Gue akan menceritakan tentang kita, menggantikan dia yang mungkin sampai kapan pun gak akan pernah bercerita tentang bagaimana, kenapa, kita pernah ada dan akhirnya kembali jadi sebuah konsonan kata yang beda. Lo dan gue.
Yuto terlalu realistis, dan karna kerealistisannya, dia gak pernah ngeliat kebelakang karna dia beranggapan sesuatu yang dimulai dikali kedua akan sama kacaunya ketika lo ngambil sebuah barang bekas dari tumpukan berdebu layaknya gudang.
Yuto gak pernah berharap karna dia yakin ketika dia berharap dia akan jadi lemah dan dengan mudah termakan semua drama yang orang mainin tapi dengan pintar dia menutupi dan bilang 'karna gue tau harapan gak pernah sejalan sama realita' bulshit.
Therefore all, you'll keep everything yourself, though I always expect you.
Dan cerita ini akan terus menjadi memori yang gue simpan tentang bagaimana seorang Yuto Yesana Lardzha dari sudut pandang gue sebagai orang yang pernah menjadi alasan kenapa dia harus tersenyum saat mata kita tanpa sengaja saling bertemu di spion sebelah kanan tepat di atas motor Yuto.
Waktu itu gue cuma murid baru yang kebetulan satu kelas sama temen lama gue Aletha, atau mungkin karna orang tua kita adalah temen juga jadi gue kenal dia dan secara gak langsung kita jadi temen. Gak terlalu sulit karna gue udah biasa ada di keadaan dimana gue harus berulang kali memperkenalkan diri gue sebagai murid pindahan.
Totalnya 5 kali, tiga kali saat sekolah dasar, satu kali saat SMP dan sekarang adalah kali kelima, mungkin harusnya tujuh karna dua lagi saat perkenalan awal SMP dan perkenalan awal SMA.
Saat gue berdiri di hadapan kelas, semuanya bisa gue liat jelas tentang ada dua puluh sembilan murid di kelas ini dan gue menjadi yang ketiga puluh, tentang dimana hanya ada dua belas murid laki-laki dan tujuh belas ditambah gue menjadi delapan belas murid perempuan.
Ada yang berteriak girang, ada yang mencoba mencuri perhatian dan juga ini kali pertama gue ngeliat Yuto, dia gak terlalu menarik perhatian gue, selain dia hanya diam dengan pandanga datar, wajah judge yang selalu dia pake ketika natap seseorang ngebuat gue memilih untuk menjadi teman biasa saja sama dia.
"Hai, nama gue Adinda Yuan Adshilla, gue pindahan dari Jakarta" sapa gue singkat
"Cok, nama tengahnya sama kaya emak lo"
"Apa lo jodoh gue?"
Bisa ditebak selanjutnya tawa dan cibiran yang langsung kedengeran, tawa karna jokes sampis Wooseok yang masih aja bisa dia utarakan padahal gue yakin daritadi dia masih sibuk nyalin tugas yang kelupaan juga cibiran karna gue yakin sebagian anak cewek gak suka omongan Wooseok, Wooseok itu idola begitu juga Kino ataupun Yuto. Itu dari yang gue denger dari Aletha saat dia tau gue akan masuk kelas ini yang lain menyebut mereka triplet. Why not? They are so handsome, they are so rich and famous.
"Dinda, kamu boleh duduk sekarang, terimakasih perkenalannya. Pelajaran akan segera kita mulai" cukup basa-basinya gue balik jalan mau duduk dan lebih baik gue juga jadi murid baik dulu sementara ini.
"Lo duduk di bangku gue dulu, gue lagi nyalin nomer 9" mungkin bagi Yuto gak penting yang namanya first impression itu gimana, gak ada pandangan ramah bahkan Yuto gak mandang gue sama sekali, gak ada ucapan hangat lebih ke dingin dan menusuk.
Sadar keadaan gak enak, Aletha ngegerakin matanya ke arah bangku samping kiri gue dibarisan ketiga ada Kino yang duduk sendiri di sana, sibuk melihat catatannya. "Sama Kino" ucapnya tanpa suara
Tapi gue masih diam, bukan karna gue malu untuk duduk di samping Kino tapi mau coba liat sampai mana reaksi orang yang sekarang duduk di bangku gue.
"Guru gak akan nanyain tugas lo udah atau belum, lo baru. Duduk sana" lebih ke arah mengusir dan risih karna gue masih disitu. Gue bisa aja lebih sarkas dari itu tapi gue masih punya akal untuk gak ngancurin first impression gue di hadapan guru juga murid kelas ini.