Busan, 2010
Langkahnya sungguh cepat, tanah yang sedikit berlumpur akibat hujan semalam tak mengurangi sedikit pun kecepatan langkahnya. Sepatu putih usang miliknya kini pun sudah dipenuhi lumpur yang merubah warna sepatunya.
Ada sepatu lain di sana, dalam pelukannya erat seolah melindungi sepatu itu. Napasnya mulai tak terkontrol, oksigen mulai sukar masuk ke paru-parunya. Namun, ia tak melambatkan sedikit pun kecepatan langkahnya. Gerbang utama sudah ia lewati, pekarangan yang menyambutnya pun terlihat ramai dengan orang-orang.
“Seul-ah!!”
Senyuman diberikan Ahseul di sana sesaat menghentikan larinya. Pemuda dengan tubuh tak terlalu tinggi itu sudah menantinya di depan pintu lobi utama. Energinya seolah kembali diisi penuh kala melihat wajah penuh penantian seorang Park Jimin. Langkah kakinya semakin cepat menaiki tangga menuju pada Jimin.
“Kau tak apa?”
Hanya anggukan cepat berkali-kali yang bisa diberikan Ahseul sebagai jawaban. Percayalah, bernapas saja sulit baginya saat ini. Dengan cepat kemudian Ahseul menyerahkan sepasang sepatu itu pada Jimin, seraya menatapnya dengan ada yang masih naik turun. Senyuman tak lupa di sana, walaupun sulit.
“Be-belum ... belum terlambat ‘kan?”
“Hm! Salah satu jurinya baru saja tiba, kau tepat waktu.” Mengacak pelan puncak kepala Ahseul dilakukan Jimin di sana, sebagai tanda bangganya.
“Cepat pakai, lalu masuk.” Gerakan cepat Ahseul dengan merebut kembali sepatu yang sudah di tangan Jimin itu, dan langsung berjongkok menggantikan sendal yang dipakai Jimin dengan sepatu yang sedari tadi ia jaga.
“Aku bisa sendiri.”
“Ini lebih cepat.” Ahseul sama sekali tak memperdulikan penolakan yang dikatakan Jimin untuk menghentikan kegiatannya itu, hingga Ahseul mengakhiri kegiatannya dengan mengikat tali sepatu yang kini sudah Jimin kenakan.
“Terima kasih. Aku akan lolos.” Senyum khas Jimin keluar dari sana, menghilangkan kedua matanya hingga terbentuk hanya dua garis lurus di sana, sungguh menggemaskan.
“Harus itu! Masuklah.” Tubuh Jimin sudah berbalik kini, akibat Ahseul yang memutar pundaknya hingga membuat ia mau tak mau berputar 180 derajat.
Sebelum berlari masuk ke dalam gedung itu, Jimin menyempatkan untuk membalikkan tubuhnya, menatap Ahseul untuk terakhir sebelum ia benar-benar masuk. Dua kepalan tangan miliknya ia letakkan di depan dadanya, seolah ia tengah memposekan semangat untuk berjuang, dan dibalas Ahseul dengan pose yang sama.
Sejak pergi dari sekolah Jimin tadi, Jimin memang sengaja tak memakai sepatu yang akan ia kenakan untuk audisi. Membawanya dalam shopping bag menjadi pilihannya sedang ia memakai sendal. Namun, apa daya saat ternyata shopping bag itu tertinggal di bus dan tepat pula para peserta harus melakukan registrasi terakhir. Tanpa disuruh, Ahseul mengerjar bus itu dan membiarkan Jimin melakukan registrasinya. Bus yang sudah mulai menjauh membuat jarak yang ditempuh Ahseul pun bisa dibilang tidaklah dekat.
Akan ada sebuah festival dalam di akhir bulan ini, dan berbagai pertunjukan seni dilakukan termasuk menari. Jimin tak bisa luput akan festival itu, bahkan sekolah tempatnya bernaung memberikan surat rekomendasi padanya. Gedung yang dijadikan tempat audisi untuk pengisi acara itu pun terlihat ramai, baik dengan peserta maupun dengan orang-orang yang mendukung mereka , seperti Ahseul.
“Hujan lagi.” Kepalanya terdongak kala cipratan air yang mengenai tangannya. Ia tengah terduduk di salah satu anak tangga depan pintu lobi utama. Memeluk kedua lututnya ia lakukan demi menunggu Jimin yang tengah berjuang di dalam sana, dan berdoa yang bisa ia lakukan kini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEHIND THE SCENE (B.T.S)
Fiksi Penggemar__Park Jimin__ Ketika ia yang kau cintai mengatakan untuk menghancurkan mimpimu Ketika kau harus menghancurkan hatinya demi membiarkan hidup mimpimu Ketika kau harus membuat luka baru demi melupakan rasa sakit pada luka lainnya __Lee Ahseul__ Keti...