Sedang revisi

1.9K 69 0
                                    

Aku sangat sedih dan kecewa dengan sikap Usman. Akupun keluar menemui Ibuku, dan Kakakku.

"Dari mana saja Vi, jangan-jangan kamu habis ketemu dengan Ayahmu!" tanya Kakak.

"Sejak kapan Kakak memiliki pikiran jelek terhadapku? Kalaupun iya, dia Ayah kita Kak, kita jangan membencinya hanya karena Ayah dulu jahat sama kita!" jawabku marah.

"Lihat Bu, Evi sudah terpengaruh Ayah, dia sudah membela Ayah yang jelas-jelas dulu jahat ingin menjual dia, dugaan kita benar kan, Bu? dia pasti sudah ketemu Ayah dan sudah terpengaruh guna-guna Ayah!" ucap Kakak sambil menatap ke arah Ibu.

Kakakku berlalu dari ruang tamu tanpa mendengarkan penjelasanku, Ibu hanya memandangku tidak bicara, aku langsung duduk di samping Ibu dan menjelaskan.

"Bu, aku tadi ada rapat, dan setelah selesai kami belanja bersama Guru lainnya, apa Ibu masih tidak percaya juga dengan penjelasanku?" tanyaku pada Ibu.

Ibu hanya terdiam seperti bingung, akupun langsung pamit pada Ibu.

"Aku masuk dulu Bu,"

Di kamar aku menangis, kenapa Kakak dan Ibu bersikap seperti itu, dan kenapa Usman terpengaruh ucapan Kakakku. Apakah kejahatan seseorang harus di ingat dan dibenci selamanya.

Selesai sholat Isya aku menghubungi Usman, tapi tidak di angkat, aku berpikir positif mungkin Usman masih dalam perjalanan. Aku lelah dan tertidur, dan saat bangun aku periksa ponselku tetap tidak ada telepon dari Usman.

Aku berangkat kerja, di sekolah mengajar tidak konsentrasi, sesekali aku lirik ponselku, biasanya aku silent, sengaja ponselku tidak aku silent, Usman belum juga menghubungiku. Akupun coba mengirim pesan.

"Maafkan aku Mas, kalau Mas merasa aku bersalah, aku minta maaf," pesan smsku.

Pesanku tidak di balas, bahkan sampai aku pulangpun, aku menunggu teleponnya Usman tidak menghubungiku. Tidak biasanya seperti ini, perasaan gundah bercampur kecewa jadi satu.

Tiga hari berlalu Usman tidak menghubungiku, seperti inikah cinta, rasanya sangat sakit, rasa kepercayaan yang aku berikan, rasanya tidak setimpal jika hanya sebuah telepon yang tidak di angkat, Usman begitu marah dan menghukumku seperti ini.

Saat menjelang malam Sabtu, biasanya Usman sudah datang, aku sudah berdandan rapih dan memasak kesukaannya, tapi waktu berlalu begitu cepat, masakanpun sudah dingin semua, Usman tidak datang.

Air mataku perlahan jatuh dan rasanya sesak sekali, Usman benar-benar tidak mau menghubungiku lagi. Aku seperti merasa pernikahanku di ambang kehancuran, pikiranku teringat Ibu mertuaku yang ingin cepat menimang cucu, Sekretaris Usman yang selalu bermanja-manja, membuatku semakin panas, kecewa, marah dan menangis.

Ingin sekali aku mengirim pesan kembali, tapi aku tidak pandai merangkai kata, aku tidak pandai merayu, aku hanya bisa berkata apa adanya.

Hanya satu tempat curhatku selain Allah, yaitu Mamah Ranggi. Minggu sore aku main ke rumah Mamah Ranggi, aku tumpahkan semua yang ada didadaku, aku menangis di depan Mamah Ranggi. Tapi Mamah Ranggi malah bercanda dan meledekku.

"Vi... Vi... saling cinta tapi gengsi kok di gedein Vi... sudah jangan menangis, lihat tuh bedakmu luntur semua," ucap Mamah Ranggi.

"Mamah... " jawabku malu.

"Vi, mungkin suamimu itu selalu berpikir bahwa kamu terlalu perfect, di matanya kamu sempurna, dan tidak boleh salah sedikitpun, ini masalah sepele Vi, coba kamu yang ngalah ya, sesekali sambil silahturahmi ke mertuamu, kamu kasih kejutan pada suamimu, kamu datang ke Kantornya, kamu minta maaf dan minta penjelasan kenapa dia tidak pulang dan tidak menghubungimu, di sana kamu akan jelas, apakah suamimu masih memakai Sekretarisnya atau tidak, jangan menduga dulu sebelum melihat dengan mata sendiri, itu saja saran Mamah, coba kamu ngalah dan cari waktu yang tepat untuk menyusul suamimu," ucap Mamah Ranggi menasehati.

Ucapan Mamah Ranggi ada benarnya, akupun sudah lama tidak silahturahmi ke mertua, lega sekali rasanya semua beban yang ada di hati seperti lepas. Akupun pamit pulang pada Mamah Ranggi.

Aku berencana minggu depan, jika Usman tidak pulang aku akan menyusulnya, tapi aku berpikir kembali, jika aku ke sana hari libur tidak mungkin Usman ada di Kantor, akupun memutuskan lusa akan ijin mengajar dan menyusul Usman.

Hari itu aku langsung memesan Tiket, aku bicara pada Ibuku, kalau aku akan keluar kota dan tidak bilang akan menyusul Usman. Aku tidak sabar bertemu dengan Usman untuk meminta maaf, dan meminta penjelasannya kenapa dia tidak pulang.

Aku memesan Taxi untuk mengantarkan aku ke kantor Usman, Kantor yang sangat megah, yang tidak ada di Kotaku, aku bertemu Satpam dan minta ijin untuk ketemu Usman, aku mengatakan aku istrinya.

Satpam memberiku kartu tamu dan mempersilahkan masuk, sampai ke dalam ruangan Kantor, aku bertanya pada salah satu karyawan, dan dia menjawab sedang jam istirahat, biasanya Usman di kantin, akupun menanyakan di mana tempat kantin itu, setelah mengetahui tempatnya, aku menuju samping kantor.

Begitu banyak orang yang sedang makan di ruangan itu, satu persatu aku perhatikan, dan aku tertuju pada meja tengah, jantungku serasa berhenti. Aku mengenali sosok itu adalah Usman sedang berhadapan dengan wanita cantik sambil makan dan tertawa.

Langkahku terhenti, ingin sekali teriak dan menjerit melihat Usman senang dan tertawa bersama wanita. Saat itu juga ingin menangis, tapi aku tahan, pelan-pelan langkahku menuju Usman, sampai di sampingnya aku mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum"

Usman langsung menoleh dan terkejut, Usman memandangiku dan berdiri.

"Wa'alaikum salam, Evi? sama siapa ke sini?" tanya Usman terkejut.

Dadaku rasanya sesak, tapi aku tahan, dan aku paksakan seolah aku tidak apa-apa.

"Sendiri Mas," jawabku pelan.

Wanita itu langsung berdiri dan menyalamiku sambil mengenalkan diri.

"Bu, aku Lisa sekretaris Bapak," sapa Lisa.

Rasanya seperti di sambar petir mendengar dia mengucapkan sekretarisnya, ingin rasanya cepat lari dan pulang, tapi aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri. Usman langsung menyuruhku duduk.

"Duduk Vi, mau minum apa? mau makan apa Vi?" tanya Usman gugup.

"Tidak Mas, aku hanya menengok sebentar aku harus cepat-cepat pulang," jawabku lugas.

Rupanya Lisa menyadari tidak enak mengganggu kami, diapun pamit. Setelah Lisa pergi, aku langsung pamit pada Usman.

"Aku pulang dulu!" ucapku ketus dan berlalu dari hadapan Usman.

Usman langsung menyusulku dan berjalan, semua orang memandangi kami dan menyapa, aku berusaha tersenyum meskipun hati hancur lebur. Usman berjalan di sampingku mengajak ngobrol, aku acuhkan dan aku menuju satpam dan mengembalikan kartu tamu, aku berjalan terus dan Usman menarik tanganku.

"Tunggu Vi, kamu mau kemana? aku ambil mobil dulu, aku antar ke rumah orangtuaku," ajak Usman.

"Tidak perlu di antar Mas, aku ke sini hanya ingin minta maaf dan meminta penjelasan kenapa tidak pulang ke rumah, tapi sekarang aku tidak perlu jawaban lagi, aku pulang!" jawabku marah.

Aku menyetop Taxi dan membanting pintu mobil. Di dalam Taxi air mataku tidak tahan dan tumpah. Rasa cemburuku melihat Usman makan bersama wanita lain, membuatku sangat sakit hati, biasanya di jam istirahat Usman selalu menghubungiku dan ngobrol sambil makan, tapi rupanya itu alasan selama ini tidak menghubungiku.

Ponselku terus berdering, Usman menghubungiku, tapi aku malas mengangkatnya, aku matikan Ponselku.

***

Azab Penjual PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang