Kakakku yang pertama sudah memiliki kekasih, namanya Sari, Ibu sebenarnya kurang menyukai Sari karena penampilannya yang menor dan berpakaian ketat. Tapi Ibu tidak enak hati mengutarakannya pada Kakakku.
Kakakku terlihat sangat mencintai Sari dan ingin menikahinya. Sari memiliki adik laki-laki, namanya Bowo. Saat aku ikut lamaran ke keluarga Sari, Bowo terus menatapku.
Aku merasa risih dan ingin cepat pulang, ingin sekali saat itu Usman berada di sampingku, agar tidak ada yang berani memandangku.Kakakku langsung merencanakan pernikahannya dua bulan lagi.
Singkat cerita, saat Kakakku yang kedua, membagikan undangan ke warga tempat rumahku dulu, Kakakku sempat menengok rumah, ternyata di rumahku yang dulu sudah kosong. Menurut tetangga, Mamih Yos sudah tidak tinggal di rumah itu, karena kerap kali diganggu mahluk halus.
Mamih Yos sudah di cap gila karena berkeliaran di jalanan, warga meminta Kakakku agar rumah ada yang huni, supaya tidak semakin angker.
Pernikahan Kakakku sudah dilaksanakan, sudah tujuh bulan Usman belum datang, dan tidak bisa menghadiri pesta pernikahan Kakakku, Ibu mertuaku datang dan menginap. Ibu mertua mengajakku bicara saat itu dan menasehatiku.
"Vi... kalau Kakakmu sudah menikah, nanti sebaiknya pisah rumah, karena dia sudah berumah tangga, tidak baik kalau kumpul semua di rumah ini, Vi," nasehat Ibu mertua.
"Iya Bu, nanti aku beritahu Kakakku," jawabku sopan
Tapi setelah pernikahan Kakakku, dan membawa Sari, Kakak Iparku hanya ingin tinggal bersamaku, aku tidak enak hati jika membicarakan masalah tempat tinggal pada Kakak. Aku cerita pada Ibuku harus bagaimana bersikap."Bu, gimana caranya bicara pada Kakak, supaya bisa hidup mandiri Bu," keluhku.
"Iya Vi, Ibu juga tidak suka dengan gayanya Sari, lagaknya seperti rumah sendiri saja, dan sering membawa keluarganya ke sini, tapi Ibu tidak enak dengan Kakakmu, Vi!" jawab Ibu.
Kami menjadi terganggu, apalagi Bowo sering main dan seenaknya menginap di rumahku. Malam itu genap 10 bulan Usman pergi, keluarga Sari datang termasuk Bowo dan menginap. Rasanya aku tidak enak pada Kakakku, ingin membicarakan agar jangan terlalu sering keluarganya Sari datang, apalagi Bowo yang sering menggodaku dan sering menginap.
Aku mengurung diri di kamar, aku pandangi poto pernikahanku dengan Usman, aku peluk dan aku cium sampai aku terlelap tidur, saat aku tidur rupanya Usman datang tanpa mengabariku terlebih dahulu. Usman membawa kunci duplikat dan langsung masuk kamar. Usman memandangi dan menciumku sampai aku terbangun dan aku terkejut. Aku tepuk pipiku apakah ini mimpi atau tidak, tapi Usman langsung memelukku dan berbisik.
"Mas kangen sekali Vi... " bisik Usman.
Rasa yang tidak bisa di bayangkan malam itu, suamiku tiba-tiba datang.
"Aku juga kangen Mas," balasku pelan.
Kami melepas pelukan, karena ada yang mengganjal di antara dada kami, ternyata foto pernikahan kami yang di bungkus vigura, Usman langsung menggodaku.
"Rupanya ada yang kangen Mas, sampai tidurpun foto di peluk," goda Usman.
Aku tersenyum dan tersipu malu, aku jatuhkan kepalaku di pundak suamiku. Usman langsung bertanya tentang Bowo.
"Vi, siapa pria-pria, yang ada di ruang tengah?" tanya Usman."Dia Bowo, Mas! adiknya Sari istri Kakakku," jawabku.
Usman tidak banyak bertanya lagi, Usman langsung berdiri dan ingin mandi. Aku memakai hijab dan keluar kamar untuk membuatkan teh hangat untuk suamiku. Tapi saat aku lewat di ruang tengah Bowo menyindirku.
"Sepertinya malam ini, ada yang mau kelonan nih, enak nih!" sindir Bowo.
Rasanya muak sekali mendengar ucapan Bowo, Usman rupanya menyusulku dan mendengar perkataan Bowo, langsung merangkulku dan menuju kamar."Vi, kenapa keluar dari kamar?" tanya Usman.
"Aku ingin membuatkan minuman untuk Mas," jawabku polos.
"Tidak perlu Vi, biar Mas saja yang buat, di luar banyak pria, lain kali kalau ada pria lain jangan keluar kamar, ya?" ucap Usman."Iya Mas," jawabku singkat.
Usman membuka Tas dan mengeluarkan barang oleh-oleh untukku, Usman memberikan Ponsel dari luar Negri dan baju yang indah. Tahun itu sudah tidak asing sudah musim Hand Phone walau harganya masih tinggi dan hanya orang-orang tertentu yang memilikinya.
Kami malam itu tidur sambil berpelukan tanpa melakukan apa-apa, Usman terlihat sangat lelah, dia langsung tidur, justru malam itu aku tidak bisa tidur, aku terus memandangi suamiku, rasa bahagia yang tak terhingga berada di samping suamiku, justru aku memikirkan saat Usman kembali bertugas, sanggupkah aku melepaskannya lagi.
Ingin sekali membelai rambut dan keningnya, tapi aku takut Usman terbangun, di ruang tengah samar-samar aku mendengar suara Bowo dan temannya tertawa. Aku merasa terganggu dengan kejadiran Bowo.
Esok paginya Usman keluar dari kamar, menemui Ibuku dan memberi salam. Ibuku terkejut dengan kedatangan Usman. Adikku langsung salam dan mengajaknya ngobrol.Kakakku ikut menyambut Usman. Saat Usman sedang di teras bersama Adikku, aku dan Ibu masak, Ibuku berbisik.
"Sudah nikah kok malas sekali, bangun siang, tidak pernah membantu masak, atau nyuci, bisa-bisanya Kakakmu menikah dengan wanita seperti itu!" bisik Ibu.
"Bu, akupun tidak suka dengan adiknya, si Bowo, dia sering menggodaku Bu," balasku berbisik.
"Ibu harus bicara dengan Kakakmu, ini tidak bisa di biarkan, kalau begini terus!" ucap Ibu sangat pelan.
Kami berhenti bicara karena Sari sudah bangun dan menghampiri kami, dan menyapa kami.
"Bu, sudah matangkah masakannya? aku lapar Bu!" tanya Sari.
Ibuku tumben sekali tidak menjawab, dan hanya cemberut, aku tidak enak hati dan mewakili Ibu menjawab."Belum matang Mbak," ucapku gugup.
Aku baru sadar melihat Sari memakai celana pendek ketat dan kaos ketat dengan dandanan menor.
"Vi, katanya suamimu datang dari Luar Negri? mana dia?" tanya Sari.
"Sedang di teras, bermain dengan Adik-adikku," jawabku santai.
Sari langsung meninggalkan kami dan menuju teras, Ibu langsung memberi peringatan untukku.
"Sudah sana susul ke depan! temani Suamimu, biar Ibu yang masak, nanti Sari menggoda Suamimu! Pakaiannya saja begitu, memalukan!" bisik Ibu.
Aku menuruti perintah Ibu, aku melangkah ke depan, aku melihat Bowo masih tidur dengan teman-temannya di ruang tengah, di atas permadani. Aku muak sekali melihatnya, aku melihat dari kaca jendela depan, Sari duduk di depan suamiku, hatiku terasa panas campur aduk menahan marah. Tapi aku melihat Usman langsung berdiri dan meninggalkan Sari, aku terdiam di kamar tamu sambil cemberut. Usman masuk dan melihatku langsung merangkulku dan membawaku masuk ke kamar.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Azab Penjual Perawan
Non-FictionKisah nyata untuk dewasa Jangan lupa follow, komentar dan bintangnya. Terimakasih Salam hangat Mamah Ranggi