29

8.4K 594 51
                                    

Gue terdiam melihat jalanan di kota Jakarta dari balik jendela. Beberapa jam lalu, gue udah siuman. Sean menceritakan semuanya. Semuanya. Gue yang hamil dan gue yang keguguran. Gue bodoh karena Sean muntah-muntah dan gue yang terkadang muntah, gue menganggap kalau Sean salah makan, dan gue yang maagnya kambuh.

Semua keluarga dan kerabat mencoba buat menghibur gue. Tapi, siapa yang gak terpukul kalau tau janin yang masih berumur dua minggu menghilang? Ibu mana yang gak sedih kehilangan calon anaknya? Walau anak itu dari hasil paksaan Sean waktu mabuk, tapi itu anak kandung Sean, suami gue.

Setelah gue tau kenyataannya, gue menyuruh semua orang buat ninggalin gue sendiri. Mereka semua menuruti permintaan gue. Dan Sean, sebelum dia keluar, dia berkata pelan ke gue, "Jangan coba-coba melakukan hal yang bodoh, Yoanna," gue jelas tau maksud Sean. Dia takut kalau gue bunuh diri. Gue gak seputus asa itu. Toh, Sean bilang gue masih bisa hamil. Tapi gue terpukul atas kehilangan calon anak pertama gue.

Gue masih belum bisa berhentiin air mata gue. Biarpun di kata gue lebay, hiperbola, sesuka lo aja. Tapi yang jelas bagi gue yang hampir jadi ibu, gue ngerasa terpukul. Gue pengen banget nyalahin Irene atas semua hal yang terjadi. Tapi gak bisa. Karena gue juga gak tau kalau saat itu gue mengandung. Kalau gue tau, gue siap benturin kepala gue dulu ke meja dari pada perut gue.

Gue mengusap kasar airmata yang jatuh dengan punggung tangan gue. Terlalu lama nangis, gue yakin, sekarang mata gue udah sembab. Sembab banget malah. Bahkan airmata gue rasanya udah kering. Gue yang dalam posisi duduk dengan punggung yang menyandar, mengambil bantal yang ada di belakang gue. Gue menutup muka dengan bantal dan berteriak sekuat-kuatnya. Meredam suara teriakan di balik bantal. Kebiasaan gue ketika gue mengalami tekanan dari keluarga. Gue suka berteriak dengan wajah yang di tutupin bantal untuk meredam suara.

Setelah gue puas berteriak, gak ada seorang pun yang masuk ke ruangan gue. Terbukti, bantal dapat meredamkan suara. Gue ngeliat bantalnya udah basah. Sebagian karena air mata, sebagian lagi karena cairan yang keluar dari hidung.

Gue membaringkan tubuh gue dan tidur meringkuk. Gue mengelus perut rata gue, "Harusnya kamu ada disini ya, Nak," airmata gue kembali keluar, "Harusnya Mama menyadari keberadaan kamu lebih cepat, supaya Mama bisa melindungi kamu," gue kembali terisak, "Maafin Mama, ya. Mama harap, kamu gak marah sama Mama,"

Hati gue nyeri ketika membayangkan seharusnya perut gue semakin membesar tiap bulannya. Tapi udah gak bisa lagi. Perut gue kembali rata. Itu menyakiti perasaan gue sebagai seorang wanita. Rasa sesak semakin gue rasain saat gue berfikir anak itu bisa jadi penghubung gue sama Sean. Membuat hubungan keluarga menjadi lebih harmonis. Tapi semua yang dibayangkan harus kembali pada realita.

Deritan pintu terdengar, "Yoanna?" gue tau itu suara Sean. Dia masuk ke dalam dan menutup kembali pintunya.

Gue masih berbaring menatap jendela dan memunggungi Sean, "Kamu harus makan," gue masih gak bisa menghadap Sean. Bulir airmata masih menetes. Gue juga tau kalau Sean sama terpukulnya dengan gue. Mata dia memerah saat gue tersadar dari tidur panjang gue.

"Aku bawain makanan kesukaan kamu. Makan, ya. Ini Bi Sum yang buat, lho," bujuk Sean, dan gue gak ngasih tanggapan apapun.

Di ruangan VVIP itu cuma terdengar suara isak tangis gue, "Jangan kayak gini, Yoanna. Kita harus bangkit. Kamu gak mandul, itu satu hal yang harus di syukuri. Kita berdua sama-sama gak tau kehadiran dia. Kalau aku tau—" Sean gak melanjutkan kata-katanya.

Karena penasaran, gue membalikkan badan dan melihat Sean yang tertunduk dan meneteskan airmata. Gue yang terenyuh melihat kondisi dia yang berantakan, menarik dia dalam pelukan gue, "Ini bukan salah kamu, Sean. Ini bukan salah siapa-siapa," Sean menyandarkan keningnya di pundak gue. Bahu dia bergetar dan mengusap punggungnya, "Kita harus bisa merelakannya, kan?"

married without love ✔Where stories live. Discover now