Entah kenapa aku jadi kurang percaya diri malam itu, aku menuju meja rias, aku buka kerudungku dan aku menyisir rambutku, aku memandangi wajahku sendiri cantikkah aku?
Aku melihat bajuku, benarkah aku seperti Nenek-nenek, aku berdiam duduk di depan cermin, aku tidak menyadari Usman terus memandangiku dari belakang, sampai Usman mengahampiriku dan memelukku dari belakang. Aku terkejut dan aku melihat wajah Usman dari cermin sedang tersenyum, tapi aku masih cemberut. Usman menggodaku dengan pertanyaan.
"Masih marah Vi? kalau marah tambah cantik," rayu Usman.
Entah aku merasa tersanjung atau senang di bilang cantik, aku masih terngiang di telinga, mengingat ucapan Sari, akupun beranikan bertanya pada Usman.
"Mas, kata Sari pakaianku seperti Nenek-nenek, bajunya gombrang, benarkah? jelekkah aku, Mas?" tanyaku penasaran.
Usman langsung melepaskan pelukan dan menggeser tubuhku menghadap Usman.
"Vi... jangan pernah mendengarkan orang yang iri padamu, justru Mas akan marah jika melihatmu berpakaian ketat, jangan pernah melepas jilbabmu, ya?" jawab Usman sangat bijak."Iya Mas," ucapku malu.
"Ingat Vi, cuma Mas yang boleh melihatmu tidak berhijab, kamu cantik sekali Vi... " puji Usman.
Aku tambah tersipu malu, keraguanku sudah luluh dengan pujiannya, kami saling berpandangan, dan saat Usman akan menciumku, suara ketukan pintu terdengar dan Ibu memanggil.
"Vi... " panggil Ibu.
Usman langsung menyuruhku memakai jilbab, dan akupun keluar menemui Ibu. Ibu mengajak kami makan bersama, aku tidak melihat Sari dan Kakak. Saat kami makan, suara telepon berdering, aku bangun untuk angkat telepon, karena biasanya temanku yang menelepon. Saat aku angkat, aku sangat terkejut, karena ternyata Ayah yang menelepon."Ayah darimana tahu nomer telepon rumahku?" tanyaku heran.
"Dari Sari, Vi," jawab Ayah.
Aku sangat terkejut Ayah mendapatkan nomer telepon dari Sari, sejak kapan Ayah mengenal Sari? aku terdiam sesaat dan Ayahku bicara lagi.
"Vi... maafkan Ayah Vi, boleh Ayah pinjam uang, Vi? Ayah sakit Vi, Ayah mau periksa tidak punya uang Vi," ucap Ayah.
"Tidak Ayah! Ayah sangat kejam, Ayah sudah menipuku, dan Ayah sudah keterlaluan ingin menjualku pada pria lain, ingat Ayah! Aku sudah punya suami, tapi Ayah masih saja tega menipuku membawa ke tempat itu, aku tidak mau bicara dengan Ayah lagi!" ucapku marah.
Telepon langsung aku tutup, tapi saat aku hendak menuju meja makan, Usman sudah ada di belakangku dan memandangiku, aku tidak bisa berkutik terdiam dan terpaku berdiri.
Jantungku berdegup kencang, karena takut Usman marah, selama ini aku tidak jujur, tanganku gemetar, dan telepon berdering lagi membuat jantungku semakin kencang, Usman menghampiri telepon dan mengangkatnya, sesaat Usman terdiam dan lalu menjawab.
"Ingat Pak, sekali lagi Bapak mengganggu Evi, aku akan melaporkan Bapak ke Polisi!" ucap Usman marah.
Telepon langsung di tutup, aku masih terdiam dan gemetar, Usman langsung merangkulku dan membawaku ke kamar, dan di kamar aku duduk di sisi dipan.
"Kenapa tidak menceritakan semuanya pada, Mas? Mas suamimu, seharusnya kalau ada apa-apa, langsung bicara pada Mas!" tanya Usman sedikit kesal.
Aku semakin gemetar dan takut, dan tak kuasa menjawab pertanyaan Usman, aku langsung menangis. Usman melihatku menangis langsung memeluk dan menenangkan aku.
"Mas tidak marah Vi, Mas hanya mau Evi selalu terbuka, apapun masalahmu, jangan di pendam sendiri Vi," ucap Usman.
Aku masih terisak menangis, Usman mengusap air mataku dan membujukku untuk berhenti menangis.
"Vi... sudah jangan menangis, Mas tidak marah, apa Ayahmu menyakitimu? ceritakanlah Vi... " bujuk Usman.
Aku menceritakan perlakuan Ayahku sambil menangis, akupun mengatakan jujur kalau aku tidak mengatakan pada Ibu dan Kakakku, dan aku bilang pada Usman Ayahku mendapatkan nomer telepon dari Sari.Usman meninggalkan aku di kamar, Usman mencari Sari dan Kakakku, aku di kamar gelisah, aku menyusul suamiku, Usman mengetuk pintu kamar Kakakku dan yang keluar Sari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azab Penjual Perawan
Non-FictionKisah nyata untuk dewasa Jangan lupa follow, komentar dan bintangnya. Terimakasih Salam hangat Mamah Ranggi