Sedang revisi

1.9K 60 0
                                    

Malam itu kami semua bahagia di beri rejeki yang berlimpah, tapi malam itu malam kesedihan buatku, Usman mengatakan maksud niatnya, ingin meninggalkan aku dalam waktu lama.

"Vi, Mas sudah terlanjur tanda tangani kontrak kerja, mungkin Mas jarang pulang, 6 atau 10 bulan sekali, Mas baru bisa pulang, Mas di tugaskan di Luar Negri Vi... , tapi Mas akan telepon setiap hari, nanti orangtuaku, sering menengokmu ke sini, kalau Evi sudah selesai Kuliah, Evi bisa ikut kemana saja Mas pergi yah," ucap Usman sedih.


Seperti bom meledak terdengar di telingaku, selama itu kami akan berpisah, rasanya ingin menjerit, aku hanya bisa mengangguk tidak ada ucapan boleh atau tidak. Malam itu malam perpisahan, aku hanya diam, Usman berbaring dan tidur mungkin karena kelelahan. Aku pandangi wajahnya terus menerus dan tak terasa air mataku menetes, mungkinkan dia melakukan semua ini untuk membahagiakan aku?

Kenapa hanya untuk sebuah uang besar rela di tugaskan di Luar Negri. Aku baru menyadari tidak ingin berpisah dan kehilangan dirinya. Tapi aku bisa apa-apa, aku tidak cukup paham tentang pekerjaan Usman.

Pagi tiba, Usman siap-siap ingin pulang, aku di kamar duduk meratapi perpisahan, aku tidak kuasa melepasnya. Usman mendekatiku dan memegang tanganku.

"Vi... jaga diri baik-baik, selama Mas pergi harus setia pada Mas, ya?" ucap Usman penuh kasih sayang.

Aku memandangi wajah Usman, dan tidak tahan airmataku keluar, dalam hatiku terus meronta dan mengaguminya.

"Aku tidak mungkin tidak setia Mas, mungkin tidak ada lagi laki-laki sebaik kamu, yang memperlakukan aku dengan sangat baik, aku janji akan selalu mencintaimu sampai ajal menjemputku," jerit hatiku.

"Vi... kok malah nangis? Mas salah bicara ya? jangan nangis Vi, nanti langkah Mas terasa berat meninggalkanmu, senyumlah Vi... " rayu Usman.

Aku tidak kuasa langsung memeluknya erat, Usman membalas pelukanku dengan erat, aku menangis dan aku beranikan bicara.

"Aku akan setia Mas, aku sayang Mas," isak tangisku pecah.

Usman memelukku erat dan mencium rambutku, Usman memegang kepalaku dan mencium keningku, Usman berjanji saat itu.

"Mas janji akan selalu setia, Mas janji tidak ada perempuan lain selainmu, Vi!" janji Usman.

Akupun mengangguk, Usman mencium pipi dan bibirku, pertama kalinya Usman mencium bibirku, rasa sedih berganti getaran yang hebat, tubuhku gemetar semua, jantungku berdegup kencang, aku biarkan Usman menciumku sepuasnya, sampai akhirnya Usman memelukku dan berbisik.

"Andai Evi sudah lulus kuliah, Mas akan melakukan kewajiban Mas sebagai Suami," bisik Usman.

Hatiku begitu luluh dan sangat kagum padanya, seandainya Usman memintanya saat itu, aku rela melayaninya. Tapi Usman selalu berpikir bahwa aku belum siap dan aku harus lulus kuliah, perasaan Usman menghargai perempuan sangat tinggi.

Mungkin itu hal mustahil dua insan yang sudah halal tidak melakukan kewajiban, tapi itulah kenyataannya, Usman menghargai dan menyayangi istri tanpa pamrih, Usman bisa mengendalikan nafsunya karena menjaga perasaanku yang mengira aku belum cukup usia.

Aku terlalu bodoh menyikapi keadaan, terlalu lugu untuk mengetahui urusan dunia dan seks. Dan mungkin itulah Kebesaran Allah, memberikan suami yang baik di balik musibah dan ujian yang selalu aku hadapi.

Kami melepas Usman pergi dengan derai air mata, Ibuku menenangkan aku, rumah semewah ini aku harus ditinggal Suamiku. Beberapa hari aku masih belum terima Usman pergi, setiap saat rasanya ingin mendengar suaranya. Tapi tiap Usman telepon, bibirku terkunci dan tidak bisa berkata apa-apa.

Kadang aku merenungi, sehebat apakah aku ini, secantik apakah aku ini sampai Usman jatuh cinta dan melakukan yang terbaik untukku dan keluargaku. Kadang aku merasa membutuhkan jawaban, apakah yang membuat Usman begitu menghormati dan menghargaiku. Saat aku melamun, Ibuku sudah siap ingin pergi dan aku bertanya pada Ibuku.

"Bu? mau kemana?" tanyaku.

"Ibu mau bayar arisan, Nak, sekalian melihat rumah Ibu, apa Mamih Yos masih di sana atau tidak," jawab Ibu.

Ibuku meninggalkan arisan sebelum pindah, dan Ibu belum mendapat giliran arisan, akupun langsung merangkul Ibu dan merayu.

"Bu aku ikut ya?" ucapku manja.

"Tidak usah ikut! nanti kamu melihat Mamih Yos, ketakutan! di rumah saja, ingat pesan Suamimu, selain kuliah tidak boleh kemana-mana," jawab Ibu.

Akhirnya aku tidak ikut, Ibupun berangkat bersama Adikku, aku di rumah kesepian, Kakakku asik mainan komputer, rasanya menunggu Ibu lama sekali, sampai 4 jam menjelang Maghrib Ibu baru pulang. Ibu langsung duduk dan terdiam.

"Bu... ada apa Bu? kenapa Ibu diam?" tanyaku heran.

"Rumah kita Vi," jawab Ibu sedih.

"Rumah kita kenapa Bu?" tanyaku terkejut.

"Kata orang-orang di sana, sejak kita pindah dan rumah dihuni Mamih Yos, rumah itu angker! bahkan Mamih Yos katanya suka tertawa sendiri dan teriak-teriak, Vi!" jawab Ibu sedih.

"Bu? Kenapa bisa begitu?" tanyaku heran.

"Entahlah, tapi kata tetangga yang sudah tanya orang pintar, itu karena Mila anaknya Mamih Yos, tidak ikhlas pada Ibunya, tidak ada yang mendoakan dan tahlil, Mamih Yos melarang ada pengajian karena itu larangan dari dukun," jawab Ibu.

Sedih sekali aku mendengarnya, rumahku menjadi sarang mahluk halus, padahal rumah itu peninggalan dari Orangtua Ibuku. Dan Usman pernah janji suatu saat akan membangun rumahku.

***

Azab Penjual PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang