Moment 53

115 17 6
                                    

Setelah pertengkaran pagi itu, Eungi melangkah cepat ke rumah Hoseok. Wajahnya tegang, meskipun bibirnya diam. Di sana, tempatnya merasa aman, meski ia tahu Hoseok tidak akan memaksa pertanyaan. Ia langsung menuju kamar Hyuka tanpa sepatah kata, menarik napas dalam, dan mulai menyiapkan segala kebutuhan bayi itu—mulai dari memandikan, memasak bubur, hingga menyuapinya. Tangannya sibuk, tapi pikirannya berkelana, berusaha menghalau rasa sesak yang belum sepenuhnya hilang.

Di sisi lain, Hoseok merasakan atmosfer berbeda sejak Eungi masuk. Tak perlu kata untuk mengetahui gadis itu tengah bergumul dengan perasaannya. Ia pun tidak bertanya. Sambil mencuci piring, menggosok baju, dan memotong rumput di halaman belakang, Hoseok sesekali melirik ke arah Eungi. Ada rasa hangat melihat kedekatan mereka dengan Hyuka. Senyumnya tersungging saat mendengar gelak tawa kecil dari ruang tamu.

“Hyuka-ya, ayo kemari!” Eungi berseru dengan suara lembut yang menggema di seluruh rumah, membuat bayi itu mendongak dengan penuh rasa penasaran. Kakinya yang mungil bergetar, berusaha menyeimbangkan langkah. Sekejap kemudian, Hyuka jatuh tersungkur, tangisnya pecah seketika.

Eungi bergegas memeluknya, tangannya lembut menyusuri rambut bayi itu. "Gak apa-apa, yang penting kamu sudah mencoba," bisiknya, mencium keningnya. Ia melempar bola kecil ke depan, mengajak Hyuka bermain lagi. Tawa bayi itu kembali pecah saat ia merangkak cepat mengejar bola yang meluncur. Hoseok, yang masih di halaman, berhenti sejenak. Dalam diam, ia mengamati, membayangkan betapa bahagianya memiliki keluarga seperti ini, meski di baliknya ada restu ibu yang belum ia dapatkan.

Dia tidak bisa sembarang mengambil keputusan lagi. Sudah cukup kesalahan masa lalu mengajarkan bahwa cinta saja tidak cukup tanpa restu keluarga.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku. Hoseok meraihnya dan membaca nama "Jimin" di layar. Dahi Hoseok berkerut—sudah tiga bulan Jimin tidak menghubunginya.

"Ya, Jimin-ah!" Suaranya terdengar santai.

“Hyung! Apa kamu selalu lambat saat menerima telepon, huh? Lama sekali menekan tombol hijau saja,” suara Jimin langsung memprotes di seberang sana.

Hoseok tertawa kecil. “Aku lagi sibuk memotong rumput.”

“Oh ya? Sibuk banget sampai nggak bisa buka pintu?” Jimin tertawa kecil di seberang.

Hoseok mendongak, dan hatinya tersentak. Di depan pagar rumah, berdiri Jimin dengan senyum lebar, melambaikan tangan, dan di sampingnya… ibu mereka, Min Ah, juga tersenyum hangat.

“Ibu!” Hoseok segera menghampiri mereka, memeluk ibunya dengan erat. Wajahnya bercahaya, tak pernah ia menyangka mereka akan datang.

“Kenapa nggak kasih kabar, Bu? Aku bisa jemput kalian,” katanya sambil mengerling ke arah Jimin, yang terkekeh puas.

“Kamu pikir aku nggak bisa membawa Ibu sendiri ke sini?” Jimin membalas dengan nada pongah, lalu tertawa kecil saat Hoseok merangkulnya.

“Apa kalian mau terus ribut di sini atau membiarkan Ibu masuk dan istirahat?” potong Min Ah dengan lembut, matanya berbinar saat melihat Eungi yang menghampiri dengan Hyuka di gendongannya.

“Oh, cucu Nenek,” katanya sambil meraih Hyuka dari tangan Eungi. Tangannya bergerak lembut, memeluk bayi itu dengan sayang.

Jimin, yang baru menyadari kehadiran Eungi, mengerutkan kening. Dia menyenggol Hoseok dan mengangkat dagunya ke arah Eungi. Sebelum Hoseok sempat bicara, Min Ah sudah menoleh ke Eungi, tatapan hangatnya terpancar.

“Kamu Kim Eungi, kan?” tanyanya, membuat Eungi terdiam sejenak, kaget bahwa calon ibu mertuanya masih mengingatnya. Wajahnya merona, dan ia tersenyum malu-malu.

“Annyeonghaseyo! Senang bisa bertemu bibi lagi,” jawab Eungi dengan suara lembut, membungkukkan tubuhnya hormat.

Jimin menatap ibunya dengan takjub. “Wah, Ibu ingat! Ini dia si kakak culun itu ya? Sekarang lumayan cantik.”

Hoseok langsung mendaratkan pukulan ringan di kepala Jimin. “Jaga mulutmu. Dia calon kakak iparmu.”

Jimin terbelalak, matanya melebar. “Mwo?”

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang