18+...
Gue gak tau apa yang terjadi. Yang gue tau, gue tiba di rumah, dan gak ada penghuninya. Cuma Pak Joko yang bilang Sean, Egi dan Papa lagi keluar. Jam sebelas malam, Sean baru pulang dengan dipapah sama Egi, entah karena apa. Gue mengerutkan kening ketika ngeliat hal itu. Gue kira, Sean mabuk lagi.
Ketika Sean ngeliat gue, dia ninggalin Egi dan meluk gue yang masih bingung. Di tambah, ekspresi Egi ada kelegaan yang luar biasa sampai air matanya keluar, "Sean? Kenapa?"
Sean menangkup wajah gue, seakan mastiin apa gue ini Yoanna asli atau Yoanna jadi-jadian, "Kamu gak tau? Pesawat yang kamu naikin itu jatuh di laut?"
Gue menutup mulut seakan gak percaya. Gue balik ke rumah, karena handphone gue ketinggalan dan perhiasan merk Pandora yang mau gue hadiahin ke Krystal juga ketinggalan di lemari. Dan sialnya, handphone gue mati karena kehabisan daya. Jadi, selagi nunggu handphone gue idup lagi, gue tidur. Toh, bisa pesan tiket kereta. Gue gak peduli tiket pesawat kelas bisnis angus, masih ada kereta tambahan pun tiap harinya. Jadi gue gak harus pakai pesawat. Lagian, Jakarta-Jogja naik kereta gak secapek itu.
Sean narik pergelangan tangan gue buat duduk, di ikutin sama Egi, "Kok kamu bisa kepikiran buat pulang, Na?"
Gue menarik nafas dan membuangnya perlahan, "Gi, handphone itu hidup aku. Gimana aku mau ngabarin Kai kalau di bandara, sedangkan handphone aku aja ketinggalan di bawah bantal? Efek buru-buru jadi lupa. Hadiah yang mau aku kasih ke Krystal juga ketinggalan di lemari,"
Iya lah, gue balik. Harga perhiasan Pandora itu mahalnya bikin kantong kering. Gue aja nabung dulu sebelum beli. Perjuangan.
Sean kembali meluk gue, "Aku panik. Aku takut kamu ada di pesawat yang jatuh itu," seakan Sean bisikin gue karena suara dia terdengar lemah dan parau.
Gue mengusap punggung kekar Sean dengan lembut, "I'm here, Sean. I'm here.." gue menghibur Sean, kalau saat ini gue masih hidup. Masih bernafas.
Egi juga keliatan menutup wajah pakai kedua tangannya, "Gila, Na. Aku panik pas dapet berita itu. Aku, Sean sama Papa Hariadi, seharian nunggu di bandara buat mastiin keadaan kamu,"
Gue tersenyum maklum. Siapa yang gak panik. Mungkin, kalau gue di posisi Sean, sama paniknya. Jadi, gue diam, ngebiarin mereka yang ngerasa lega karena keberadaan gue di rumah.
"Maaf..."
Gue mengerutkan kening. Gue bingung, kenapa Sean harus minta maaf, "Kenapa minta maaf? Kamu gak salah, Sean,"
"Maaf aku biarin kamu ke Jogja sendiri. Harusnya aku ikut sama kamu," terdengar nada penyesalan yang keluar dari bibir Sean. Posisinya, Sean masih meluk gue. Seakan dia takut kehilangan gue. Dan gue bisa apa? Cuma balas pelukan Sean doang.
Gue ngeliat Egi beranjak, dia ngomong ke gue dengan pelan, seakan cuma gerakin bibirnya, "Aku pulang dulu. Kalau ada apa-apa, hubungin aku," gitu yang gue tangkep. Jadi gue cuma mengangguk nanggapin Egi. Gue juga gak bisa nahan Egi di rumah, karena dia masih ada kerjaan yang harus di urus. Apalagi Sean dalam keadaan kayak gini. Dan, Egi gak mau ganggu moment gue sama Sean yang lagi pelukan.
Gue biarin Sean meluk gue beberapa saat. Di antara kita, cuma keheningan yang tercipta. Sean kadang menghirup aroma di leher gue, buat gue ngerasa sedikit geli.
Gue ngusap punggung Sean, "Sampai kapan pelukan kayak gini, Sean? Gak capek?"
Sean menggeleng yang gue rasain di pundak, "Aku gak mau kehilangan kamu, Yoanna,"
"Aku gak menghilang, Sean. Aku disini,"
Sean melepas pelukannya, dia mengangkat tubuh gue dengan mudahnya ke pangkuan, dan menatap gue dengan intens. Satu tangannya beralih ke belakang kepala gue, dan satu tangannya ada di pinggul gue. Mengusapnya dengan lembut, dan mendekatkan wajah gue ke wajah Sean.

YOU ARE READING
married without love ✔
Random[Beberapa chapter mengandung unsur DEWASA. Bijaklah dalam membaca. Anak di bawah umur, tolong urungkan niatnya untuk membaca, karena sudah diperingatkan mengandung unsur DEWASA.] "Jika Allah memang mengatur bahwa kamu jodohku, Allah pasti meluluhkan...