Sedang revisi

1.8K 75 2
                                    

Sampai rumah aku langsung masuk kamar, Ibuku langsung menghampiriku dan menyampaikan pesan Usman.

"Vi, tadi Usman telepon, kalau kamu sudah sampai Ibu disuruh mengabarinya," ucap Ibu.

"Iya Bu, nanti aku langsung hubungi Usman," jawabku singkat.

Ibuku percaya begitu saja, aku mendekati telpon rumah, dan aku cabut kabel telepon. Di kamar tak henti-henti aku menangis dan memaki Usman.

"Tega sekali kamu Mas! tega sekali menghianati aku!" teriakku dalam hati.

Tidak ada lagi yang bisa aku ajak ngobrol tentang masalah ini, akupun langsung keluar ingin menemui Mamah Ranggi. Dalam perjalanan aku berhenti, aku meihat Ayah duduk sambil memegangi dadanya. Aku berhenti dan menghampiri Ayahku.

"Ayah? kenapa Ayah di sini?" tanyaku cemas.

Wajah Ayah sangat pucat, dan menahan sakit.

"Tidak apa-apa Vi, Ayah cuma istirahat sebentar Vi," jawab Ayah menahan sakit.

Tapi aku tidak percaya, aku melihat Ayah seperti kesakitan. Akupun mengajak Ayahku untuk periksa ke Dokter.

"Ayah ayo kita ke Dokter, Ayah harus diperiksa," ajakku memaksa.

"Tidak apa-apa Vi, nanti juga sembuh sendiri, Ayah juga tidak enak bawa becak Vi, nanti ada yang mencuri kalau di tinggal," jawab Ayah.

Tapi aku tidak tega meninggalkan Ayahku seperti itu, keringat Ayahku sudah bercucuran akupun memaksa Ayahku.

"Ayah, becaknya di gembok saja Ayah, atau suruh orang mengantarkan, nanti aku yang bayar, Ayo Ayah aku antar," ajakku memaksa.

Beberapa tukang becak yang mangkal mendekati Ayahku dan menyapa.

"Kenapa Mang, kambuh lagi ya sakitnya? istirahat saja dulu pulang, kamu masuk angin tuh, siang malam tidur di becak," ucap salah satu tukang becak.

Aku mendengarnya sangat terkejut mendengar Ayah tidur siang malam di becak. Akupun langsung meminta bantuan teman Ayah yang sama-sama tukang becak.

"Pak bisa aku minta tolong? antarkan Ayahku ke Rumah sakit yang dekat, nanti aku yang bayar, kalau aku bonceng pakai motor, takutnya Ayahku tidak kuat, tolong titip becak Ayah, nanti aku bayar," pintaku pada teman Ayah.

"Kamu anaknya?" tanya teman Ayah.

"Iya Pak," jawabku.

Ayahku yang sudah lemas langsung dinaikkan ke becak dan menuju Rumah sakit. Ayahku langsung di tangani Dokter. Aku menunggu diruangan Ayah dirawat. Aku duduk di samping Ayah, tak terasa waktu sudah larut malam. Ayahku berlinang air mata memegang tanganku.

"Vi... kamu anak yang baik, Ayah minta maaf Vi," ucap Ayah dengan bibir gemetar.

"Aku sudah memaafkan Ayah, sekarang Ayah istirahat dan di rawat supaya sembuh," ucapku menenangkan Ayah.

"Vi... Ayah tidak mau mati seperti Mamih Yos... " ucap Ayah mulai menangis.

"Apa? Mamih Yos meninggal Ayah?" tanyaku terkejut.

"Iya Vi, Mamih Yos sudah meninggal, kakinya hilang separuh, di gerogoti borok Vi, banyak belatung di boroknya, bahkan saat di kafani bau amis dan bangkai masih tercium, banyak belatung keluar dari kafannya Vi, Ayah takut Vi, apa itu karena Dosa Mamih Yos Vi? maafkan Ayah Vi," jawab Ayah dengan linang air mata.

Ayahku menangis sesenggukan, akupun ikut menangis tak kuasa mendengar penyesalan Ayahku.

"Ayah... Mbak Sari khabarnya bagaimana?" tanyaku penasaran.

"Ayah tidak tahu Vi, terakhir Ayah ketemu saat pemakaman Mamih Yos, dia sakit dan terus mengeluarkan darah dan nanah setelah menggugurkan kandungannya Vi, Ayah tidak tahu lagi di mana dia sekarang, dosa Ayah banyak Vi, Ayah menyesal, Ayah ingin sekali meminta maaf pada Ibumu dan Kakakmu, tapi mungkin tiada maaf lagi buat Ayah dari mereka," ucap Ayah menyesal.

Sedih sekali rasanya mendengar pengakuan Ayahku, meskipun sudah terlambat menyadari, setidaknya doaku terkabul untuk Ayah, agar diberi hidayah. Dokter menghampiriku, hasil lab baru di ketahui besok atau lusa.

Aku ingin pulang tapi aku tidak tega meninggalkan Ayahku, ingin menghubungi Ibu, aku ingat kabel telepon aku cabut. Ayahku di infus tangan kanan dan kiri, Ayahku mulai diberi alat bantu nafas karena mendadak sesak nafas.

Ayah... Dulu kau begitu menakutkan...
Ayah... Dulu kau begitu kejam...
Hari ini di depanku engkau tidak berdaya Ayah...
Aku memaafkanmu Ayah...
Jika tidak ada Ayah, mungkin aku tidak terlahir ke dunia ini...
Aku akan terus berdoa untuk Ayah...
Semoga Allah membuka pintu maafNya untukmu Ayah...

Airmataku terus mengalir dan tak terasa, untuk pertama kalinya aku tidur di samping Ayahku, meskipun aku tidur sambil duduk. Dalam hatiku berjanji, "Aku akan selalu menemani Ayah, dan membimbingmu Ayah... "

Saat menjelang subuh aku terbangun, aku merasakan belaian tangan di kepalaku, rupanya Ayahku mengelus kepalaku, aku bangun dan memandangi Ayahku berurai air mata, Ayahku menasehati.

"Pulanglah Vi... nanti Ibu dan Kakakmu khawatir, Ayah tidak mau mereka marah sama kamu gara-gara merawat Ayah, pulanglah," ucap Ayah.

"Ayah, aku pulang dulu, nanti saat aku pulang mengajar aku jenguk Ayah lagi," ucapku sambil menggenggam tangan Ayah.

Ayahku tersenyum, pertama kalinya aku melihat senyum manis Ayah, akupun pamit pulang. Di perjalanan aku sudah berpikir Ibu dan Kakakku pasti marah, aku sudah tidak perduli lagi, hatiku sudah teramat hancur melihat Usman duduk berhadapan dengan wanita lain.

Sampai rumah aku terkejut, mobil Usman terparkir di depan rumah, aku sudah tidak merasakan lagi, apakah aku senang atau bahagia, rasanya sudah hambar. Di ruang tamu Ibu dan Kakakku langsung menanyaiku bertubi tubi, dan aku hanya acuh saja, aku masuk ke kamar dan melihat Usman selesai sholat, aku langsung mandi dan sholat. Selesai sholat aku siap-siap dengan seragam kerjaku, Usman langsung bicara ketus.

"Jadi seperti ini istri keluar rumah tanpa pamit suami, Ibu dan Kakak?" tanya Usman marah.

"Aku minta maaf," jawabku ketus.

Aku masih cemberut dan ketika hendak keluar kamar, Usman langsung menghalangiku.

"Mas tanya dari mana semalam?!" tanya Usman marah.

"Aku menemani Ayah," jawabku jujur.

"Jadi kamu lebih memilih menemani Ayahmu, yang sudah menjual kamu, dan menipumu, daripada menemani Ibu dan Kakakmu?! dan kamu tidak mau mendengarkan nasehat Kakakmu!" bentak Usman.

Rasanya kecewa sekali Usman membuka aib lama Ayahku, hatiku terasa terbakar.

"Maaf Mas, bagaimanapun dia adalah Ayahku, dan aku anaknya bertanggung jawab membantu Ayahku yang sedang menderita!" jawabku lantang.

"Mas tidak mau memberikan uang pada Ayahmu! Ayahmu yang malas dan sering menipu, jadi jangan buang uang untuk memberikan pada Ayahmu!" ucap Usman tegas.

Sakit sekali rasanya mendengar tentang uang, aku langsung mengeluarkan dompet dan mengambil ATM, aku langsung ambil buku tabungan di lemari dan aku berikan pada Usman.

"Ini Mas, ATM dan buku tabungan, aku tidak menggunakannya, selama ini aku pakai uangku sendiri, kalau hanya gara-gara uangmu, aku tidak boleh membantu Ayahku, ini ambillah semua," ucapku menyodorkan Atm dan buku tabungan ke tangan Usman.

Aku pergi meninggalkan Usman, aku tidak peduli Usman marah. Usman wajahnya tegang, sangat heran melihat sikapku. Dadaku sangat sesak, dalam perjalanan tak terasa air mataku terus mengalir, tak kusangka Usman mengungkit uangnya.

***

Azab Penjual PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang