Sedang revisi

1.9K 63 0
                                    

Hidupku semakin tidak tenang, meskipun Mamah Ranggi memberi amalan agar aku dan keluargaku tidak mudah di guna-guna, bayangan wajah Mamih Yos dan Sari terus saja menghantuiku.

Aku tidak kuliah, dilarang suamiku, akupun masih takut untuk keluar rumah, sampai Usman datang aku bisa merasakan lega, apalagi Usman membawa seseorang untuk dijadikan satpam di rumah.

Usman membuat kamar kecil di samping teras, dan toilet untuk Satpam, Usman tidak memperboleh Satpam masuk ke dalam rumah. Saat aku tanya kenapa harus membuat kamar sedangkan di dalam rumah ada kamar kosong, Usman langsung menjawab dengan lembut.

"Mas, kenapa harus membuat kamar lagi? bukankah masih banyak kamar kosong?" tanyaku heran.

"Vi... dia laki-laki, Mas tidak mau ada pria masuk ke rumah kita, selain saudaramu, kecuali tamu di bolehkan, itupun jika ada Mas," jawab Usman tegas.

Aku menuruti keinginan Usman, aku belum paham sekali adab dalam Islam, siapa-siapa saja yang boleh diijinkan masuk, beda dengan sekarang, aku mengetahui bahwa tidak boleh menerima tamu tanpa seijin suami, tidak boleh keluar rumah tanpa seijin suami.

Islam sangat indah mengajarkan kita sopan santun, Islam mengajarkan kita, bagaimana taat pada Suami. Usman membelikan mobil baru, Kakakku di kursuskan untuk bisa menyupir mobil, agar bisa mengantarkan aku jika keluar dari rumah.

Dalam beberapa bulan aku gelisah, Ibu mertuaku selalu menanyakan apakah sudah hamil atau belum. Tahun berganti tahun, sampai aku Wisuda, aku tetap belum di beri amanah untuk hamil.

Usman tidak pernah menyinggung sama sekali kapan aku hamil, tapi aku sangat malu pada Mertuaku. Hidupku sudah tenang tanpa gangguan Ayah dan Mamih Yos sejak ada Satpam. Justru ujian datang aku merasa menjadi wanita yang tidak sempurna karena belum hamil.

Akupun ijin pada Suamiku, agar aku di perbolehkan mengajar, aku ingin ilmuku berguna dan bisa diamalkan, mungkin karena merasa sudah aman dan tidak ada gangguan untukku, Usman mengijinkan aku bekerja.

Saat ada pendaftaran lowongan PNS, aku langsung ikut daftar dan ujian, dan aku berhasil lulus dan resmi menjadi Guru di SMP Negeri, bukan sebagai guru Honorer lagi.

Kami semakin sama-sama sibuk, dengan ilmu dan pengalaman, semakin aku dewasa mengerti arti kehidupan, semuanya sempurna, harta dan suami yang baik sudah aku miliki. Hanya anak yang belum aku miliki.

Saat malam aku memeriksa lembaran tugas murid, aku mendengar Suamiku sedang bicara dengan seseorang sambil tertawa, aku tersentak saat dia panggil "Sis", aku langsung mendekati Usman, dan dia langsung memandangiku, Usman langsung menutup ponselnya mengakhiri pembicaraannya.

"Siapa Mas?" tanyaku penasaran.

"Sekretarisku Vi... " jawab Usman singkat.

"Ngobrolnya asik sekali, Mas kan sedang libur, kenapa dia menghubungi Mas?" tanyaku cemburu.

"Dia bercerita tentang clien yang menggoda dia Vi," jawab Usman sambil merangkulku.

"Tapi tidak pantas Mas, bicara dengan wanita dan tertawa, apalagi jika bertemu langsung, Mas pasti akrab sekali ya? apa mungkin Mas sudah terbiasa melakukan itu, tertawa bersama Sekertarismu?" tanyaku kesal.

"Vi? kamu cemburu dengan sekretarisku?" tanya Usman menatapku dalam.

"Bukan masalah cemburu Mas, tapi tidak pantas terlalu ramah pada wanita! meskipun dia Sekertarismu, kalau aku teleponan dengan pria lain dan tertawa, apakah Mas ijinkan?" jawabku ketus.

"Jangan Vi, masa kamu mau teleponan sama pria, Mas hajar nanti pria itu!" ucap Usman cemburu.

"Berarti aku juga bisa menghajar Sekertarismu ya Mas?" balasku.

"Vi... Vi... tunggu, kamu cemburu atau mau membalas? sudah pintar ya sekarang... " tanya Usman terkejut dengan ucapanku.

"Bukan masalah pintar Mas, di telepon saja begitu, apalagi saat berdekatan, mungkin dia bisa naksir sama Mas," jawabku sinis

"Hahaha, Vi? ya tidak mungkin dia naksir Mas, dia tahu Mas sudah punya istri yang cantik dan soleha," jawab Usman mengelak.

"Ya, namanya juga sering bertemu, siapa tahu dia naksir kamu Mas, tapi kamu tidak menyadarinya!" sindirku dan berlalu meninggakan Usman.

Usman memandangku, aku cuek saja sambil memeriksa tugas murid sampai selesai. Setelah memeriksa tugas muridku, aku langsung tidur dan membelakangi Usman.

"Bu Guru... kalau istri tidak menawarkan suami ehem ehem dosa gak?" tanya Usman.

Aku berpikir sejenak, aku Guru Agama, malu sekali jika ilmuku tidak bisa diterapkan di rumah sendiri, aku langsung bangun dan duduk menjawab pertanyaan Usman.

"Mas mau nyuruh apa? butuh apa? ada yang bisa aku lakukan? butuh bantuan apa?" tanyaku masih jengkel.

Usman memandangiku dan tersenyum, aku merasa risih sekali jika Usman memandangiku, rasanya malu, aku pura-pura melihat ke samping.

"Aku butuh dipeluk istriku yang cantik, kalau marah tambah cantik, tambah gemesin... " jawab Usman merayu.

"Ya, Mas! kalau begitu biar aku tambah cantik, aku marah saja, kalau tidak marah jelek kan?" tanyaku kesal.

Usman langsung tertawa dan bangun, Usman langsung memelukku, dia merayuku dengan gombalannya.

"Vi... marahmu lucu, Mas baru tahu cemburumu seperti ini, Mas gak akan selingkuh Vi, Mas sudah janji akan selalu setia," rayu Usman.

Entahlah kenapa aku begitu cemburu pada sekertarisnya, akupun mengusulkan permintaan pada Usman.

"Mas, ganti saja sekertarisnya jangan perempuan, tapi laki-laki Mas!" pintaku serius.

"Ya nanti Mas pikirkan, kalau memang dia mengganggu pikiranmu, Mas nanti akan pindahkan dia, senyum dong, masa jarang ketemu kok marah?" jawab Usman sambil membelaiku.

Aku sedikit lega, aku berharap Usman bisa menepati janjinya. Lusanya Usman harus pergi lagi untuk tugas. Akupun beraktifitas seperti biasa, aku sudah bisa mengendarai motor sendiri, tanpa di antar, karena beberapa tahun merasa sudah aman dan tidak pernah di ganggu Ayah ataupun Sari.

Saat melintasi jalan, aku melihat tukang beca tergopoh-gopoh sedang mengayuh dan membawa penumpang. Badannya kurus dan memakai caping, saat aku melewati dibelokan, aku sempat melihat wajahnya dan aku terkejut, wajah itu tidak asing dia Ayahku.

***

Azab Penjual PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang