Sedang revisi

1.8K 62 1
                                    

Aku langsung berhenti dan menengok ke belakang, sangat sedih rasanya melihat Ayahku sekarang menjadi tukang becak. Meskipun Ayah pernah berbuat jahat, hatiku teramat sedih melihatnya.

Aku banyak sedekah dan beramal, tapi kenapa Ayahku sendiri sengsara.Rasa kemanusiaanku timbul, akupun putar arah dan menyusul Ayahku. Pelan-pelan aku ikuti Ayahku dari belakang, tak terasa air mataku mengalir, aku melihat Ayah mengayuh bukan jarak yang dekat. Sesekali Ayahku mengusap keningnya yang berkeringat.

Aku mampir ke warung yang berada di pinggir jalan, aku membeli minuman, aku susul kembali Ayahku, aku tidak perduli apakah aku sudah terlambat mengajar atau belum.

Setelah begitu lama aku mengikuti, akhirnya Ayahku berhenti dan penumpang turun dan memberi uang 3000 rupiah, Ayahku langsung mengantongi uang itu dan mengelap keringatnya. Aku langsung mendekati Ayahku dan menyapanya.

"Ayah... " sapaku sedih.

"Vi... " jawab Ayah terkejut.

Aku memberikan minuman pada Ayah, dan Ayah langsung meminumnya. Aku langsung ambil dompet dan mengeluarkan uang dan aku berikan pada Ayahku.

"Ayah... ini untuk Ayah," ucapku menyodorkan uang.

Ayahku memandangi uang itu, dan tiba-tiba menangis, aku tak kuasa ikut menangis. Ayahku langsung bicara sambil menangis.

"Kamu tidak marah sama Ayah Vi?" tanya Ayah sedih.

Aku tidak kuasa menjawabnya, wajah Ayah sangat pucat dan kurus, bajunya kumal, aku hanya bisa membujuk Ayah.

"Terimalah Ayah, aku ikhlas Ayah," jawabku pelan.

Aku langsung memasukkan uang ke dalam kantong baju Ayahku. Aku langsung pamit dan salam pada Ayahku.

"Ayah... aku kerja dulu Ayah, aku harus mengajar," ucapku pamit.

Ayahku tidak menjawab, hanya menunduk sambil menitikkan air mata. Sepanjang jalan air mataku tumpah, inikah balasan dariMu ya Allah, Ayah yang biasa memegang uang banyak, dan selalu bersenang-senang, kini mencari nafkah dengan menjadi tukang becak. Tak henti-henti aku berpikir dan mengeluh dalam hatiku.

"Bijakkah aku Ya Allah... Aku bergelimang harta sedangkan, Ayahku menderita? apa yang harus aku lakukan ya Allah... "

Pulang mengajar, saat aku sudah di rumah, aku tidak berani cerita pada Ibu dan Kakakku. Aku takut mereka khawatir, aku terdiam di kamar dan aku langsung ingat Mamah Ranggi, aku lebih baik curhat pada Mamah Ranggi tentang pertemuanku dengan Ayah.

Aku ingin meminta pendapat Mamah Ranggi, bagaimana aku harus bersikap pada Ayahku yang kini sedang sengsara, apakah aku harus diam saja, ataukah aku harus membantu. Aku mencoba menelepon Mamah Ranggi dan aku langsung memberi salam dan bertanya.

"Mah... maaf aku mengganggu Mamah lagi, aku hanya ingin minta pendapat, aku harus bagaimana menghadapi Ayahku Mah? sekarang Ayah menderita, dan jadi tukang becak," ucapku dalam telepon.

"Bagaimanapun dia Ayahmu, berdoalah terus agar Ayahmu mendapat hidayah, kalau mampu membimbing, coba beri nasehat langsung pada Ayahmu, kalau Ayahmu tidak mau mendengar ya harus sabar... Kalau Evi ingin membantu Ayahmu itu lebih bagus, karena menyenangkan orangtua itu pahala buat anak, yang terpenting jika Ayahmu masih menyuruhmu berbuat maksiat, kamu harus tegas menolak," jawab Mamah Ranggi.

Aku mendengar nasehat Mamah Ranggi sangat puas, meskipun obrolan kami singkat, aku berterimakasih pada Mamah Ranggi. Esoknya saat aku hendak berangkat ngajar aku di ruang tamu memakai sepatu, aku melihat Satpam dari jauh sedang mengusir seseorang, Kakakku yang hendak mengantar Ibu ke pasar langsung memaki.

"Pergi dari sini! mau apalagi datang ke sini!" hardik Kakak.

Aku penasaran buru-buru keluar, aku mendekati Kakakku sedang bicara dengan seseorang, aku terkejut ternyata dia Ayahku. Saat Ayah melihatku, Ayah langsung memanggilku.

"Vi... ini Vi... Ayah cuma mau kasih ini Vi, boneka Vi, Ayah dulu tidak pernah memberikan boneka kesukaanmu Vi.." teriak Ayah memanggil.

"Bawa saja pulang! tidak butuh boneka itu! Evi bisa membeli sendiri!" bentak Kakak.

Aku mendekati Ayahku, tanganku di tarik Kakak Pertamaku, mungkin Kakakku dendam pada Ayahku, karena dulu Ayah pernah bercumbu dengan Sari, aku langsung tepis tangan Kakakku.

"Kak! tolong biarkan Ayah menemuiku, kalau Ayah jahat, kita tidak sepatutnya membalas Ayah, bagaimanapun dia Ayah kita, Kak!" ucapku tegas.

Aku mendekati Ayahku, mataku tidak bisa dibendung ingin menangis. Ayahku menyerahkan boneka kecil sambil bicara dengan bibir gemetar.

"Maafkan Ayah Vi, cuma ini yang bisa Ayah beri, Ayah pamit dulu," ucap Ayah gemetar.

"Terimakasih Ayah," ucapku sangat sedih.

Aku pandangi Ayahku berlalu menyebrangi jalan dan membawa becak, Ibuku terpaku diam tidak bicara, Kakakku langsung memarahiku.

"Vi! jangan tertipu lagi dengan Ayahmu! Jangan-jangan kamu di guna-guna lagi sama Ayah!" ujar Kakak.

Aku tidak menjawab ucapan Kakakku, aku berlalu meninggalkannya dan aku langsung berangkat kerja. Rupanya Kakakku mengadukan kehadiran Ayahku pada Usman, dan Usman langsung meneleponku saat aku mengajar, tapi tidak aku angkat. Selesai mengajar, setelah istirahat ada rapat Guru.

Aku mengabaikan panggilan Usman, sudah puluhan kali Usman telepon, tapi aku tidak mendengarnya, karena nada ponsel aku matikan. Selesai rapat para Guru, aku diajak sesama Guru untuk mampir ke Mall, karena kebetulan ada discount besar-besaran, dan membuat kami ingin melihat barang-barang yang di discount.

Akupun ikut dan belanja, tak terasa waktupun menjelang magrib aku pulang. Ketika satpam membukakan pagar, aku terkejut melihat mobil Usman, biasanya empat hari lagi Usman pulang, tapi Usman pulang lebih cepat. Rasa bahagia tak terkira karena akan bertemu suamiku lagi.

Aku masuk memberi salam, rupanya Usman dan Ibu, juga Kakak ada di ruang tamu. Mereka melihatku seperti aneh, Usman memandangi belanjaanku dan berdiri mengajakku masuk. Perasaanku tidak enak, raut wajah Usman sedikit tegang. Di dalam kamar Usman langsung bertanya.

"Dari mana saja Vi? kamu belanja tanpa mengabari Ibu dan Kakak, dan mengabaikan telponku?" tanya Usman.

"Tadi saat Mas telepon, aku sedang mengajar Mas, aku silent, setelah selesai ada rapat Guru, setelah rapat kami belanja bersama Guru, Mas!" jawabku jujur.

"Hanya beberapa menit kamu lupa mengabarkan suamimu? kamu tidak lihat berapa kali aku meneleponmu? kamu tidak menghargai aku, dan sejak kapan kamu tidak jujur! kenapa tidak terus terang kalau Ayahmu ke rumah!" tanya Usman marah.

Aku hanya diam tidak bisa menjawab, aku merasa bersalah, aku hanya duduk di pinggir tempat tidur, dan Usman langsung berdiri dan pamit.

"Mas pamit mau pulang lagi!" ucap Usman ketus.

Aku ingin mencegahnya, dan ingin meminta maaf tapi entah kenapa bibirku tidak mampu bicara, baru kali ini aku melihat Usman marah.

Usman benar-benar pergi dan pulang, aku mendengar suara mobilnya keluar, rasa bersalah dan kecewa campur aduk, biasanya Usman selalu menciumku dulu sebelum pergi, tapi dia berlalu begitu saja.

***

Azab Penjual PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang