Chapter 43

5.7K 565 239
                                    

Sudah nyaris 5 menit sejak Jihoon hanya berdiri dengan sesekali mengintip ke dalam kamar rawat Ahseul. Jihoon tak bisa masuk dengan mudah setelah ia baru saja mendengar hal yang sangat menyakitkan bagi Ahseul jika ia beritahu; mengenai keberadaan Jimin di rumah sakit ini. Namun, Jihoon tahu bahwa ia tak mungkin terus seperti ini; Jihoon melangkah pasti sesaat masuk.

Tatapan Ahseul sudah menyiratkan keingintahuan yang amat dalam mengenai lelaki itu; lelaki yang merupakan arti dari hidupnya.  Namun, Jihoon tak berucap apapun selain menatap Ahseul lirih. Ia tidak bisa mengatakan apapun saat ini, sebab ia tahu reaksi apa yang dimunculkan Ahseul nantinya.

Selagi Jihoon kalut dengan daya pikirnya, sebuah suara yang cukup besar dari arah pintu mengalihkan atensi keduanya dengan serempak. Tak cukup dengan suara pintu yang mengejutkan keduanya, sosok dibalik pintu itu menjadi titik utama keterkejutan Ahseul maupun Jihoon.

Jimin berada di sana, jelas terlihat ia tengah menatap lurus pada Ahseul dan juga Jihoon yang kini benar-benar mengunci atensi mereka pada sosok Jimin yang diselimuti kemurkaan; ya—Ahseul dan Jihoon bisa melihat itu dengan jelas. Langkah Jimin kemudian membawanya masuk dengan masih membawa selang infus bersamanya.

“Tun-tunggu, kau tidak boleh masuk deng—“

“Keluar,” ujar Jimin dengan nada suara beratnya, menciptakan suasana kelam dan dingin; seolah mengintimidasi siapapun yang mendengarnya. Fokus atensinya masih Ahseul walaupun ucapannya barusan ditujukan pada Jihoon yang sudah dihadapannya.

“Kau—“ kali ini Jimin tak mencegat ucapan Jihoon dengan kalimat, hanya sedikit perputaran beberapa derajat dari lehernya, membuat Jihoon semakin terintimidasi akan tatapan laser itu. Jimin tak main-main saat ini. Tak ada rasa takut apapun, ia akan melakukan apa saja jika permintaannya tidak dipenuhi. Ya—masih dalam bentuk permintaan, sebab Jimin bisa saja melakukan hal yang lebih ekstrim.

Jihoon tak langsung keluar, ia sedikit berbalik menatap Ahseul yang masih sedikit mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang—seolah ingin berdiri—dan Ahseul mengangguk di sana. Hembusan napas putus asa itu membawa Jihoon menjauhi sosoknya dari mereka. Ia benar-benar keluar setelah menutup pintunya. Namun, bukannya langsung berbicara, Jimin malah kembali beberapa langkah dan melakukan hal yang tak dibayangkan oleh siapapun. Jimin mengunci kamar itu, menyisakan dirinya dan Ahseul. Hanya berdua.

“Hei! Hei!” Jihoon yang tahu pintu itu dikunci pun merasa telah ditipu. Ia hanya bisa melihat keduanya dari sepetak kaca yang melekat di pintu itu seraya menggedornya beberapa kali.

Ahseul sudah sepenuhnya berdiri, menatap Jimin dengan gurat kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan. Jarak posisi mereka hanya berkisar 3 langkah, cukup dekat untuk dua insan yang sudah beberapa bulan terakhir mencoba untuk saling melupakan.

Masih sama, kesunyian dengan aura dingin dan kelam masih mendominasi; sebab Jimin tak kunjung menyampaikan tujuan kunjungan dadakannya ini. Hal lain tengah dilakukan Jimin saat ini. Ia melihat Ahseul; dari ujung kepala hingga kakinya.

Jimin bisa melihat bagaimana Ahseul yang terlihat semakin kehilangan berat badannya, rambutnya sedikit lebih panjang, bibirnya terkesan pucat mengikuti warna wajahnya. Ahseul memang tampak sedikit berbeda, tetapi rasa rindunya masih sama dan akan selalu sama. Jimin rindu Ahseul, sangat.

Bisa dilihat bagaimana tangan kanan Jimin mulai mengepal tak karuan; menahan gejolaknya yang hendak memeluk Ahseul saat ini juga. Beberapa kali tatapannya ia jatuhkan untuk mengontrol dirinya; sebab melihat Ahseul hanya akan memecah segala fokusnya. Ada hal yang lebih penting yang ingin ia sampaikan dibandingkan rasa rindunya. Rindu Jimin harus mengalah untuk saat ini.

Pengambilan sebuah napas yang cukup panjang oleh Jimin menyiratkan bahwa ia sangat membutuhkan kekuatan untuk memulai dialog dengan Ahseul.

“Dalam langkahku ke sini, aku berpikir untuk memberi kesempatan padamu atau tidak. Kesempatan untuk menjelaskan apapun itu yang seharusnya aku ketahui.” Jimin belum selesai akan ucapannya, kembali oksigen diambilnya cepat sebelum melanjutkannya kembali, “Dan, jawabanku adalah tidak akan memberikanmu kesempatan lagi.” Kini sebuah nada bicara beserta mimik baru ditunjukkan Jimin; menyiratkan dendam yang entah apa itu.

BEHIND THE SCENE (B.T.S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang