26

8.5K 553 44
                                    

Pulang ke Indonesia, gue makin gundah gulana. Bahasa jaman now-nya, GALAU. Selama di perjalanan, Sean gak ngomong sepatah katapun sama gue. Dia juga sempat muntah pas di pesawat. Gak mungkin seorang SEAN mabuk udara. Perlu gue beliin antimo?

Sampai di unit pun, Sean langsung ke kantor karena Egi yang nyuruh setelah tau Sean udah sampai di Indonesia. Gue milih buat tetap di unit. Mungkin, Sean habis dari kantor langsung selesaiin masalahnya sama Irene. Gue gak mau ikut campur. Gak ada hak. Kalau gue kenal Sean sama lamanya kayak Egi kenal Sean, mungkin gue mau ikut campur. Tapi gue kenal Sean juga belum ada satu tahun.

Notifikasi line gue nongol. Dari seseorang yang jauh, yang gue rindukan juga. Gue gak selingkuh, ya. Gak punya selingkuhan juga. Teman gue Yurinda lagi di Jakarta, dan dia minta ketemuan sama gue. Ya, gue sanggupin. Karena gue juga gak lagi ngapa-ngapain. Gue balik ke kamar, ganti baju. Cuma bermodal celana jeans hitam panjang, kaos putih dan jaket denim. Gue bawa tas selempangan yang kecil buat tempat handphone sama dompet. Dan gue meraih kunci mobil yang ada di atas meja nakas.

Gue menjalankan mobil ke lokasi yang udah di shareloc sama Yurinda. Helah, Yurinda kepanjangan ya. Panggil aja Yuri. Dia juga teman Krystal. Itu lho, yang pernah Krystal bicarain sama gue, dia kerja di industri makanan yang gak boleh minum pas di jam kerja. Iya, dia orangnya.

Butuh waktu setengah jam buat sampai lokasi yang di janjiin. Gue keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam restaurant. Gue ngeliat Yuri di pojokan sambil buka-buka buku menu. Dia nungguin gue setengah jam. Pasti gabut. Minumannya aja udah kandas.

"Hei!" gue menarik kursi di depan dia dan duduk.

Yuri mengangkat wajahnya. Awalnya keliatan ekspresi masam. Mungkin dia ngira gue orang yang mau godain dia. Tapi setelah tau yang nyapa gue, dia merubah ekspresinya dengan cepat, "Yoanna!!" serunya dengan semangat.

Gue tersenyum, "Udah pesan?"

Yuri menggeleng, "Belum. Dari tadi gue nungguin lo. Gak asik kan, kalau gue makan sendiri," gue mengangguk paham. Yuri menyerahkan buku menu ke gue, "Pilih makanannya. Gue yang traktir, karena waktu kuliah, lo sering ngutangin gue," Yuri tersenyum senang.

"Udah kaya ya sekarang," gue menggoda Yuri. Jujur aja, gue iri sama dia yang kerja. Berpenghasilan sendiri. Jadi, ada kepuasan kalau traktir orang lain.

Yuri mencibik, "Gak sekaya lo, Na," gue terkekeh kaku. Bukan gue yang kaya, njir! Sean yang kaya. Tapi gue gak nanggapin omongan Yuri. Gue sibuk milih menu.

Yuri mengangkat tangan, dan gak lama pelayan ada di depan kita, "Mau pesan apa, kak?"

"Nasi goreng seafood-nya satu. Terus minuman saya tolong di tambah ya, dek. Terus sama tambahin jus stoberinya satu. Ah, sama zuppa soup-nya satu,"

Yuri emang kampret. Masa gara-gara pelayan manggil dia dengan sebutan 'kak', Yuri bales pakai 'dek'. Sialan, gue pengen ketawa sekebon. Restaurant yang Yuri pilih itu yang lagi hitz di kalangan anak muda. Gue gak muda lagi yang jelas. Tapi karena anak SMA sama gue, keliatan lebih muda gue, jadi gak akan ada yang nyadar kalau gue udah punya suami. Lumayan, cuci mata.

"Lo mau pesan apa, Na? Buru! Adeknya udah nungguin,"

Untung dia ngomong gitu pas gue gak lagi minum. Kalau gue lagi minum, gue sembur dia kayak mbah dukun sembur pasiennya. Terus si Alam dateng, nanyi 'Ada mbah dukun! Sedang ngobatin pasiennya'. Percayalah, itu lagu kesukaannya V. Gue juga pernah nyembur bang Wawan waktu gue sama bang Wawan masih SD. Siapa suruh gue lagi minum di gelitikin. Akhirnya gue sembur mukanya.

"Spagetthi bolognaise satu. Sama minumannya.." gue memilih. Gue pengen jus mangga, tapi gue pengen es teh tawar. Tapi karena Yuri yang bayarin, jadi gak tau diri aja sekali-sekali, "Minumannya jus mangga satu sama es teh tawar satu," pelayan dengan sigap mencatat pesanan.

married without love ✔Where stories live. Discover now