9 - Neuf

45.9K 2.3K 46
                                    

Secara ajaib mual itu hilang begitu saja sehingga Risa menganggap bahwa dirinya hanya masuk angin biasa. Mungkin itu karena dia lembur hingga malam dan tidak sempat mengisi perut dengan nutrisi secara benar. Tidak membuatkan bekal untuk Zaid, tidak pula Risa membuat makan siang untuk dirinya. Selama beberapa hari dia dan timnya mempersiapkan laporan Audit, selama itu juga Risa makan tidak teratur dan pulang larut malam.

Bahkan waktu yang dimilikinya dengan Nira hanya di pagi hari sebelum Risa berangkat ke kantor.

"Kamu udah makan?" tanya Zaid melalui video call kepada Risa yang masih di kantor.

"Udah kok," Risa menunjukkan kotak Hokben yang sudah kosong.

"Baru makan?" Zaid mengernyit curiga.

"He he,"

"Jam berapa sih sekarang di Indonesia?" Zaid mengangkat arlojinya yang menunjukkan waktu Indonesia kemudian melirik jam di ponsel yang menunjukkan waktu Paris. "Jam 11, Ris. Kamu baru makan?"

"Iya maaf. Aku baru sempet. Tadi hectic banget gak jelas. Aku gak suka jadi aku belum makan."

"Jangan dibiasain makan telat. Kamu biasa ingetin aku makan kenapa sekarang malah kamu yang susah makan deh?"

"Iya iya maaf ya,"

"Ya udah kamu pulang gih. Mobil dibawa?"

"Iya dibawa,"

"Hati-hati, Sayang," Zaid melambai ke kamera.

Perasaan hangat menjalar di diri Risa saat Zaid memanggilnya dengan sebutan itu.

"Dah, Mas Zaid," ujar Risa malu-malu.

***

Hari Sabtu pun Risa tetap berangkat ke kantor. Nira ditemani Teh Hana, A Gani, dan Rasyid yang datang berkunjung. Risa hanya berharap urusannya segera selesai dan dia bisa berakhir pekan bersama keluarga. Urusan Audit ini memang menambah beban pikiran dan fisiknya.

Ketika akhirnya dokumen untuk diserahkan ke pihak Auditor Eksternal sudah dipersiapkan keseluruhannya, Risa dan timnya memutuskan untuk pulang. Saat itulah Risa merasakan nyeri di perutnya. Seperti mulas. Risa bergegas ke kamar kecil untuk menuntaskan urusannya.

Apa yang dilihat Risa kemudian adalah adanya cairan yang keluar disertai sakit perut yang pernah Risa rasakan saat dia akan melahirkan Nira dulu. Perasaan tidak enak menjalar ke hatinya. Risa cepat-cepat membersihkan diri semaksimal mungkin. Sembari menahan sakit yang membuat matanya berair, Risa melarikan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

Begitu sampai di rumah sakit, sakit itu masih terasa di perut Risa sehingga ia harus menggigit bibirnya dan mencengkram tasnya erat-erat. Untunglah penanganan rumah sakitnya cepat dan Risa langsung ditangani di IGD. Dokter jaga memeriksanya, menanyakan beberapa hal, kemudian memanggil dokter lainnya.

Perasaan Risa makin tidak karuan.

"Apakah Ibu sedang hamil?" tanya dokter itu. Dari tanda pengenalnya, Risa tahu bahwa dia adalah dokter obgyn.

"Saya? Hamil?" Risa terkejut. Sedikit rasa bahagia muncul di hatinya mengenai kemungkinan bahwa dia mengandung anak keduanya.

"Tapi saya khawatir sekarang sudah tidak lagi," kata si dokter dengan muram.

"Eh?"

"Ibu mungkin keguguran..."

***

Risa hanya bisa diam bahkan ketika Mama, Papa, Gani, Hana, Rasyid, dan Nira memasuki ruang perawatannya. Nira menghampiri Risa dan naik ke tempat tidur tanpa ragu-ragu. Dia berguling dan memeluk ibunya tanpa bicara apa-apa.

Mama yang pertama menghampiri Risa dan memegang tangan putrinya.

"Gimana ceritanya?"

Tadi, setelah Dokter Ryan si dokter obgyn mengatakan bahwa Risa mungkin keguguran, Risa langsung menjalani serangkaian tes saat itu juga. Hasilnya positif menunjukkan Risa kehilangan janin berusia tiga minggu. Dokter mendiagnosa bahwa janinnya tidak ternutrisi dengan baik sehingga tidak sanggup untuk berkembang. Janin itu langsung dikeluarkan dari tubuh Risa. Begitu operasinya selesai, Risa langsung menelepon ibunya dan mengatakan bahwa Risa keguguran dan harus dirawat.

Air mata Risa menetes deras seiring ceritanya yang terputus-putus. Pelukannya kepada Nira semakin erat, menunjukkan betapa Risa merasa bersalah. Nira tidak bicara apa-apa tapi ia terlihat bingung karena baru kali ini melihat ibunya menangis deras.

Mama memeluk Risa untuk menenangkan, Papa mengelus kepala Risa, Gani menepuk lengan Risa, Hana mengelus kaki Risa, Rasyid mengikuti ibunya, mengelus kaki Risa lainnya. Semuanya memberi dukungan untuk Risa yang baru saja merasakan kehilangan. Meskipun baru sebentar berada dalam tubuhnya, tetap saja Risa merasa kehilangan. Sesuatu yang dia harapkan kehadirannya. Kehidupan baru yang dinanti oleh Risa dan Zaid.

"Neng sudah bilang Zaid?" tanya Mama beberapa saat kemudian.

Tubuh Risa langsung menegang dan matanya membelalak. Dicengkramnya tangan ibunya erat. Kepalanya menggeleng berulang-ulang.

"Jangan. Mama jangan kasih tahu Mas Zaid. Tolong. Papa, A Gani, Teh Hana juga. Tolong jangan kasih tahu Mas Zaid. Dia pasti kecewa. Dia pasti sedih," Risa terus menggeleng dan memohon. Menatap satu per satu wajah keluarganya. "Mas Zaid sangat ingin punya anak kedua. Kalau dia tahu aku keguguran, dia pasti sedih. Jadi tolong..."

Risa menangis lagi. Nira memeluk ibunya erat dan Risa membalas pelukan Nira.

"Bubu..." ujar Nira pelan.

"Maafin Bubu ya Sayang. Gak bisa jaga adik kamu," bisik Risa dengan penuh rasa penyesalan.

Pada akhirnya semua sepakat untuk merahasiakan ini dari Zaid, setidaknya untuk saat ini. Mereka tidak tega jika harus melihat Risa lebih sakit lagi. Baik secara fisik maupun mental.

***

"Mata kamu kenapa, Sayang?" tanya Zaid pada Risa saat mereka kembali melakukan video call. Zaid sedang menunggu penerbangan ke Berlin dan menyempatkan untuk menelepon Risa.

"Kurang tidur kayaknya, Mas," jawab Risa pelan. Risa memaksa dokter untuk mengijinkannya pulang keesokan harinya. Dia akan memulihkan diri di rumah saja.

"Belum beres juga urusan Auditnya?"

"Sudah. Untungnya sudah. Mungkin ini efeknya baru muncul. Aku juga gak pake concealer segala macem. Toh di rumah aja."

"Hmm. Gitu. Keliatannya abis nangis," Zaid memajukan wajahnya untuk melihat Risa lebih jelas.

"Bukan nangis, tapi mataku berair. Agak pilek juga soalnya," Risa pura-pura menyedot ingusnya untuk menunjukkan dia sedikit flu. Padahal memang Risa habis menangis lagi. "Ya Mas Zaid tau kan kalau abis sering lembur kadang suka flu."

"Iya sih. Ngomong-ngomong, Nira mana?"

"Di bawah sama Mama dan Papa. Mereka nginep di sini sejak aku gak enak badan. Gak apa-apa kan?"

"Gak apa-apa dong. Kalau gitu aku telepon Mama aja ya kalau mau ketemu Nira. Kamu istirahat gih Sayang. Cepet sembuh ya. Minggu depan aku pulang," Zaid sekarang tersenyum lebar sekali. Senyum Zaid membuat Risa semakin merasa bersalah.

"Iya. I love you, Mas Zaid," Risa melambai.

"I love you too, Risayang," Zaid nyengir lalu mencium kamera.

Selepas video call, Risa kembali meringkuk di kasur, merasa bersalah, dan meratapi nasibnya.

*****     

The Fools - Trilogi Zaid Risa 3 - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang