika ibu terus bersikeras?” respon Eungi dengan suara meredam karena sebagian bibirnya tertutup dada Hoseok.

“Kamu pikir aku akan diam saja, hm?” ungkapnya seperti sedang membujuk anak kecil. “Aku akan berusaha sekeras mungkin agar ibumu mau menerimaku.”

Eungi mulai lelah untuk bicara, sehingga ia hanya diam. Mengeratkan pelukannya pada Hoseok, karena hanya itu yang bisa membuatnya tenang untuk saat ini.

“Nenek, mari aku antar ke kamar!” interupsi Seokjin kemudian yang agak mengagetkan sang Nenek, yang seakan terkesima melihat pemandangan yang baru saja dilihatnya tersebut.

“Em, baiklah.” Walaupun masih dalam keadaan bingung dan penuh pertanyaan, Nenek mau mengikuti permintaan Seokjin. Akhirnya mereka pun pergi meninggalkan Hoseok dan Eungi berdua di sana.

“Nenek bisa beristirahat di sini. Jika butuh sesuatu jangan segan untuk bilang padaku, ibu, atau Eungi,” tutur Seokjin setelah mereka tiba di kamar tamu.

Namun, Nenek tampaknya masih memikirkan kejadian barusan. “Apa mereka berpacaran?”

“Hm?” refleks Seokjin merespons agak kaget. “Oh, maksudnya Eungi dan Hoseok? Ya, mereka memang berpacaran, tapi sayang, ibu tidak merestuinya.”

Seokjin yang baru saja menaruh tas Nenek ke dalam lemari kemudian beralih duduk di samping wanita tua tersebut.

“Kenapa? Nenek lihat, pemuda itu sangat baik, sopan pada orang tua, dan sepertinya dia sangat menyayangi Eungi.”

“Hm ... bagaimana aku harus menjelaskannya, ya? Karena ini cukup sensitif.” Seokjin juga bingung. Ia takut merasa lancang. “Yang jelas, ibu tidak menyukai Hoseok.”

“Hah ... anak itu. Apa masalahnya? Bukankah seharusnya dia memikirkan kebahagiaan putrinya?!” Nenek agak marah mendengar penuturan Seokjin. “Dia masih saja keras kepala.”

“Aku juga berpikir demikian. Selama ini aku tidak pernah melihat Eungi jatuh cinta sedalam itu pada seorang laki-laki. Kasian jika mereka tidak bersatu karena terhalang restu seorang ibu.”

Nenek lalu mangut-mangut. “Baiklah kalau begitu, besok Nenek akan bicara langsung pada ibumu itu.”

Seokjin tersenyum lebar dengan perkataan Nenek. Ia berharap kali ini ibunya akan luluh dan merestui hubungan adiknya.

***

“Hah ... sepertinya Nenek begitu lelah sampai tertidur sangat lelap!” seru sang Nenek begitu dirinya baru keluar dari kamar dan melihat Seokjin sudah ada di meja makan, sedangkan putrinya masih sibuk di dapur.

“Itu bagus! Artinya Nenek beristirahat dengan cukup,” timpal Seokjin setelah itu menyesap kembali segelas susu cokelatnya.

“Benar cucuku, itu sebabnya pagi ini Nenek merasa begitu segar.” Nenek lantas melangkah ke meja makan dan duduk di samping Seokjin. “Oh, ya. Di mana Eungi?” tanyanya yang secara tidak langsung bertanya pada Seo Jung ketika wanita itu menaruh segelas teh hangat untuk ibunya.

“Kenapa tidak Ibu lihat saja di kamarnya? Atau mungkin dia kabur ke rumah laki-laki itu,” jawab Seo Jung terdengar begitu ketus sampai Nenek geleng-geleng kepala.

“Ada apa denganmu? Perhatikanlah putrimu! Bagaimana kamu bisa mengerti perasaannya jika ibunya saja terkesan tak acuh.”

“Apa yang harus aku lakukan? Jika dipedulikan dia malah melunjak. Menganggap perkataanku tidak ada artinya. Aku heran, dia anak perempuan, tapi sangat pembangkang.” Seo Jung terus mengomel—mengeluarkan keresahan dalam hatinya—tanpa sadar jika Eungi baru keluar kamar dan sudah ada di antara mereka.

“Oh, cucu kesayangan Nenek. Ayo, sini, kita sarapan sama-sama.” Nenek segera menginterupsi, berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang.

“Tidak, terima kasih. Aku harus segera pergi.

Seo Jung melihat dari ekor matanya, lalu berkata lagi ketika putrinya mengenakan sepatu. “Mau menjadi babu di rumah pria itu?!” Mendengar makian tersebut tak ayal membuat hati Eungi tersayat merasa sakit. “Ibu benar-benar heran. Kamu lebih memilih menjadi babu dan berhenti bekerja di rumah kakaknya Taehyung.”

Eungi merasa kesabarannya sudah sangat habis, sehingga dengan wajah marah ia berkata, “Bukankah di manapun aku ini memang seorang babu, seperti Ibu? Hanya seorang suruhan, bawahan, bukan dokter yang bisa Ibu banggakan!”

Semua terkejut menerima reaksi Eungi, bahkan ketika gadis itu pergi dengan menutup pintu lebih keras.

“Ibu lihat, kan? Bahkan dia sudah kehilangan sopan santunnya,” ucap Seo Jung yang tampak sangat kecewa dan sedih. Nenek tentu sangat mengerti perasaan putrinya yang kemudian berlalu kembali ke kamar sambil menangis.

“Ibu!”

“Tidak, biarkan ibumu menangis. Dia perlu waktu sendiri untuk merenungkan sikapnya juga,” sergah Nenek pada Seokjin. “Api tidak akan menyulut jika tidak ada yang menyalakannya.”

“Tapi, Eungi sudah keterlaluan.”

“Mereka sama-sama sedang patah hati, bingung, dan kecewa. Kita tidak bisa menyalahkan salah satunya.” []


Untuk semua pembaca cerita ini,

Pertama, aku mau minta maaf jika jarang update. Salah satunya mungkin karena kesibukanku sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak kecil yang sedang aktif-aktifnya.

Kedua, aku seperti kehilangan semangat untuk menulis karena mungkin sudah lama tidak membaca dan menulis lagi. Sehingga rasanya, mood nya jadi jelek dan imbasnya, cerita ini menurutku jadi semakin tidak karuan.

Ketiga, aku sangat berterima kasih untuk kalian yang masih setia membaca cerita ini. Benar-benar sangat berterima kasih. Kalian yg masih tersisa di sini adalah satu-satunya semangatku untuk tetap melanjutkan cerita ini.

Terakhir, aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan melancarkan niatku untuk segera menyelesaikan cerita ini dan kembali aktif ke dunia tulis menulis.

Salam untuk semua, semoga kita selalu sehat dan diberikan keberkahan umur juga rezeki. Aamiin.

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang