Mungkin benar kata Mamah Ranggi, kurang komunikasi dan masalah sepele. Akupun pamit pada Mamah Ranggi dan memeluknya erat, aku menangis mengucapkan terimakasih karena selalu membuatku tenang.
Saat aku pulang, Usman dan keluarganya masih berkumpul, Usman tidak henti-henti memandang wajahku, keluarga Usman tidak tahu masalah kami.
"Vi... kalau sudah selesai di sini pulang yuk, masa Ibu tidak ditemani menantu saat Ibu menginap," ajak Ibu mertua.
"Iya Bu," jawabku singkat.
Aku langsung masuk kamar untuk mengambil tas, Usman menyusulku ke kamar.
"Vi... terimakasih sudah mengabulkan permintaan Ibuku, Mas minta maaf, Mas tidak mau berpisah denganmu Vi," bisik Usman memohon.
Aku tidak menjawab dan memalingkan muka, aku tidak tahan mendengar ucapannya "tidak mau berpisah denganmu", air mataku mengalir karena terharu, pikiranku langsung normal dan berpikir, "kalau Usman tidak mencintaiku tidak mungkin dia mengucapkan itu," ucapku dalam hati.
Usman langsung memohon pada Ibu dan Kakakku untuk ikut pulang. Akhirnya Ibu dan Kakakku ikut pulang. Keluarga Usman melihat air mataku mengira masih sedih dengan kepergian Ayahku.
Sampai di rumah besar, aku langsung masuk kamar. Aku duduk di sisi tempat tidur, Usman langsung menghampiriku dan berjongkok di hadapanku dengan mata berkaca-kaca.
"Vi... Mas minta maaf, Mas tidak mau berpisah denganmu, tolong maafkan Mas, Mas khilaf, Mas salah... tolong maafkan aku Vi," ucap Usman memohon.
Bibirku tak mampu bicara mendengar permohonannya, aku hanya bisa menangis dan menangis, Usman mengusap air mataku dan terus meminta maaf."Kenapa tidak mau berpisah Mas, apa karena malu keluargamu datang?" tanyaku.
"Vi... Mas salah, Mas sadar... Mas telah menyia-nyiakan kepercayaan dan kebaikanmu, hatimu sangat mulia Vi, tidak ada wanita sebaik kamu di mata Mas, maafkan Mas, Mas janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi, Mas menyesal Vi, Mas terlalu cemburu dan khilaf," jawab Usman dengan derai air mata.
Aku hanya mengangguk tak bisa berkata apa-apa, pertama kalinya aku melihat Usman menangis hanya karena takut kehilanganku. Mataku sangat sepet terlalu banyak menangis, aku rebahkan tubuhku di kasur, Usman menyelimutiku dan duduk di sampingku sampai aku tertidur.Setelah kepergian Ayahku, kehidupan kami normal kembali, ternyata Lisa memang sudah bukan sekretaris Usman, dia bertemu siang itu karena hanya kebetulan saja. Dan setelah tiga bulan kepergian Ayahku, aku di beri amanah oleh Allah, aku di nyatakan hamil.
Singkat cerita aku memiliki dua anak, semua Kakakku sudah menikah semua, Adikku melanjutkan kuliah.
Hidup memang jalannya tidak pernah mulus, selalu ada liku-likunya, namun dari kisah yang aku ceritakan di sini, aku memetik pelajaran, kalau kita selalu dekat dengan Allah, ketika ada bahaya yang menimpa kita, dengan doa kita, atas IjinNya pasti akan selamat dari marabahaya.
Manusia kadang lebih mudah menghakimi seseorang karena perbuatannya, padahal sesungguhnya apapun yang kita hadapi itu adalah bentuk ujian, agar kita selalu datang pada Allah dan memohon pada Allah agar memberi hidayah pada orang yang dzolim pada kita.
Aku sadar, lisan dan tulisan memaki seseorang tidak akan menuntaskan masalah. Berserah pada Allah itu adalah jalan yang paling tepat.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Azab Penjual Perawan
Non-FictionKisah nyata untuk dewasa Jangan lupa follow, komentar dan bintangnya. Terimakasih Salam hangat Mamah Ranggi