Sedang revisi

1.9K 79 9
                                    

Tak kusangka akhir cinta yang suci berakhir seperti ini tanpa mendengar penjelasan yang sebenarnya. Hatiku teramat sakit dituduh selingkuh. Jiwaku terasa terbakar ketika mendengar tuduhan dan kata perpisahan, kenapa semua masalah harus di selesaikan dengan berburuk sangka dan berakhir berpisah.

Aku bisa saja membela diri saat itu, bahwa Ayahku sakit keras, tapi luka hati atas tuduhan Usman dan tidak mau mendengarkan penjelasanku dulu, aku berpikir bahwa aku telah salah menilai Usman laki-laki yang sempurna, yang bisa menyikapi masalah dengan tenang.

Rasa sakitku bertekad, bahwa aku harus mampu dan mandiri untuk menghidupi keluargaku, aku bertekad untuk membuktikan pada Usman bahwa uang bukan segalanya bisa dibeli, rasa sakitku hanya tercipta dalam satu malam dan aku bertekad melupakannya dalam hidupku.

Kakakku dan Ibuku tidak banyak bertanya, mungkin mereka sadar bahwa aku sekarang adalah tulang punggung keluarga, tidak menyangka sebaik Usman bisa dalam sekejap menceraikanku.

Keluargaku yang tadinya marah mulai menyadari, bahwa aku tidak melakukan kesalahan, apalagi tidak pernah melihat Ayahku muncul. Saat di Sekolah ketika murid istirahat, aku telepon Mamah Ranggi, aku menjelaskan masalahku dengan derai air mata.

Aku meminta Mamah Ranggi bertemu di Rumah sakit, aku akan membawa keluargaku, aku diam-diam tidak memberitahu keluargaku, bahwa Ayahku sekarat, aku meminta Mamah Ranggi menengahi keluargaku dan bisa menasehati keluargaku.

Mamah Ranggi bersedia membantu, apalagi sudah tiga hari Ayahku sekarat, Dokter hanya mengatakan Ayah koma.Dari jendela sekolah aku melihat ke luar gerbang, aku melihat Satpam rumah berdiri di samping motornya, rupanya Usman tidak puas, diam-diam menyuruh Satpam untuk membuntutiku, tapi aku sudah tidak perduli lagi, aku sudah bertekad berpisah, terlalu sakit hati ini dituduh dan diceraikan.

Pulang mengajar aku langsung bicara pada Ibuku, Kakakku dan Adikku untuk mengantarkan aku ke Rumah sakit. Mereka sangat heran, tapi menuruti kemauanku.

Aku naik mobil angkutan umum, aku hapal betul motor yang dimiliki Satpam rumah Usman, aku hanya tersenyum ketir membiarkannya membututiku, aku tidak membahasnya dengan keluargaku.

Sampai di Rumah sakit rupanya Mamah Ranggi sudah menunggu, Kakakku langsung memberi salam, aku meminta ijin pada Dokter agar mengijinkan kami masuk karena kami ingin Ayahku tenang.

Dokter mengijinkan, saat aku bawa keluargaku masuk ke ruang, Ibu dan Kakakku terkejut melihat Ayah sedang ngorok di bantu alat-alat Rumah sakit.

"Ayah sudah sekarat selama tiga hari, selama ini aku pulang malam karena menemani Ayah, sebelum Ayah sekarat, Ayah berpesan ingin minta maaf pada Ibu dan Kakak juga Adik, aku mohon maafkan Ayah... " ucapku memohon dengan urai air mata.

"Semua manusia akan kembali pada Pemiliknya, manusia tidak luput dari salah dan khilaf, kita sebagai manusia, alangkah baiknya saling memaafkan, doakan agar mudah menghadap Allah, dan berdoalah semoga Allah mengampuni segala khilaf dan dosanya," ucap Mamah Ranggi menasehati.

Ibuku langsung menangis dan mendekati Ayahku, Ibu sangat terharu melihat Ayah terbaring.

"Pak... aku sudah memaafkanmu Pak, sadarlah Pak," ucap Ibu.

Kakakku yang dari tadi diam, matanya mulai berkaca-kaca, dan mendekati Ayah.

"Pak... maafkan aku Pak, aku pernah memakimu Pak... Aku sudah memaafkanmu Pak... " ucap Kakak menyesal.

Kakakku tidak tahan langsung menangis, Adikku hanya bisa menyalami Ayah dan menangis, semua tumpah menangis, bahkan Mamah Ranggipun matanya berkaca-kaca menahan tangisan.

Mamah Ranggi memintaku wudhu dan membaca surat Yasin. Mamah Ranggi langsung ambil botol yang sudah di bawa dari rumah berisi air, Mamah Ranggi membacakan kalimat Tauhid tiga kali.

"Laa Ilaha Illallah" (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ)

Bergantian Kakakku di perintah Mamah untuk membisikkan kalimat Tauhid di telinga Ayah dan meniupkan di telinga Ayah, setelah membaca Doa, Mamah meniupkan doa di air, Mamah Ranggi menghadapkan Ayah kepalanya ke Kiblat dan mengusapkan air tersebut tiga kali, mengusapkan ke kepala dan tangannya juga kakinya.

Setelah selesai Mamah Ranggi berdoa, dan saat itu Suster masuk ruangan kamar Ayah, kami di suruh keluar semua karena Ayah mau di periksa, Dokter langsung masuk ruangan, kami di luar menunggu hasil periksa Dokter. Mamah Ranggi langsung pamit dan berpesan.

"Jika nanti memang sudah Takdir, kamu harus kuat dan sabar ya, saat membuka baju Ayahmu harus sangat pelan, kalau mau memandikan harus pelan dan halus ya, Mamah pulang dulu," pesan Mamah Ranggi.

Akupun berterimakasih pada Mamah Ranggi, tapi aku tidak tahu maksud Mamah Ranggi, mengganti pakaian Ayah dan memandikan. Setelah Mamah Ranggi pulang, Dokter keluar dan memberitahu kami.

"Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin, mungkin sudah Takdir, sekarang Ayahmu sudah tenang, Ayahmu sudah meninggal dunia, harus sabar ya, saya permisi," ucap Dokter.

Mendengar Ayah meninggal, pecahlah tangisan kami, sangat berat cobaanku, di tinggal Ayahku yang sudah mulai berubah dan dicerai suamiku. Sekujur tubuhku lemas dan gemetar, Ibu memelukku dan menasehatiku agar sabar.

Banyaknya kesalahan yang di lakukan Ayah terhadapku, bisa terhapus dan termaafkan di hatiku karena penyesalan Ayahku.Tapi banyaknya kebaikan yang dilakukan Usman terhadapku, semua terasa telah terhapus karena kata talak dan tuduhannya, dan hatiku seperti tidak bisa memaafkan.

Hidup memang aneh, hati memang aneh, cepat sekali berubah-ubah rasanya. Begitu berita Ayahku telah berpulang, rasa benciku terhadap Usman semakin dalam. Andai saja ada luang dia mau mendengarkan alasanku, seharusnya dia bisa memaklumi, tapi tuduhannya terhadapku dan Ayahku masih terngiang di telingaku.

***

Azab Penjual PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang