Bab 23

2.9K 340 112
                                    

Kebahagiaan ... kenapa kita manusia, makhluk yang lemah, terkadang berpikir bahwa kebahagiaan itu hal yang tidak mungkin dicapai? Sering menempatkan begitu banyak rintangan antara diri kita dengan kondisi yang ideal menurut standar? Standar kebahagiaan sebetulnya tidak ada. Kebahagiaan bisa saja terjadi di momen misalnya ketika kau masih kecil kau benci seledri, namun ketika sudah dewasa kau merasa seledri itu lumayan enak. Kebahagiaan bisa sesederhana itu. Bahkan ketika kau saling tersenyum penuh arti dengan orang asing yang menempatkan sebotol anggur dan beberapa batang lilin di keranjang belanjaannya, itu bisa disebut kebahagiaan. Tak perlu memenangkan lotre bernilai jutaan ryo agar bahagia. Bersyukurlah ada angin sepoi-sepoi berhembus di wajahmu atau rumput lembut di bawah kakimu. Atau duduk menikmati lengan kokoh dan nyaman yang tersampir di sekeliling bahumu, dan kau tahu, meskipun dia belum menyuarakannya, dia tulus mencintaimu.

Itulah bentuk kebahagiaanku saat ini ketika kami dalam perjalanan selama empat jam menuju arah selatan untuk mengeksplorasi enam puluh lebih gua lahar. Aku masih punya Sasuke untuk diriku sendiri selama dua hari ke depan sebelum kami kembali dan menghabiskan Hari Sabtu bersama orang tuanya di Konohagakure.

Kami tinggalkan HarunoNemoto sebelum matahari terbit dan untungnya, setelah dua malam tidur dengan gelisah, bukan aku yang mengemudi. Neji-lah yang mengendarai mobil perusahaan kami, dia mengobrol pelan dengan Tenten di bangku depan, berusaha menghalau kekhawatirannya terhadap Akane.

Di kursi belakang, Sasuke menempatkan dirinya di tengah dan menarikku dekat ke sisinya, dia tidak pakai sabuk pengaman saat ini. Aku tahu demi keselamatan dia harus memasangnya kembali, dan dia bilang akan segera memasangnya lagi setelah kami sampai di perbatasan kota. Tapi untuk sekarang, aku nikmati kebahagiaanku sambil berdoa tidak ada perangkap yang diam-diam terletak di atas kepala ini.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" bisik Sasuke, memainkan helaian rambutku yang terselip di belakang telinga.

Aku tersenyum. "Aku sedang memikirkan betapa bahagianya aku saat ini."

"Apa aku membuatmu bahagia, Sakura?"

"Ya," bisikku jujur. Karena sekarang tidak ada yang bisa menandingi kepuasan yang kurasakan. "Bagaimana denganmu?"

Sasuke mengecup pelipisku. "Sangat bahagia."

"Maksudku, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku teringat kejadian musim panas saat kau mentraktir aku es krim di seberang bank. Sepertinya aku baru saja ulang tahun yang kesebelas, jadi umurmu pasti masih delapan tahun."

Aku tertawa. "Aku ingat itu! Kuhitung satu-satu pecahan satu ryo hingga seratus, lalu memasukkannya ke dalam plastik bening. Kasirnya sungguh kesal padaku."

"Dia berdiri di sana menghitung uang receh satu-per-satu sambil mengomel seharusnya kita bersepeda ke bank dan menukarkan uang receh itu."

"Tapi tentu saja uang recehku pas seratus ryo," kataku bangga.

"Tidak, kau kurang dua ryo. Aku yang menambahnya."

"Tidak! Uangku pas seratus ryo."

"98 ryo," koreksi Sasuke.

Aku menyikutnya dan dia menggeliat. "Kita terdengar seperti anak-anak, bertengkar tentang uang receh. Tenten dan Neji pasti mengira kita ini norak."

"Sejak kuliah kami sudah berpikir kau itu norak, Sakura," celetuk Neji. "Itu bukan hal baru."

"Kata seseorang yang menyelenggarakan pertandingan catur di kamar asramanya," gumamku. Sasuke membenamkan wajahnya di rambutku untuk menahan tawa.

"Kau tidak pernah membiarkan aku balas mentraktirmu," Sasuke menghela napas, lengannya mengencang di sekitar bahuku. "Sakura yang keras kepala." Tapi suaranya terdengar sedih, bukannya mencela.

The Pirouette of WhitewaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang