Malam itu, suasana di ruang tengah terasa tenang. Lampu-lampu redup menyinari ruangan dengan lembut, dan suara pelan dentingan jam di dinding terdengar mengiringi malam. Min Ah duduk di sofa, memangku Hyuka yang sedang minum susu dari botolnya. Bayi itu mulai mengantuk, kelopak matanya setengah tertutup, siap untuk terlelap. Dia menatap cucunya dengan penuh kasih, menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut agar lebih cepat tertidur.
Dari ujung ruangan, langkah Hoseok terdengar mendekat. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, lalu berjalan perlahan menuju ibunya. Wajahnya tampak serius, matanya berkabut dengan beban yang jelas tak bisa ia sembunyikan. Min Ah mengangkat pandangannya, melihat perubahan pada putranya.
“Ada apa, Nak?” tanyanya lembut, khawatir membaca ekspresi Hoseok yang biasanya ceria.
Hoseok menghela napas panjang, lalu duduk di samping ibunya. Ia memandang Hyuka yang sudah mulai terlelap dalam pelukan Min Ah, seolah mendapatkan kekuatan dari melihat ketenangan itu. Setelah beberapa detik berlalu, ia pun mulai berbicara, suaranya rendah dan penuh beban.
“Ibu, aku butuh bicara,” ucapnya, suaranya nyaris seperti bisikan. “Sebenarnya, hubungan aku dengan Eungi ... tidak mudah.” Hoseok menunduk, memainkan ujung bantal sofa dengan gugup. “Bibi Seo Jung, tidak merestui kami.”
Min Ah mendengarkan dengan seksama, mengerutkan keningnya. “Tidak merestui? Kenapa?”
Hoseok menelan ludah, pandangannya kosong sesaat. “Ibu, ini bukan cuma soal aku punya anak ... atau status sosial kita yang tidak kaya. Seo Jung ingin menjodohkan Eungi dengan laki-laki lain, pilihan dia. Tapi Eungi ... dia menolak. Dia bilang dia mencintaiku, dan dia tidak mau dijodohkan.”
Hoseok berhenti sejenak, suaranya terdengar bergetar. “Kami sedang berusaha meluluhkan hati Bibi Seo Jung, Ibu. Tapi dia sangat keras kepala, tidak percaya padaku, dan terus menekankan bahwa aku tidak cukup baik untuk putrinya.”
Min Ah menarik napas panjang, menatap putranya dalam-dalam. “Jadi Eungi menolak pilihan ibunya? Demi kamu?”
Hoseok mengangguk pelan. “Iya, Bu. Dia sudah bilang kalau dia hanya mencintai aku, dan kami sedang berusaha mencari cara untuk mendapatkan restu. Tapi ... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Kami berdua merasa terjepit.”
Min Ah terdiam sesaat, menatap Hoseok dengan mata penuh pengertian. Dia tahu betapa Hoseok mencintai Eungi, tetapi juga menyadari betapa beratnya mengubah hati seorang ibu yang sudah menetapkan pilihannya.
“Ibu, aku butuh saran,” kata Hoseok pelan, pandangannya penuh harap. “Apa yang harus kami lakukan? Aku tidak ingin membuat Eungi harus memilih antara aku dan keluarganya. Tapi aku juga tidak mau kehilangan dia.”
Min Ah menepuk punggung Hoseok dengan lembut, merasakan betapa besar tekanan yang dirasakan putranya. “Hoseok-ah, cinta yang kuat seperti milikmu dan Eungi memang selalu diuji. Ibu bisa melihat itu. Tapi ... restu dari orang tua, terutama ibunya, memang penting. Seo Jung mungkin merasa takut bahwa Eungi tidak akan bahagia, atau ... mungkin dia belum benar-benar mengenalmu dan situasimu."
Hoseok mengangguk pelan, mendengarkan setiap kata ibunya. Min Ah menghela napas panjang, lalu melanjutkan, “Yang harus kamu lakukan adalah menunjukkan bahwa kamu serius dengan Eungi. Bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan tindakan. Buktikan bahwa kamu adalah pria yang bisa membuat Eungi bahagia, dan bahwa status sosial atau anak bukanlah penghalang bagi kebahagiaan kalian.”
“Bagaimana caranya, Bu?” tanya Hoseok, suaranya bergetar. “Aku sudah berusaha keras, tapi sepertinya Bibi Seo Jung tidak mau peduli.”
Min Ah tersenyum lembut, matanya penuh kehangatan. “Pelan-pelan saja, Nak. Dekati Seo Jung dengan hati-hati, dengan niat tulus. Biarkan dia melihat siapa kamu sebenarnya, bukan sekadar menantu yang dia takutkan. Kamu bisa ajak dia bicara, ajak dia ke rumah ini, biarkan dia mengenal keluarga kita lebih dekat. Kadang-kadang, hati yang keras bisa diluluhkan hanya dengan melihat kebaikan dalam keseharian.”
Hoseok terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Dia tahu bahwa ini bukanlah solusi yang instan, tapi ada harapan yang mulai menyala di dadanya. “Aku akan coba, Bu. Aku akan coba bicara lagi dengan Bibi Seo Jung, dan aku harap dia bisa melihat betapa aku mencintai Eungi.”
Min Ah tersenyum, lalu menepuk bahu Hoseok. “Aku tahu kamu bisa melakukannya, Hoseok. Dan jika kamu dan Eungi sudah saling mencintai, jangan biarkan apa pun menghalangi. Ibu percaya padamu.”
Hoseok tersenyum tipis, merasakan sedikit beban terangkat dari pundaknya. “Terima kasih, Bu,” katanya dengan tulus. “Aku akan terus berusaha.”
Hyuka yang mulai bergerak-gerak dalam tidurnya membuat Min Ah menenangkannya kembali. Hoseok memperhatikan ibunya dengan penuh syukur. Bagaimanapun sulitnya perjalanan ini, dia tahu dia tidak akan sendirian dalam menghadapi tantangan yang ada di depan.
***
Paginya, Hoseok berdiri di depan pintu rumah Eungi dengan sebuah kantong berisi makanan di tangannya. Ia menghirup udara pagi yang dingin, menguatkan diri sebelum mengetuk pintu. Tak lama, pintu terbuka, dan Eungi berdiri di sana dengan senyum lebar. Wajahnya langsung berbinar melihat Hoseok datang.
“Kau datang pagi-pagi sekali,” ucap Eungi dengan nada ceria. "Ada apa?"
“Aku membawa sesuatu untukmu dan Bibi Seo Jung,” kata Hoseok, mengangkat kantong itu sedikit, menunjukkan isinya. “Ibuku memasak makanan kesukaan Bibi. Aku ingat kau pernah cerita soal itu.”
Eungi melirik kantong makanan tersebut, tersentuh dengan usaha Hoseok. “Benarkah? Wah, terima kasih, Hoseok-ah. Ibu pasti akan senang mendengarnya.”
Namun, ketika Eungi membawa Hoseok masuk ke ruang tamu, wajah Seo Jung yang duduk di sana masih tetap datar. Tatapannya dingin, meski ia tahu Hoseok datang membawa sesuatu. Tetap saja, dia tidak memberikan respons yang berarti selain lirikan singkat ke arah mereka.
Hoseok tetap tersenyum sopan dan tidak menunjukkan rasa canggung. “Bibi, ibuku membuatkan makanan ini khusus untuk Anda. Dia ingin menyampaikan salam perkenalan, dan mengundang Bibi, Seokjin, dan Eungi makan malam di rumah kami nanti malam.”
Seo Jung diam sejenak, melihat ke arah kantong makanan yang dipegang Eungi. Matanya terkesan tidak peduli, namun di balik itu ada sedikit pertimbangan yang muncul dalam pikirannya. Eungi, yang melihat ibunya masih enggan bicara, langsung ikut membujuk.
“Ibu, tolong pertimbangkan ya,” pinta Eungi lembut, nadanya sedikit memohon. “Aku tahu ini berat untuk Ibu, tapi Hoseok benar-benar serius. Ini kesempatan untuk mengenal mereka lebih dekat.”
Hoseok menatap Seo Jung dengan tenang, tanpa terburu-buru menunggu jawaban. Di balik sikap dinginnya, Seo Jung mengingat percakapan dengan ibunya—nenek Eungi—yang menginap dua hari lalu. Kata-kata ibunya kembali terngiang di telinganya: “Kadang kau harus memberi kesempatan pada hati muda untuk menemukan jalannya sendiri. Jangan sampai egomu menghalangi kebahagiaan anakmu.”
Seo Jung menghela napas panjang. Dia menatap Eungi, melihat putrinya yang begitu berharap. Meskipun hatinya masih ragu, dia mulai mempertimbangkan saran ibunya. Mungkin, inilah saatnya dia menurunkan sedikit egonya dan memberi Eungi serta Hoseok kesempatan.
“Aku akan datang,” kata Seo Jung akhirnya, dengan nada setengah hati. “Tapi jangan terlalu berharap lebih.”
Eungi langsung memeluk ibunya dengan bahagia. “Terima kasih, Ibu. Terima kasih banyak!”
Hoseok juga tersenyum lega, meskipun dia tahu masih ada jalan panjang yang harus ditempuh. Namun, ini adalah langkah awal yang penting. “Terima kasih, Bibi.”
Eungi dan Hoseok saling menatap dengan senyum penuh harapan, sementara di dalam hati mereka, perlahan-lahan harapan itu mulai tumbuh. Mereka tahu ini baru permulaan, tetapi ini adalah langkah maju menuju restu yang selama ini mereka dambakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Moment [JH]
Fanfic[UPDATE, SELASA DAN RABU] Setelah kisah cinta pertamanya berakhir, Jung Hoseok tidak lagi ceria. Ia banyak menutup diri terutama tentang masa lalunya. Sementara, layaknya perempuan kebanyakan, Kim Eungi berkeinginan memiliki kehidupan yang indah sec...