Bab 11

2.6K 343 108
                                    

Sasuke terlihat seperti model yang termenung di balik roda kemudi VW Campervan klasik 1973 milik Sai, mobil raksasa warna biru langit ini bernama Killer B.

Oke, Sasuke tidak termenung. Dia gelisah sambil terus mengendarai mobil ke arah barat, menembus cahaya langit sore. Jemarinya sibuk mengetuk-ngetuk roda kemudi ketika tidak sedang mencengkeramnya erat-erat. Ketukan jemarinya pura-pura mengiringi lagu di radio. Jujur saja, melihat pria yang berkacamata hitam mewah dan rambut berantakan mengendarai mobil ini begitu lucu.

Killer B jarang keluar dari bagasi mobil rumah sewaan Sai - karena biasanya dia bersepeda ke mana-mana, sebab 1) lebih sehat, 2) lebih ramah lingkungan, dan 3) lebih murah. Tapi kami berencana membawa Campervan ini dalam perjalanan terjun payung akhir pekan depan, dan Sasuke dipercaya untuk memanaskan mesinnya hari ini setelah hibernasi musim dingin yang panjang. Ini solusi yang sempurna - paparazzi sudah tahu dia mengendarai mobil perak, jadi Itachi mengatur rencana agar Sasuke dapat membawa Killer B keluar. (Rupanya Itachi ingin melihat kelucuan Sasuke di belakang roda kemudi.) Killer B dihiasi oleh panel kayu era 70-an, jok oranye dengan garis-garis kuning, ada dapur, sistem stereo khusus, dan tempat tidur yang dijaga Sai dalam kondisi rapi. Sai begitu bangga pada mobilnya, dan aku kaget dia mau saja membiarkan pria yang nyaris asing baginya ini untuk bawa mobil. Tentu saja Sasuke yang kami kenal begitu telaten dalam menjaga barang, sepertinya Itachi sudah memberi tahu Sai hal ini.

"Benar kau tidak keberatan kita tidak jadi bicara di museum seni?" tanya Sasuke untuk yang ketiga kalinya.

"Tidak masalah. Seperti yang kukatakan, aku sudah sering ke sana - mereka salah satu klien kami."

"Ya. Benar." Sebelah tangan Sasuke dengan gugup mengacak-acak rambutnya yang tebal, gerakan itu begitu akrab bagiku. Dari kecil dia selalu melakukannya. "Cat galeri itu terlalu terang dan putih bersih, membuat mataku sakit, dan juga suasananya terlalu tenang. Aku ingin keluar dari sana, melihat-lihat pemandangan."

"Ya, lagi pula ini sore yang indah."

Kami bergerak menuju pantai untuk obrolan sore ini. Sudah bertahun-tahun Sasuke tidak lihat hamparan laut luas, dan dia ingin mengunjunginya lagi sebelum kembali ke Tsurui dua setengah minggu lagi. Dengan tur novel serta sibuk rencana pernikahan, waktu berlalu begitu cepat.

"Ada soda di kotak pendingin kalau kau mau," tawar Sasuke. "Soda, minuman jahe. Juga ada limun, tapi cuma satu."

"Terima kasih, nanti saja. Sungguh."

Kesunyian yang tidak nyaman ini terus membayang di antara kami. Aku mulai menyesal sudah memintanya untuk bicara langsung denganku. Sasuke sudah cemas sejak dia melambaikan tangan padaku dari mobil ini di parkiran museum, dia menyembunyikan wajahnya. Aku takkan mengenalinya jika bukan karena topi bisbol SMA Konohagakure yang sudah usang itu, yang sekarang sudah dilempar ke kursi belakang. Kemarin pembicaraan via telepon kami terasa begitu mudah, membuat kepercayaan diriku meningkat sepuluh kali lipat. Tapi melihat Sasuke mengeluarkan kalimat secara langsung terasa sangat berbeda.

Meskipun kami telah berupaya, tetap saja kami canggung. Mungkin karena kami berusaha terlalu keras untuk jadi diri sendiri ... atau setidaknya diri kami delapan tahun yang lalu. Kulirik tanganku. Yang mengejutkan adalah tanganku gemetaran. Kuhimpit kedua tangan, lalu menarik napas dalam-dalam. Sudah waktunya untuk mencairkan suasana.

"Jadi ... yang kau butuhkan sekarang adalah baju kaus pelangi dan celana gombrong," godaku. "Sifat murung khas penduduk Tsurui yang kau bawa ini adalah penghinaan terhadap Killer B."

Sasuke tersenyum, tak sekali pun mengalihkan tatapannya dari jalan. "Aku lebih senang menganggap penampilanku ini seperti Steve McQueen - The King of Cool?"

The Pirouette of WhitewaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang