32

7.9K 552 33
                                    

Setelah mendapatkan kesepakatan dari kedua belah pihak, Egi pamit pulang, karena malamnya ada kencan sama Jimmy. Sebelum pamit, gue sempat berpelukan sama Egi, dan Egi ngasih wejangan ke gue, 'Sehat terus ya. Semoga cepet ngisi lagi,' gue senang karena di saat gue terpuruk, masih ada orang yang support gue biar gak sedih gak berlarut-larut.

Sean gak langsung ngajakin gue pulang. Dia ngajak gue main ke pesisir pantai ancol. Nikmatin indahnya sunset. Berselonjor di karpet yang di sewain dan meminum es kelapa di kelapanya langsung. Setelah es kelapanya habis, Sean mengajak gue buat berjalan di sepanjang jembatan ancol. Gue manut aja.

Kita berdua berjalan dengan berpegangan tangan. Beberapa pasangan muda juga terlihat menikmati sunset. Gak ada obrolan di antara gue sama Sean. Gue juga bingung mau ngobrolin apaan.

"SBMPTN Arvin kapan?" Sean bertanya pertama kali ke gue. Kali ini, gue bernafas lega, karena gue gak perlu buka obrolan duluan.

"Kurang tau. Nanti aku coba nanya ke V. Mau aku telepon langsung V-nya?"

Sean terkekeh pelan, "Gak usah. Berlebihan," gue ikut tersenyum ngeliat Sean tersenyum walau pandangan dia lurus ke depan. Dan gue ngikutin arah pandang dia. Ada dua cewek bule pakai pakaian seksi. Pantes. Kucing mana yang nolak di kasih ikan asin.

Gue mengeratkan genggaman tangan Sean dan dia menoleh ke gue, "Kenapa?"

"Kamu ngeliatin mereka?"

Sean mengerutkan keningnya, "Siapa?"

Gue menunjuk pakai dagu, "Dua cewek bule itu!"

Sean mengikuti arah pandang gue dan seketika dia tertawa pelan, "Bukan. Aku ngeliat yang di belakang cewek bule itu," gue menajamkan pandangan. Gue ngeliat cewek cowok yang gue rasa pasangan suami istri. Si istrinya lagi bunting, dan itu sedikit menusuk perasaan gue. Reflek genggaman tangan gue melonggar, dan Sean gak biarin itu, tangan gue di genggam sedikit kuat, "Aku gak bermaksud buat kamu sedih. Aku cuma berfikir, kalau kamu hamil lagi, kita bakal kayak mereka,"

Gue mengangkat kepala dan melihat wajah Sean. Dia tersenyum lembut ke gue dan membimbing gue ke tepian dimana ada pembatas kayu. Sean menangkup wajah gue dan mengusap pipi gue dengan ibu jarinya, "Maaf kalau aku buat kamu sedih lagi," gue tersenyum menanggapinya. Tapi gue rasa, senyum yang gue tampilin, senyuman sendu. Karena gue ngerasa sedih lagi, walau cuma sedikit.

"Gak papa," jawab gue singkat, padat dan gak jelas. Kebiasaan cewek, kalau ada apa-apa, pasti berkilah gak kenapa-kenapa.

Sean mencubit kedua sisi pipi gue dengan pelan, "Jangan paksa senyum kalau kamu gak mau senyum. Jadinya jelek,"

Gue terkekeh pelan dan terdiam sejenak, "Aku mau ketemu Irene,"

Sean membulatkan matanya, "Ngapain? Dia udah masuk buih, Yoanna. Kita gak ada hubungan lagi sama dia. Biarin dia mendapatkan hukumannya," mimik wajah Sean seakan gak suka dengan perkataan gue. Terlihat jelas, sejelas-jelasnya. Gue tau, Sean masih marah sama Irene. Tapi gue gak. Gue emang marah, tapi lebih ke diri gue sendiri. Gue gak tau kalau gue hamil. Bahkan, gue yakin Irene juga gak tau kalau gue hamil. Gue rasa, kalau Irene tau gue hamil, dia gak akan berbuat sekasar itu.

Sean melepaskan tangannya dari wajah gue, "Gak. Aku gak mau kamu ketemu lagi sama Irene. Bukan kamu, tapi kita. Kita gak perlu ketemu lagi sama cewek jahat kayak dia,"

Gue menunduk, sedikit merasa bersalah karena buat moment manis kita terganggu karena obrolan tentang Irene, "T-Tapi, aku yakin. Irene gak tau kalau aku hamil. Mungkin, kalau dia tau aku hamil, dia gak akan sekasar itu sama aku,"

Sean mengeluarkan senyuman sarkasnya, "Aku lebih kenal dia dari pada kamu, Yoanna. Aku udah kenal dia bertahun-tahun lamanya di banding kamu yang baru beberapa bulan kenal dia. Kamu tau, dulu Mino pewaris sah North Corporation. Irene menjebak dia dengan kehamilannya. Orangtua Mino gak pernah setuju Mino menikah dengan Irene. Akhirnya, Mino di hapus menjadi pewaris sah dan di kirim ke Amerika bersama Irene," Sean mendengus, "Kamu tau kenapa Irene mendekati aku lagi? Karena Mino sekarang cuma pegawai swasta biasa, dan dia butuh seseorang yang kaya, yang bisa memperbaiki keuangan dan memenuhi kebutuhannya,"

"Jadi? Kenapa kamu dulu suka sama dia?"

Sean mengusap wajahnya kasar, "Aku yang bodoh. Salahin aku dalam hal ini. Seperti pria lainnya, aku termakan dengan kecantikannya. Mino jauh lebih tampan dari aku, makanya Irene lebih memilih Mino, walau aku udah berkorban membuat perusahaan ayahnya bangkit lagi,"

"Ya. Irene emang cantik," kami berdua terdiam. Sean gak memandang gue, sedangkan gue tertunduk lesu.

"Aku mau hubungan kita membaik. Kita selalu kayak gini kalau ngomongin tentang Irene. Aku gak mau kamu ketemu lagi sama dia. Aku berharap, ini terakhir kita ngomongin tentang dia," gue milih buat diam. Beberapa minggu yang lalu juga kita bertengkar kecil karena ngomongin tentang Irene, "Kita pulang," Sean jalan mendahului gue dengan langkah pelan. Gue mengikuti Sean dari belakang. Gak ada genggaman tangan yang hangat lagi. Hati gue mendingin.

Tanpa gue sadari, air mata gue menetes. Gue mengusapnya kasar dengan punggung tangan. Gue marah. Gue kesel. Bukan sama Sean, tapi lebih ke diri gue. Gue terlalu bego dengan meminta permintaan bodoh buat nemuin Irene. Tapi serius, gue mau bicara baik-baik sama dia. Gue gak mau perbanyak musuh. Dan gue mau tegasin ke Irene, kalau Sean sekarang suami sah gue. Gue tau, gue bego, goblok, idiot. Cewek mana yang mau ketemu sama orang yang udah buat keguguran?

Gue mau ngelupain semuanya. Gue gak mau hidup dalam kebencian dan dendam ke Irene. Kalau dia tetap dendam sama gue, atau benci sama gue, itu urusan dia. Tapi gak ada yang tau kan? Mungkin aja gue nemuin Irene, dan dia udah berubah karena kejadian kemarin. Allah bisa membolak-balikkan hati. Kalau gue bisa berteman sama Irene, malah lebih bagus. Gue juga gak mau Egi terus di landa kebencian ke Irene.

Gue terisak dengan kepala tertunduk. Beberapa orang yang berjalan berlawanan arah ngeliatin gue. Sean berhenti berjalan ketika denger isakan gue, "Kamu nangis?" Sean membuang nafas pelan dan menarik gue dalam pelukannya, "Maafin kalau tadi aku kasar ke kamu. Tapi-"

"Apa salah aku memperbaiki hubungan? Allah gak suka orang pembenci dan pendendam. Allah aja Maha Pemaaf. Kenapa kita yang umat-Nya gak bisa maafin orang lain? Berapa kali kita buat dosa dan buat Allah kecewa? Kita minta maaf sama Allah, Allah mau maafin. Kenapa kita gak bisa? Kita cuma makhluk ciptaan-Nya. Gak ada salahnya kita ngikutin salah satu sifat Allah yang pemaaf," jelas gue dengan suara bergetar. Gue gak peduli jadi bahan tontonan dan omongan orang yang lagi nikmatin sunset sama orang terdekatnya.

"Jadi, mau kamu gimana? Kita temuin Irene?" gue mengangguk, "Kamu bisa pastiin, kamu gak akan kenapa-kenapa kalau ketemu sama dia?" gue mengangguk lagi, "Oke, kalau itu mau kamu. Kita atur jadwal buat ketemu sama dia," gue memeluk tubuh kekar Sean. Dia mengusap rambut gue, "Jangan nangis lagi," gue cuma mengangguk.

Setelah tangisan gue mereda, Sean melepas pelukannya. Dia mengusap cairan bening yang keluar dari hidung gue tanpa rasa jijik, "Kita nginap di hotel aja, ya,"

"Kenapa gak balik ke unit?" tanya gue dengan polosnya. Ya aneh aja, kenapa harus ke hotel kalau jarak dari Ancol ke unit Sean gak terlalu jauh. Emang macet, tapi kalau gak terlalu jauh bukannya gak masalah?

"Aku butuh suasana baru. Lagian, kita bisa liat sunrise di hotel Ancol,"

"Tapi besok bukan Minggu. Kamu harus kerja, kan? Nanti Egi marah,"

Sean menghembuskan nafasnya, "Telat sedikit gakpapa. Lagian, rapat juga mulainya jam dua siang. Sebelum jam dua, aku bebas," Sean mengusap puncak kepala gue, "Katanya mau liat pasar ikan?"

"Tapi aku gak tau, kalau bukan hari Minggu ada atau gak,"

Sean tersenyum, "Besok kita liat," Sean ngambil handphonenya dari saku, "Kita reservasi hotelnya buat satu malam," jelasnya yang tau tatapan bingung gue.

Setelah selesai reservasi hotelnya, kita berjalan lagi. Sekarang jalannya berdampingan. Sean menggenggam tangan gue lagi. Tapi fikiran gue sibuk entah kemana. Kita berdua terdiam dan terhanyut dengan pikiran masing-masing. Gue gak tau apa yang Sean fikirin. Gue menebak-nebak, apa Sean sebenarnya keberatan dengan permintaan gue? Gue sebenarnya juga gak enak, tapi gue mau tuntasin masalah ini sama Irene. Jadi, kalau gue hamil lagi, dia gak akan datang marah-marah dan buat kejadian kemarin terulang lagi. Gue benar-benar gak mau. Makanya, gue mau menyelesaikan semua secara tuntas dan mencabut akar permasalahannya.

married without love ✔Where stories live. Discover now