22

9.4K 608 103
                                    

"Yoanna!" gue menulikan pendengaran dan tetap berjalan cepat, "Yoanna! Berhenti di situ!" gue bahkan udah menutup telinga gue.

Sean bisa menyusul gue. Dia menarik lengan gue dan sontak gue berhadapan sama gue. Airmata gue udah mengalir sejak terakhir ngomong sama Egi. Sean menarik gue ke lorong yang emang sepi dan jarang di lewati. Gue berusaha narik lengan gue, tapi percuma. Dia menghimpit badan gue di dinding, kedua tangannya mengurung gue.

Gue mengalihkan muka, gak ingin menatap mata Sean, "Kamu salah paham," suara Sean terdengar pelan dan parau. Gue gak jawab perkataannya. Gue hanya mendengar.

Kecewa.

Itulah yang saat ini gue rasakan. Baru kemarin dia ngasih gue cincin dan menjelaskan semuanya. Tapi ngeliat pemandangan tadi, membuat hati gue goyah. Gue ragu.

"Lihat saya, Yoanna!" gue menggeleng menolak permintaan dia, "Kenapa? Kenapa kamu gak mau ngeliat saya?"

Gue menggigit bibir bawah gue supaya airmata juga berhenti mengalir, "Maafkan saya. Irene tiba-tiba memeluk saya,"

Gue terkekeh sarkas, "Tiba-tiba? Berapa lama tepatnya kamu di peluk Irene?" gue raih satu tangan Sean dan menempatkan di dada, "Disini sakit, kak!"

Sean membawa satu tangannya mengusap rahang gue, "Dengarkan penjelasan saya. Saya benar-benar tidak tau Irene datang ke kantor saya. Bahkan dia tanpa permisi masuk ke dalam ruangan saya," gue mendengarkan tanpa berkata apapun, "Saat saya menyuruh dia buat pulang, dia memeluk saya dari belakang. Apa kamu percaya sama saya?" gue gak menjawab, hanya membuang muka. Sean terkekeh parau, "Kamu gak percaya sama saya, right?"

Sean melepaskan semua tangannya dan gak mengurung gue lagi, "Pulanglah, kalau kamu mau pulang," Sean berjalan lesu meninggalkan gue.

Gue berjalan berbeda arah dengan Sean. Apa ini akhirnya? Akhir dari semua ini? Kita berjalan di jalan masing-masing. Gue menanyakan hati kecil gue. Apakah ini kemauan gue? Sean bahkan udah merobek surat perjajian brengsek itu. Dia benar-benar mau memperbaiki hubungan yang dari awal udah aneh. Sean bahkan menjauhkan gue dari tekanan keluarga. Sean udah banyak membantu keluarga gue secara finansial.

Gue berhenti melangkah, "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Na? Apa ini ending yang kamu ingin? Kemana mimpi kamu yang pengen punya keluarga bahagia suatu saat nanti?" gue mengadahkan muka ke langit-langit.

Gue berbalik cepat dan berlari ngejar Sean. Tepatnya di belokan, gue masih ngeliat punggung Sean. Gue mengejarnya dan memeluk dia. Membenamkan muka gue di punggungnya yang terlihat rapuh dan bergetar kecil, "Maafin aku, kak," gumam gue tanpa melepas pelukan dari punggungnya.

Sean menyambut lingkaran tangan gue di perutnya. Dia mengusap lembut lengan gue, "Maafin saya juga, Yoanna," Sean melepaskan lengan gue dari perutnya. Dia membalikkan badan, tanpa gue mengangkat wajah, dia memeluk gue dan mengusap kepala gue dengan lembut, "Maafkan saya," gue mengangguk dalam pelukannya.

Seharusnya gue percaya sama Sean. Karena, kemarin dia masih menganggap gue istrinya, dan meminta keputusan dari gue. Bahkan dia mengikuti keputusan gue untuk gak menerima Irene di unitnya. Gue tau, disini Irene yang salah. Dia terlalu agresif sama Sean. Bahkan dia belum sah cerai dari suaminya. Gue terisak di dada bidang Sean.

"Biasanya Egi gak akan mengizinkan siapapun masuk ke ruangan saya. Terlebih, Irene. Tetapi saat Irene masuk ke ruangan saya, saya tahu kalau Egi gak ada di mejanya. Saya menyuruhnya pulang, Na. Tapi dia memeluk tubuh saya, dan dia bilang, beri dia kesempatan memeluk saya sekali lagi sebelum dia benar-benar menyerah,"

Sean mengeratkan pelukannya di tubuh kecil gue, "Apa kakak percaya?"

Sean menggeleng, "Saya gak percaya. Tapi kalau benar-benar dia menyerah, saya biarkan dia memeluk tubuh saya hanya sebentar,"

married without love ✔Where stories live. Discover now