Sedang revisi

1.9K 64 0
                                    

Kakakku tidak diam saja mendengar Mila diperkosa dukun tua, Kakakku langsung melapor ke Pak RT. Pak RT beserta warga ke rumah Mila, tapi dukun tua itu tidak di temukan. Mila tidak mau pulang, dia memilih tinggal di rumahku.

Ketika Ayahnya Mila datang, respon Mila biasa saja dan hanya menangis terus. Ayah Mila tidak bisa berbuat banyak, Ayah Milapun sudah lama menikah lagi dan memiliki empat anak. Ibu tiri Mila sangat galak, dia tidak mau Mamih Yos menggoda Ayahnya Mila.


Pak Rt sebenarnya ingin melapor ke Polisi, tapi Bu Rt mengingatkan suaminya, dia tidak mau menanggung derita jika tiba-tiba Mamih Yos menyantet keluarganya. Semua takut pada Mamih Yos karena selalu main dukun.

Satu hari menjelang pesta pernikahanku, keluarga Usman datang dan menginap di Hotel. Perasaanku tidak karuan dan gemetar. Resepsi di gelar, aku didandani seperti putri, selama ini aku tidak pernah dandan. Banyak orang melihatku pangling dan terpesona. Aku sendiri terkejut melihat wajahku di cermin, bibirku sudah di beri lipstik, alis, bedak dan gaun yang indah.

Kami duduk di kursi pelaminan, tamu-tamu datang dari luar kota, kebanyakan dari keluarga Usman, teman Usman dan rekan kerja orangtuanya. Aku merasa cemburu, dan dadaku sangat panas dan kecewa, ketika teman Usman yang perempuan menyalami dan tempel pipi kiri dan kanan.

Aku tersenyum dengan terpaksa, rasanya mual sekali melihat mereka yang sangat dekat dan minta di foto, aku hanya diam dan menuruti kemauan tamu. Tanganku di tarik ke sana kemari untuk foto. Saat mulai sepi aku duduk dan pasang wajah cemberut, Usman merasa aneh dengan perubahan sikapku.

"Vi, kamu lelah? Kenapa diam saja? kok cemberut, harusnya hari ini kamu bahagia, kenapa cemberut? Apa tidak suka dengan suamimu yang sudah ganteng ini?" tanya Usman menggoda.

"Apa semua temanmu yang perempuan jika salaman harus tempel pipi? kalau temanku yang pria, bersalaman dengan pipi saling tempel, di perbolehkan tidak?" tanyaku ketus.

Usman tidak menjawab langsung, Usman memandangiku tanpa berkedip, dia langsung ambil tisue dan jongkok dihadapanku sambil mengelap pipinya yang kanan kiri dan kiri.

"Iya Mas lupa, Mas lupa kalau sudah punya istri, maafkan Mas, ya?" ucap Usman memohon.

"Jadi kalau belum menikah boleh bersalaman begitu?" tanyaku sangat kesal.

"Mas janji tidak akan mengulanginya lagi, jangan marah, ya?" jawab Usman menyesal.

Usman berdiri lagi, karena ada tamu yang pamit, dan ketika teman perempuan hendak pulang dan ingin salam dengan tempel pipi, Usman langsung menghindar dan bercanda.

"Eit tidak boleh salaman tempel pipi lagi, kita bukan muhrim, dan aku sudah ada yang punya hahaha!" ucap Usman bercanda.

Teman-temannya memandangiku dan seperti memahami aku cemburu, aku senang Usman berubah, tapi aku kecewa karena temannya seperti tidak suka, andai dari awal Usman menolak. Justru perubahan sikap Usman tidak mau salam tempel pipi, mereka sudah mengira kalau aku marah dan melarang Usman.

Ketika acara selesai, keluarga Usman kembali ke Hotel, Usman mengajakku menginap di Hotel, tapi aku menolaknya. Ibu menyuruhku pergi dengan Usman tapi aku tidak mau. Usman menyadari keadaan, kalau aku belum terbiasa.

"Vi, kamu sudah jadi istrinya Usman, seharusnya kamu ikut, kemanapun Usman pergi," ucap Ibu menasehati.

"Tapi Bu... " ucapku gelisah.

"Ya sudah Bu, tidak apa-apa, jangan dipaksa, yang penting acara sudah selesai," ucap Usman menengahi.

Usman mengantarkan aku dan keluargaku pulang. Usman terkejut melihat Mila duduk di ruang tamu sambil menangis. Ibuku langsung mendekati Mila dan menghibur, aku langsung masuk kamar diikuti Usman.

"Vi... wanita itu siapa?" tanya Usman.

"Dia Mila, anaknya Mamih Yos, dia sedang sedih karena diperkosa dukun tua, suruhan Ibunya untuk mengobati Mila," jawabku.

Seharian menerima tamu, aku kelelahan sekali dan ingin berbaring, tapi Usman langsung mendekatiku dan memelukku.

"Vi... masih marah?" tanya Usman dengan lembut.

Aku menggeleng kepala tidak menjawab, karena jantungku berdegup kencang, Usman tidak henti-henti memandangiku, membuatku sangat malu, Usman tersenyum dan mencium pipiku sambil berbisik.

"Kita sudah resmi suami istri, Mas harap jaga kesetiaan dan kepercayaan Mas, Mas lakukan semuanya karena mencintamu, bukan karena terpaksa, besok pagi Mas jemput karena harus pulang, lusa Mas di Wisuda, kamu harus ikut, ya?" bisik Usman.

Aku hanya mengangguk, karena tidak tahu apa yang harus aku katakan, aku benar-benar grogi dan terus berdebar-debar berdekatan Usman.

"Mas ke Hotel dulu, ya? tidak enak meninggalkan keluarga Mas," ucap Usman pamit.

"Iya Mas," ucapku gugup.

Setelah Usman pergi, aku tidak bisa memejamkan mataku. Aku masih mendengar Mila menangis, aku keluar dari kamar dan menghibur Mila, tapi Mila terus menangis dan menjerit, aku bingung harus berbuat apa.

"Mil, jangan menangis terus, kami janji akan selalu melindungimu dari Mamih Yos," bujukku.

Ketakutan Mila dan trauma Mila sangat dalam, karena akupun hampir saja bernasib sangat buruk jika aku tidak berhasil kabur. Esoknya Usman menjemputku, Ibu dan Kakakku tidak ikut ke Bandung untuk wisuda Usman, karena harus menjaga Mila.

Orangtua Usman tidak ikut dengan mobil kami, ternyata Usman membawa mobil sendiri, karena mengira keluargaku akan ikut, aku di mobil hanya diam, dan Usman terus menghiburku.

"Vi, Mas sudah kerja sekarang, setelah wisuda ini Mas akan membeli rumah baru untuk kita dan Ibumu, kalau Mas pulang, Mas bisa menginap, dan mobil tidak jauh dari rumah Vi, Mas akan membuka rekening untukmu, supaya mudah jika kirim uang tidak melalui wesel lagi, ya?" ucap Usman.

"Iya Mas," jawabku santai.

"Di kampus jangan genit ya, ingat sudah punya suami, jangan dekat-dekat teman laki-laki," sindir Usman.

"Ya Mas... begitu juga dengan Mas, jangan genit sama perempuan!" balasku kesal.

"Kamu masih marah, Vi? mereka sahabatku Vi, kita sudah seperti saudara, Mas tidak mungkin macam-macam sama mereka," ucap Usman membela diri.

Di perjalanan aku banyak diam, dan masih tidak tenang, karena memikirkan nasib Mila, dia tidak mau kuliah dan hanya menangis terus, badannya semakin kurus. Sampai di Bandung, aku dan Usman menuju Hotel tempat keluarganya sudah berkumpul.

Aku masuk ke kamar dan Usman mengikutiku, aku canggung sekali saat itu di ruangan mewah dan megah. Saat aku mau mandi Usmanpun duduk di kursi dan aku ijin pada Usman sambil membawa handuk.

"Mas, aku keluar dulu mau mandi," ucapku pamit.

"Mau mandi di kolam renang, Vi?" tanya Usman heran.

"Di kamar mandilah!" jawabku ketus.

Usman menghampiriku dan merangkul bahuku, Usman mengantarkan aku ke kamar mandi, aku tidak tahu, ternyata di dalam kamar hotel, ada kamar mandi juga.

"Ya sudah Mas, sana keluar, aku mau mandi!" ucapku mengusir Usman.

"Hahahaha," Usman tertawa.

"Kok ketawa? ada yang lucu?!" tanyaku marah.

"Vi, ya ya... Maaf, aku duduk di kursi depan, kamu mandi ya? aku suamimu Vi, masa di usir keluar?" jawab Usman melunak.

Aku merasa malu dan bingung, entah kenapa aku tidak terbiasa seperti ini, apalagi statusku sudah menjadi istri, aku seperti merasa masih sendiri dan bersama Ibu, aku masih asing dekat dengan Usman.

Selesai mandi, aku melihat Usman tiduran di kasur, entah kenapa pikiranku jauh, dan aku seperti mual dan timbul benci pada Usman.

"Mas, aku nanti tidur di mana?" tanyaku cemas.

Usman memandangiku tidak berkedip, Usman merasa aneh dengan pertanyaanku.

"Kita tidur di sini, Vi? boleh? kalau tidak boleh Mas tidur di kursi atau di bawah, kalau Mas pesan kamar lagi, nanti keluargaku merasa aneh Vi, kita kan sudah suami istri?" jawab Usman sangat tenang.

"Biar aku tidur di bawah saja, Mas!" ucapku gugup.

Usman seperti memahami perasaanku yang belum siap menjadi istri, Usman langsung bangun dan berdiri dari tempat duduknya.

"Aku keluar dulu cari makanan ringan ya? kamu mau pesan apa?" tanya Usman.

Aku menggelengkan kepala, Usmanpun keluar dari kamar, entah perasaan apa ini, kadang gemetar, berdebar, tapi kadang mual dan rasa benci melihat Usman, padahal dia begitu baik, tapi kenapa aku bersikap tidak adil pada Usman.

***

Azab Penjual PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang