19

837 94 64
                                    

Katanya, kita cuma punya 30 detik untuk mengenang semua yang pernah terjadi dalam hidup yang kita jalani sebelum secara perlahan semua mulai pudar, hilang dan terlupakan.

30 detik yang sangat berharga di akhir sebuah kehidupan. Namun 30 detik yang terlalu singkat bukankah seperti sebuah hadiah terakhir untuk mengulang semua hal indah yang dalam sekejap akan hilang dan melebur bersamaan dengan matinya sebuah kehidupan.

Dia merasakannya rasanya seperti 30 detik terakhir hidupnya dimulai saat ini, saat mobilnya terseret jauh, saat mobilnya akhirnya terguling dan perlahan kesadarannya mulai hilang hanya sebuah kegelapan dengan suara bising yang sangat jelas hingga detik pertama dari 30 detiknya dimulai.

Ada 10 detik pertama seperti sebuah bayangan kilas balik, seorang anak dengan pakaian hijau muda berpadu toska yang kemudian berganti putih merah, sebuah pelukan hangat dengan janji yang begitu manis, mereka bahagia hingga anak tersebut tumbuh remaja dengan pakaian putih biru, remaja itu terus tumbuh bahkan kini setinggi sosok yang paling di hormatinya yang semakin hari garis halus itu semakin jelas, bukti kerasnya semua usaha yang dilakukan dan bahkan lebih tinggi dan mampu melindungi satu-satunya wanita yang selalu dicintainya.

10 detik kemudian bahkan rasanya terlalu berhaga untuk di lewatkan tentang seorang anak-anak yang tumbuh menjadi remaja lalu mulai bermain dan bertingkah, banyak orang yang mencintainya banyak yang mengharapkannya untuk terus bersama mereka.

Dan 10 detik terakhir adalah sebuah penyesalan juga sebuah rasa sakit ini adalah yang tersakit bercampur dengan semua luka yang berada dalam pandora berakhir dengan sambutan cahaya putih tanda sebuah kehidupan benar-benar akan berakhir sekarang.

'Thank you for such a beautiful life, Kino pergi lebih dulu Mami, Papi.'

Hari ini rasanya lebih lelah dari hari biasanya cukup banyak airmata juga pengorbanan tapi bukan hidup namanya jika diatur sedemikian rupa tanpa ada sebuah rasa sakit yang berbanding seimbang dengan skala kebahagiaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini rasanya lebih lelah dari hari biasanya cukup banyak airmata juga pengorbanan tapi bukan hidup namanya jika diatur sedemikian rupa tanpa ada sebuah rasa sakit yang berbanding seimbang dengan skala kebahagiaan.

Lay bahkan melupakan semua pekerjaannya sebagai executive chef hanya untuk secepatnya sampai di rumah sakit, masih lengkap dengan seragamnya terus menyusuri ruangan yang sebenarnya dia cari hingga akhirnya berlutut dengan tangisan yang coba ditahannya.

"Gapapa" ucap Dinda, mulai tersadar dari tidurnya bahkan mencoba turun dari tempat yang dia tiduri "it's okay semuanya baik-baik aja" lanjut Dinda lalu memeluk Lay dan mengelus punggungnya lembut

"Aku udah bilang jangan terlalu keras, aku gak mau sampai kehilangan lagi"

"Mungkin kamu gak akan kehilangan tapi lebih banyak orang yang bakal kehilangan, kamu gaboleh egois" ucap Dinda diakhiri kekehan kecil, kadang suaminya yang selalu terlihat bijaksana bisa menjadi cukup kekanakan di hadapannya

"Kamu bukan malaikat, dokter bukan tuhan yang bisa nyelamatin semua kehidupan" ucap Lay keukeuh

"Bukannya cara setiap orang ngehargain kehidupan itu beda? Aku disini untuk ngehargain setiap kehidupan yang masih memiliki waktu"

[1] Pengkolan 12 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang