Bab 31

2.5K 281 30
                                    

Gerombolan manusia bagai menyapu kami di stasiun bawah tanah, seperti daun musim gugur di selokan. Terowongan ini bau apak, mungkin karena tidak pernah ditiup udara segar selama ribuan tahun. Ubin warna putihnya sudah kotor dan para musisi jalanan tampak buram ketika kami terburu-buru hendak menaiki kereta menuju Tsurui Barat. Dengan topi bisbol yang menghalangi wajahnya, Sasuke memegang erat tanganku, hanya melepaskannya untuk menjatuhkan beberapa keping ryo ke dalam peti gitar pengamen.

Sasuke bersikeras kami naik kereta bawah tanah supaya leherku tidak patah karena sibuk melihat gedung-gedung tinggi di kota yang besar dan menakutkan ini. Aku ingin naik taksi sambil mengatakan kaki dan otakku sudah terkulai lemah, karena seharian rapat dengan Grup Yashagoro. Dunia yang waras menyebut rapat sebagai sarana pemecah masalah, namun para elitis itu menyebut rapat sebagai pemikiran lateral. Sejujurnya, aku cuma mau tiba di apartemen Sasuke secepat mungkin, aku ingin lihat apa Aoi sudah mengirimkan salinan buku itu atau belum.

Terakhir kali aku naik kereta bawah tanah umurku dua puluh tahun. Aku sendirian berjalan di kota asing, putus asa ingin merebut kembali suamiku yang dulu. Aku bingung menavigasi sistem transit kereta bawah tanah Tsurui. Namun sekarang, Sasuke ada di sampingku, dia menuntunku ke rumahnya dengan kelembutan dan harapan, juga rasa takut khas seorang kekasih baru. Sasuke sangat ingin menyenangkan hatiku. Aku juga tidak ingin mengecewakannya.

Untuk sekarang, aku harus menguasai cara membayar ongkos kereta bawah tanah agar bisa melewati pagar putar stasiun.

Kugesekkan kartu tipis itu di atas sensor dan kudorong bilah pembatas dengan pinggul (mana mungkin aku mau menyentuh sarang kuman penyakit itu dengan tangan). Namun bilah pembatas tidak kunjung bergerak. Ini percobaanku yang ketiga. Sial.

"Gesek ke arah sebaliknya," kata Sasuke.

Mesin monster itu malah berbunyi.

"Coba lagi, agak lebih lambat," kata Sasuke dengan sabar. Namun, tidak begitu dengan pria di belakang kami.

"Ayolah, wanita gila, kenapa lama sekali? Tidak sesulit itu menggesek kartunya!" serunya. Namun bagiku, ini lebih sulit daripada mengucapkan Huītzilōpōchtli.

Sasuke berputar untuk menghadapi pria itu, tubuhnya kaku. "Masih ada empat pintu di sebelah sana," dia memberi isyarat, "jadi, jangan marah-marah, Bung."

"Ya, tapi antriannya panjang." Pria itu menyentuh ujung topinya yang dibordir lambang tim bisbol Tsurui, seolah-olah menantang topi Otogakure Cubs milik Sasuke.

Sasuke mengabaikan pria itu, dia lalu pindahkan kotak paket di bawah lengannya, dan meminta kartu keretaku. Hanya dengan sekali gesek ... lampu pintu putar berubah jadi warna hijau. Aku tidak habis pikir.

Kami temukan tempat duduk di sudut ruangan kereta bawah tanah bersama dengan penumpang lain yang hendak menuju Barat. Seorang wanita yang bau alkohol berdiri di depanku, keranjang piknik terletak di kakinya. Mencoba bersikap tidak kentara, aku menoleh ke arah Sasuke, lalu kutempelkan hidungku di bajunya, menghirup aroma tubuh Sasuke. Dia tidak terganggu dengan bau busuk itu, mungkin karena sudah terbiasa dengan campuran bau dan manis, suram dan warna-warni - sensasi kota besar yang sungguh aneh.

Bagai seorang pengamat, Sasuke sibuk memerhatikan semua yang ada di sekitarnya. Mataku mengikuti arah tatapannya. Iklan yang terpasang di dinding kereta, orang-orang yang memegang tiang - sedikit bergoyang karena guncangan kereta bawah tanah. Di sebelah kiri, wanita berambut cokelat sedang mengelupasi cat kukunya yang berwarna kuning. Di sebelah kanan, seorang pria begitu larut dalam keseruan novel yang dia baca. Sedikit lebih dalam di gerbong sana ada gelandangan yang sibuk menghitung uang recehnya, lalu dia melirikku. Banyak sekali cerita di sini. Walaupun enggan, harus kuakui jika kondisinya baik, Sasuke memang bisa jauh berkembang di tempat ini.

The Pirouette of WhitewaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang