Bab 1

7.4K 617 54
                                    

"Arrrgh! Itachi!" Mati-matian aku mendayung melawan arus, sia-sia jika berusaha memutar kayak sebelum kami menghantam gelombang tinggi di depan sana. Tapi tentu saja Itachi dapat mengendalikan kayak ini. Dia terus mendayung, peranku hanya sebagai bantuan tambahan.

"WOO HOO! Ayo, Sakura, dayung! Kita akan berhasil kali ini!" suara Itachi menggelegar di belakang, lengannya yang berotot dengan semangat mendayung air sungai yang dingin. Kayak kami terdorong lebih dekat ke gelombang.

Kami selalu berusaha menaklukan gelombang ini tiap kali wisata arung jeram sejak tujuh tahun terakhir, sejak kami pertama kali menangani bentangan Sungai Shinano di Takumi. Tiap Bulan Mei, kami tinggalkan Konohagakure untuk menikmati keindahan sungai yang dikelilingi pegunungan dan menghantam jeram perdana - yaitu ketika salju baru meleleh dan meluncur dari gunung ke sungai, membuat jeram sungai meningkat jadi kelas 4-5 yang liar. Sungguh menyenangkan.

Namun arum jeram kali ini buatan manusia, kelas 5 buatan ini melintang di sungai, hingga tidak ada jalan lain untuk menghindarinya. Kayak berwarna cerah ini berkelok-kelok masuk dan keluar dengan cepat seperti ikan raksasa. Itachi punya gagasan yang kelewat obsesif, jika kami mendayung dengan kencang hingga ke puncak gelombang, kami bisa naik ke atas seperti menggunakan papan selancar sampai gelombang menghempaskan kami. Tujuh tahun sudah kami berusaha ... dan gelombang ini selalu berhasil menghantam kami terlebih dahulu.

Di sisi kanan sungai yang lain bersorak dan berteriak sambil dengan waspada mengawasi kayak kami yang semakin mendekati deru air. Samar-samar terdengar perintah Sai pada Ino dan Hinata untuk mengencangkan tali di sekitar kotak pendingin dan perlengkapan kemah selagi dia mendayung, bersiap-siap menerima serangan gelombang yang lebih kecil. Izumi dan Naruto memilih tidak ambil risiko. Mereka mendayung dengan santai di sisi sungai yang bergelombang kecil. Tapi aku dan Itachi punya tradisi sendiri, topi pancing kami sudah terpasang, dan kami siap menaklukan gelombang gila ini.

Cepat-cepat kubuka jaket dan menyimpannya di dalam tas jaring agar aku tidak kehilangan lagi seperti dua tahun lalu. Kami habiskan sebagian waktu hari itu untuk mengamati sungai, mencari jaket baruku yang mahal, namun sayang, kami tidak pernah menemukannya lagi. Mungkin jaketku itu sudah terdampar di suatu tempat dan orang yang beruntung mendapatkannya akan bilang itu sebagai "rezeki dari Tuhan".

Tidak seperti jaket, pakaian selam adalah suatu keseharusan - ini dapat mencegah hipotermia selama dua puluh menit. Air sungai ini masih terasa dingin, sekali pun aku sudah pakai pakaian selam. Ah baiklah, bisa kutangani gelombang ini. Terkadang hanya gelombang seperti inilah yang mampu membuatku tetap waras. Setelah memerbaiki helm, kulirik ke belakang, Itachi sedang tersenyum sambil melotot. Cahaya matahari mengenai gelombang dan mengurainya jadi jutaan tetes air yang berkilauan, naik tinggi ke udara, siap untuk menelan kami hidup-hidup.

"Sakura, Sakura, Sakura, ingat, meringkuk jika kayak kita terbalik!"

"Ya, Itachi, aku tahu, kita sudah melakukan ini tujuh kali! Astaga! Astaga! Astaga!"

"Ini ... dia ... Ayo!"

Aku memekik saat kayak mulai menyentak. Aku bersandar ke belakang dan memegang dayung erat-erat sambil memejamkan mata. Untuk sejenak, ketika kayak tercelup ke dalam air lalu terangkat kukira kami berhasil selancar di atas gelombang. Tapi kemudian kayak ini bagai berdiri tegak, dan aku terjengkang. Tubuhku terlempar. Kami kalah. Lagi. Sambil menarik lutut dari tali kekang, aku menendang-nendang agar dapat keluar dari kayak, lalu menarik napas dalam-dalam, dan membiarkan gelombang air menyerangku. Air dingin ini menghantamku seperti dinding batu dan aku mengumpat sebelum terhisap ke bawah. Langit cerah menghilang, diikuti oleh air abu-abu, lalu langit ... abu-abu ... langit ... abu-abu. Aku berusaha meringkuk dan memeluk lutut, berputar berulang-ulang kali dalam pusaran air. Aku mulai bertanya-tanya apa aku akan lihat permukaan lagi, dan kemudian kulihat langit ... dan hanya langit. Sambil menerobos ke permukaan, kuhirup udara yang berharga ini dan berteriak.

The Pirouette of WhitewaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang